ABC

Menjadi “Agen Diplomasi” Indonesia di Australia

Flinders University di Adelaide (Australia Selatan) meluncurkan inisiatif bernama Jembatan, sebuah wadah untuk mendekatkan Indonesia dan Australia. Lidya Sinaga yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2 di sana terlibat dalam beberapa kegiatan Jembatan, pengalaman yang telah memperkaya dirinya.

Penghujung November ini menjadi hari-hari terakhir kegiatan saya bersama Jembatan Initiative, Flinders University.

Ada perasaan haru sekaligus bangga akhirnya saya bisa menuntaskan seluruh rangkaian aktivitas bersama “Jembatan” pada semester ini, sekaligus menjadi pamungkas dua tahun masa belajar saya di kota Adelaide.

Dengan moto “Building Bridges between Australia and Indonesia”, (Membangun Jembatan antara Australia dan Indonesia) Jembatan Initiative memulai kegiatannya sejak 2015 sebagai bagian dari perayaan 50 tahun Flinders University.

Bertujuan untuk memperkuat hubungan antar komunitas Australia dan Indonesia, “Jembatan” memfokuskan kegiatannya pada aspek budaya dan bahasa.

Kunjungan ke sekolah-sekolah dan sebaliknya, kunjungan para siswa ke Pendopo Flinders University, menjadi kegiatan utama yang bertujuan untuk meningkatkan interaksi para siswa dengan penutur asli.

Sejak bulan Agustus 2016 sudah banyak sekolah yang kami kunjungi dan ini bagian dari progam yang didukung oleh Indonesia Australia Institute (AII).

Dari setiap kunjungan, selalu ada kesan unik dan cerita menarik, yang membuat interaksi-interaksi ini menjadi candu bagi saya.

Tak pernah terbayangkan, sepiring mie goreng ala Indonesia yang bagi kita sangat sederhana menjadi begitu istimewa bagi beberapa orang anak Sekolah Dasar yang kami kunjungi.

Seorang dari mereka berkata “Today is the best day of my life because I can taste a very yummy fried noodle”. (Hari ini adalah hari terbaik dalam kehidupan saya karena saya mencoba mie goreng terenak).

Bersama murid sekolah SD Belair di Adelaide
Lidya Sinaga (kiri berkacamata) bersama murid SD St John's Belair Adelaide hendak menikmati masakan mie goreng ala Indonesia

Foto: Jembatan Flinders Uni

Saya sempat terdiam dan tak menyangka mendapat apresiasi setulus itu. Antusiasme mereka ketika bermain congklak, lompat tali, bola bekel, pagar ayam, maupun kayu do’i membuatku semakin yakin bahwa hal kecil bisa diingat begitu lekat dalam benak anak-anak yang akan menjadi tulang punggung hubungan Indonesia-Australia di masa yang akan datang.

Jejak hubungan antara komunitas Australia dan Indonesia yang begitu dalam, semakin aku sadari dalam kunjungan terjauh kami ke beberapa sekolah di Port Lincoln, sekitar 8 jam dari Adelaide.

Ada satu sekolah yang begitu masuk gerbang utamanya, kami sudah disambut dengan mural bertuliskan “Unity in Diversity” (Bhinneka Tunggal Ika) dan aneka gambar sebagai simbol Indonesia, seperti wayang, candi, dan yang lainya.

Melihat kami datang, anak-anak dengan senyum sumringah menyapa “apa kabar?”.

Sebuah antusiasme berbalut apresiasi yang sulit untuk diabaikan untuk masa depan hubungan kedua negara.

Selain kunjungan ke sekolah, kami juga mempunyai wahana interaksi online melalui grup Facebook dan Flinders Learning Online.

Salah satu pertunjukkan musik
Peserta dari Jembatan Flinders melakukan pertunjukkan musik di Sekolah Cummins di Port Lincoln.

Foto;: Jembatan Flinders Uni

Setiap minggu, kami yang tergabung dalam tim jurnalis secara bergantian menyuguhkan cerita-cerita sederhana tentang Indonesia dalam forum online tersebut.

Sapaan-sapaan ringan dalam Bahasa Indonesia di akhir minggu, sekedar bertanya apa kegiatan mereka pada hari itu, membuat aktivitas interaksi menjadi hidup walaupun kami hanya mengenal lewat nama.

Banyak cerita yang tak mungkin dituliskan satu per satu. Namun bagi saya kegiatan bersama Jembatan Initiative Flinders University merupakan sebuah nilai tambah yang membuat pengalaman belajar di Australia menjadi lengkap.

Sebuah pengalaman yang meyakinkan saya bahwa menjadi pelajar di luar negeri tidak sekedar menjadi pelajar untuk diri sendiri, namun untuk Indonesia dan juga negara tempat kita menimba ilmu.

Wajah Indonesia ada pada kita. Wajah perdamaian dunia pun ada pada kita, ketika kita mampu menjadi jembatan perbedaan antar budaya dan agama dalam interaksi global yang semakin kompleks ini.

* Lidya Christin Sinaga baru saja menyelesaikan studi Masternya dari School of International Relations and History Flinders University. Saat ini bekerja di Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.