ABC

Menuturkan Masalah Islamophobia Lewat Novel Remaja

Saat menulis buku kesebelasnya, Randa Abdel-Fattah sedang meneliti Islamofobia dari sudut pandang mereka yang takut pada Islam.

Di siang hari, ia mewawancarai orang-orang berpandangan Islamofobia untuk studi PhD-nya.

Pada malam hari, ia membayangkan apa jadinya jika ada dua remaja dari kubu yang berlawanan bertemu di acara demonstrasi anti-pengungsi bertemu dan jatuh cinta.

Hasilnya adalah novel berjudul When Michael Met Mina, yang memenangkan penghargaan Victoria Premier’s Literary Award 2017. Novel ini menyabet kategori tulisan untuk anak muda dan juga pilihan warga.

Ini adalah satu-satunya buku di dunia, dengan tulisan “TOLAK TABOULI. HALAL MENDANAI ISIS?” yang ada di bagian sampulnya.

Humor dalam buku ini berasal dari wawancara yang dilakukan Randa.

“Kita tidak bisa menulis sesuatu seperti ini, atau sekedar mengarangnya, bukan?”

Awalnya, Randa merasa sangat tertekan saat orang-orang yang ia wawancarai mengekspresikan pandangan mereka soal Islamofobia.

“Baru saat saya mulai membaca tulisan ilmiah seputar ras dan Islamofobia, serta sejarah, saya menyadari jika kita melihat rasisme sebagai sikap individu, tidak ada yang bisa diubah,” katanya.

Dia membandingkannya dengan mengungkap semua kekecewaannya soal dominasi pria, kepada pria yang menggodanya.

“Apa yang akan berubah? Jika kita ingin melawan patriarki, kita melawan sistem misogini [kebencian terhadap perempuan], begitu pula dengan ras,” katanya.

“Ini adalah masalah keseluruhan yang benar-benar perlu kita atasi, sistem politik, media, daripada hanya mengungkapkan kemarahan kepada satu orang yang mengumpat ‘kembalilah ke negara asalmu’ di bus umum.”

Dari Sweet Valley High ke Auburn dan Lane Cove

Jika Randa Abdel-Fattah diminta kembali ke negara asalnya, maka itulah adalah Australia, tepatnya di kota Sydney dimana ia dilahirkan.

Warga Australia keturunan Palestina dan Mesir ini dibesarkan di Melbourne pada tahun 1980an. Ia gemar membaca buku-buku yang mengambil latar belakang California dan Connecticut, bukan Carlton atau Caulfield.

Dia terobsesi dengan Sweet Valley High dan The Baby-Sitters Club, dengan menulis cerita-cerita yang mengambil tempat di Amerika Serikat atau Inggris.

“Dunia imajinatif saya tidak pernah Australia,” katanya. “Saya jarang melihat dunia saya dalam sebuah buku.”

When Michael Met Mina dirilis tahun 2017, mengambil latar belakang tempat di kawasan Auburn dan Lane Cove, kota Sydney. Di Amerika Serikat dirilis dengan judul The Lines We Cross. Ceritanya soal hubungan lintas budaya, kisah pelajar anak SMA, rasisme dan Islamofobia yang terjadi di Australia.

Randa Abdel-Fattah ingin mengubah keadaan soal rasisme lewat tulisannya.
Randa Abdel-Fattah ingin mengubah keadaan soal rasisme lewat tulisannya.

ABC RN: Jennifer Wong

Saat Randa duduk di kelas 9, ia menulis novel pertamanya dan mengirimkannya ke penerbit. Di usia 15 tahun, ia sudah aktif secara politik dan terlibat dalam sejumlah anti-rasisme.

“Menjadi Muslim dan Arab bukan lagi sebuah deskripsi, tetapi menjadi tuduhan, akibat Perang Teluk dan Tragedi 9/11,” katanya.

“Saat itulah, saya mulai menyadari kekuatan sebuah cerita untuk perubahan, dan saat itulah saya merasakan adanya celah dalam sastra fiksi soal orang-orang yang berlatar belakang sama dengan saya.”

Penerbit menolak novel tersebut. “Tapi mereka senang soal hal itu,” kata Randa, yang mencatat bahwa mereka meminta agar tulisannya tidak terlalu mendikte.

Bertahun-tahun kemudian dan setelah banyak menulis ulang, novel tersebut menjadi buku terlaris pertamanya. Dengan judul ‘Does My Head Look Big In This?’, yang sekarang sedang dijadikan film.

Mengubah pendekatannya untuk melawan rasisme

Dalam banyak hal, apa yang dialaminya saat berusia 15 tahun masih juga menjadi bagian dari kehidupannya saat ini, yakni kadang masih mendapat penolakkan.

Sekarang, saat para siswa, baik di festival penulis atau saat berkunjung sekolah, bertanya kepadanya soal rasisme, Randa menjelaskan bagaimana pemikirannya tentang rasisme telah berubah sejak ia di sekolah.

Ketika ia masih muda, ia akan menyerang kembali mereka yang berbicara rasisme dan mencoba membuktikan dirinya yang juga manusia. Sekarang dia sadar, ini adalah pendekatan yang salah.

“Bukan hanya tidak akan berhasil, sikap seperti itu juga kurang manusiawi dan menguras emosi, perasaaan yang terus dijaga demi pembuktian diri Anda kepada orang lain,” katanya.

Dia mendorong para siswa untuk memutuskan sendiri siapa diri mereka, dan menciptakan ruang yang jauh dari rasisme, sehingga kehidupan mereka tidak didominasi oleh rasisme.

Saat berada di panggung Sydney Writers Festival, gayanya terasa hangat dan lucu, tapi tetap masuk akal. “Tak perlu minta maaf untuk menjadi siapa dirimu,” katanya.

Randa Abdel-Fattah saat berada di Sydney Writers' Festival.
Randa Abdel-Fattah saat berada di Sydney Writers' Festival.

ABC RN: Jennifer Wong

Randa memiliki kedekatan tersediri dengan para siswa di Sydney barat.

Di kawasan Sydney barat, menurutnya, siswa memiliki kesadaran soal isu ras yang sangat berbeda dengan di kawasan timur.

Dan saat pertama kali tiba dari Melbourne, ia langsung menghargai perbedaan yang beragam dari warganya.

“Mereka bukan orang yang bertanya: ‘Oh, apakah ini proyek keberagaman budaya? Bagaimana kelanjutannya?'” katanya. “Ini jadi bagian tak terpisahkan dari siapa mereka dan wajah yang Anda lihat dan orang-orang yang bersama Anda.”

Tapi pandangannya yang positif bisa hilang, setelah beberapa rekan sekerjanya di perusahaan hukum kota Sydney.

“Ketika dulu saya harus pergi ke pengadilan di Parramatta, orang-orang akan tertawa dan bercanda, ‘Oh, pastikan Anda membawa pistol untuk melindungi diri,’ dan kemudian saya mulai menyadari keangkuhan luar biasa soal kawasan Sydney barat,” jelasnya.

Dunia hukum ia tinggalkan. Randa menukarnya dengan dunia pendidikan, menulis, dan menjadi advokat hak asasi manusia, sekaligus ibu dari empat orang anak.

Beberapa hal tidak berubah dalam hidupnya. The Baby-Sitters Club masih ada, putrinya kini sedang membaca seluruh koleksinya. Randa juga menunjukkan kepada putrinya nada-nada feminis yang ada dalam buku-buku The Baby-Sitters Club.

Siapa karakter Baby-Sitters Club yang pas bagi dirinya? “Kristy,” katanya langsung sambil tertawa. “Saya orangnya suka memerintah!”

Diterbitkan oleh Erwin Renaldi pada Kamis 1/06/2017. Simak laporannya dalam bahasa Inggris di sini.