ABC

Menjalin Komunikasi dengan Pembimbing PhD di Australia

Komunikasi dan hubungan yang baik dengan pembimbing menjadi bagian penting ketika belajar di luar negeri, termasuk di Australia. Perbedaan budaya terkadang menimbulkan kesalahpahaman sebagaimana pengalaman Andi Armawadjidah, mahasiswa PhD pada Monash University di Melbourne.

Perbedaaan budaya bukan jadi penghalang dalam membangun hubungan harmonis dengan pembimbing. Bagaimana interaksi sosial antara pembimbing  dan mahasiswa di luar negeri? 

Tulisan ini menceritakan pengalaman penulis ketika memulai pendidikan S3 di Melbourne, saat pertama kali memulai proses pembimbingan dengan dua orang pembimbing yang warga Australia.

Andi Armawadjidah Marzuki (tengah) kini sedang menempuh pendidikan PhD pada Monash University.
Andi Armawadjidah Marzuki (tengah) kini sedang menempuh pendidikan PhD pada Monash University.

 

Pertama, perlu bersikap wajar dan terbuka. Meskipun beda budaya, tetapi ada hal umum yang semua orang sepakat di Melbourne, seperti kesulitan membagi waktu untuk sekolah dan membesarkan anak tanpa dana bantuan pemerintah.

Penulis adalah seorang ibu dari dua anak usia sekolah. Di semester awal, karena tidak memperoleh child care benefit (tunjungan untuk penitipan anak) saya kesulitan menitipkan anak karena faktor biaya yang mahal. Meninggalkan anak di rumah tanpa orang dewasa tidak diperbolehkan. Ini menyebabkan di semester pertama, untuk beberapa pertemuan, saya harus membawa anak saya.

Penulis sempat khawatir jika pembimbing akan keberatan. Karena aturan pertemuan dua minggu sekali dan cuma berkisar satu jam saja. Jadi pertemuan itu harus efektif dan fokus. Ketika pertemuan pertama, penulis membawa kedua anak saya, ternyata pembimbing saya mengerti. Penulis memberikan alasan dan karena ini masalah yang umum, pembimbing pun tidak keberetan. 

Di pertemuan berikutnya, dia malah memberikan solusi, dengan menghadiahkan pensil warna dan buku gambar. Anak-anak jadi sibuk menggambar ketika saya berdikusi dengan pembimbing. Ketika selesai mengambar, hasil gambar dihargai dan dipajang di kantor sang pembimbing. Anak-anak pun menjadi senang, dan bersemangat mengambar lagi di pertemuan berikutnya.   

Pembimbing menjadi lebih terbuka karena anak menjadi jembatan komunikasi untuk mencairkan kebekuan. Sehingga di setiap awal pertemuan saya dan pembimbing kemudian menjadi terbiasa dan tidak kaku ketika menanyakan kabar tentang anak. Pembimbing saya itu pun tidak segan mempelihatkan foto atau video cucunya yang masih bayi. 

Andi Armawadjidah bersama suami dan anak-anak mereka.
Andi Armawadjidah bersama suami dan anak-anak mereka.

 

Icebreaking (pembicaraan pembuka) seperti ini penting karena sangat membantu mahasiswa untuk lebih rileks dan terbuka dalam menyampaikan pendapat ketika berdiskusi tentang arah penelitian saya. 

Setiap akhir pertemuaan saya diwajibkan membuat minutes (notulen) dan mengirimkannya kembali kepada pembimbing. Ini menjadi referensi untuk topik pertemuan berikutnya.

Meskipun penulis telah akrab tapi pembimbing bukan tempat curhat masalah pribadi, seperti masalah keuangan ataupun keluarga.

Di pertemuan awal, penulis sempat curhat masalah betapa sulitnya menjadi ibu dan menjadi mahasiswa. Tapi penulis kemudian menyadari bahwa pembimbing lainnya adalah juga seorang ibu. Dia memiliki dua anak usia prasekolah dan malahan memilki memiliki tanggug jawab lebih besar sebagai dosen. Tidak pernah saya mendengar dia mengeluh tentang kerepotan menjadi ibu sekaligus dosen.

Saya akhirnya tidak pernah lagi mengeluh tentang keluarga. Tapi kedua pembimbing penulis tetap bisa toleransi terhadap masalah keluarga yang sangat mendesak terutama demi kelancaran penulisan disertasi. Mereka sering mengingatkan untuk membuat rencana awal kegiatan anak selama masa liburan sehingga saya bisa fokus tetap aktif jika anak-anak libur.

Hal lainnya, coba atasi perbedaan budaya dengan tidak segan bertanya. Salah satu contoh budaya bimbingan di lingkungan saya adalah budaya makan minum. Pegalaman saya membimbing dan menguji mahasiswa di Indonesia, ada makanan dan minuman kotak selama bimbingan skripsi atau ujian skripsi.

Di awal bimbingan saya ingin juga melakukan hal sama dengan pembimbing saya. Ketika itu saya sedang menunuggu giliran karena sebelumnya ada mahasiswa dari China sedang konsultasi. Ketika tiba giliran, saya masuk dan melihat ada kue khas China, mooncake, di atas meja.

Pembimbing saya mengatakan dia tidak akan makan sebelum tahu bahannya. Jadi informasi bahan-baha makanan dan minuman harus dijelaskan atau ditulis karena dia alergi terhadap beberapa bahan kue.

Saya mencoba menanyakan apakah boleh membawa makanan atau minuman ketika pembimbingan. Dia menyatakan bahwa mahasiswa China itu membawa makanan karena ingin mempekenalkan mooncake, sebagai makanan tradisional kampungnya. Dan dia pun menuliskan beberapa jenis bahan yang membuat dia alergi. Membaca itu, saya diam-diam menyimpan kembali kotak kue yang sudah saya siapkan.

Kebisaan memberi bingkisan bagi pembimbing, banyak yang pro dan kontra untuk praktek ini. Tapi pengalaman saya, memberikan barang kepada pembimbing sebagai oleh-oleh ketika baru pulang dari bepergian dan tidak harus mahal. Contohnya ketika saya menghadiri konferensi di Adelaide, saya bawakan hadiah coklat karena Adelaide terkenal dengan coklatnya.

Saat merampungkan penelitian di Sulawesi dan kembali pada saat musim gugur, saya membawa oleh-oleh syal khas Toraja, murah dan unik. Tujuannya, saya ingin memperkenal Toraja sebagai daerah wisata kepada pembimbing. Saya juga selalu memberikan cerita singkat tentang oleh-oleh tersebut.

Namun tidak semua hal bisa ditanyakan dalam pembimbingan. Ada hal yang pribadi dan sensitif seperti agama atau orientasi seksual. Saya paham bahwa di sini, agama adalah hal pribadi, sehingga tidak menyinggung atau pun memberikan ucapan selama terkait hari keagamaan.

Jadi, penting untuk tetap terbuka jika menghadapi masalah yang berhubungan dengan keluarga, bersikap wajar dan tidak kaku. Jangan lupa untuk selalu klarifikasi dan bertanya jika tidak tahu, terutama untuk kebiasaan yng mungkin berbeda.

* Penulis adalah pengajar pada Universitas Negeri Makassar, sedang menempuh pendidikan PhD pada Fakultas Education, Monash University. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.