ABC

Mengenang Kembali Jatuhnya Singapura 75 Tahun Lalu

Tanggal 15 Februari 2017 di Australia dan di kawasan Asia Tenggara diselenggarakan berbagai acara guna mengenang kembali jatuhnya 75 tahun jatuhnya Singapura ke tangan Jepang. Jatuhnya Singapura yang masih menjadi wilayah Inggris ketika itu berdampak besar bagi warga di sana maupun mereka yang tinggal di Australia.

Peristiwa yang dikenal dengan nama The Fall of Singapore (Jatuhnya Singapura) mengubah perjalanan hidup bagi banyak orang, diantaranya warga asal Singapura dan Malaysia yang sekarang tinggal di Australia.

Ginny Costin sekarang berusia 77 tahun dan tinggal di Sydney, namun di tahun 1941 dia masih kecil tinggal bersama keluarganya asal China di Penang, yang waktu itu masih disebut Malaya.

Costin masih ingat jauthnya bom pertama oleh tentara Jepang ketika mereka bergerak menuju ke Penang.

“Di satu malam, saya terbangun, dan terjadi pemboman dimana-mana. Semua gelap dan saya ketakutan.” katanya.

“Semua orang berusaha bersembunyi dan keluarga saya lupa dengan saya.”

Menurut pakar sejarah dari ANU Professor Emeritus Tony Reid, tentara Jepang bersikap lebih buruk terhadap warga keturunan China yang tinggal di Singapura dan Malaysia.

Ini adalah awal dari penderitaan yang dialami Costin, keluarganya, dan ratusan ribu orang lainnya yang ketika itu tinggal di Semenanjung Malaya dan Singapura.

Tidak lama setelah jatunya Singapura 15 Februari 1952, tentara Jepang menahan dan kemudian membantai belasan ribu warga China dalam peristiwa yang dikenal dengan nama Pembantaian Sook Ching.

Jepang mengakui membunuh 5 ribu orang, sementara Singapura mengatakan yang menjadi korban adalah 50 ribu orang.

“Ada kecenderungan dalam peristiwa pembantaian ini untuk melebih-lebihkan angka korban, sehingga memberi dampak lebih besar.” kata Reid.

Aziz Bab masih ingat bagaimana perilaku buruk tentara Jepang ketika itu, meskipun waktu itu usianya baru delapan tahun.

“Tentara yang pertama datang, yang pertama mendarat di Malaysia, mereka sangat kejam.” kata Bab yang sekarang berusia 83 tahun dan tinggal di Sydney.

“Setiap kali kita melewati pos tentara, kita harus memberikan penghormatan. Bila tidak, kita akan dipukul.”

Warga Tamil Malaysia yang dijadikan pekerja paksa guna membangun jalur kereta Thailand Birma
Warga Tamil Malaysia yang dijadikan pekerja paksa guna membangun jalur kereta Thailand Birma.

Commons: Malya Thamizhar Sarithiram

Buruknya keadaan waktu itu membuat kehidupan bagi banyak orang penuh penderitaan.

Untuk bisa bertahan hidup, banyak yang kemudian harus bertani untuk bisa mendapatkan makanan.

Bagi mereka yang biasanya hidup di kota, ini bukan pekerjaan gampang dan karenanya banyak yang menderita kelaparan.

Eric Gan, 82, yang sekarang tinggal di Sydney masih berusia delapan tahun ketika mereka tinggal di Seremban di Malaya, sebelum pendudukan Jepang. Ayahnya adalah petani karet yang berkecukupan.

“Keluarga kami kaya. Ayah saya adalah jutawan pertama di Seremban, jadi ayah saya juga kaya raya. Dia tidak pernah bekerja satu hari pun semasa hidupnya.” kata Gan.

“Ketika perang terjadi, kami tidak punya pembantu sama sekali, jadi kami harus memulai semua dari awal.”

Keluarganya harus menanam ubi kayu dan ubi jalar, memelihara ayam, kelinci dan bahkan babi untuk bertahan hidup.

Eric Gan
Eric Gan sekarang berusia 82 tahun.

ABC Radio Canberra: Andrea Ho

Ketakutan adalah masalah lain yang dialami oleh para wanita dan anak-anak, takut diperkosa, atau diculik, dan banyak yang memilih bersembunyi.

Pria banyak dipaksa bekerja tanpa dibayar atau menjalani tugas militer. Pembantaian dilaporkan banyak terjadi.

“Jadi ketika mereka mendengar tentara Jepang akan datang, seluruh wanita di rumah kami akan melarikan diri ke ladang. Ibu saya, saudara perempuan, mereka akan melakukan hal yang sama.”

Bagi yang lain, bekerjasama dengan Jepang merupakan cara untuk bertahan hidup, ‘mengikuti arah angin’ kata Ginny Costin.

Ini juga menjadi tameng dimana anggota keluarga lain bisa membantu menggalang perlawanan, dan membantu menyembunyikan tahanan perang.

Aziz Bab mendapat pelajaran di sekolah yang dibuat oleh tentara Jepang, dan sempagt belajar sedikit bahasa Jepang.

Dia juga ingat mereka pernah membantu tentara Inggris, dan Australia yang ditawan Jepang ketika itu dengan makanan dari ladang mereka.

Aziz Bab
Aziz Bab, 83 asal Malaysia berusia 8 tahun ketika jatuhnya Singapura.

ABC Radio Canberra: Andrea Ho

“Kadang ada kereta yang melintas, dan di dalamnya banyak tentara Inggris. Saya kira ada tentara Australia juga. Mereka sedang menuju ke Singapura, ke Changi,” katanya.

Ketika Jepang menyerah di tahun 1945, kawasan itu masih terus bergejolak.

Pasukan penjajah Inggris kembali lagi ke Malaya, namun perang sipil antara pihak Nasionalis (Kuomintang) dan Komunis di China semakin sengit, dan berbagai kelompok budaya di Malaysia dan Singapura juga terpengaruh.

Setelah itu, Malaysia dan Singapura mencapai kemerdekaan.

Sekarang, Inggris dikenang dengan perasaan kecewa, karena gagal membela daerah jajahan mereka dan meninggalkan warga setempat tanpa pembelaaan sama sekali.

“Kebanyakan dari mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan Singapura, bagaimana keadaan di Malaysia ketika itu.” kata Costin.

“Bagi mereka itu sekedar kata.”

“Kita harus memahami bahwa ada banyak sisi dalam setiap perang.” kata Professor Reid.

“Setiap perang itu mengerikan. Semua orang jadi korban. Ini adalah bencana tidak terperikan.”

“Namum kita tidak boleh hanya mengingat para tentara yang terlibat perang. Kita juga harus ingat mengenai mereka yang menderita semasa perang. “

Diterjemahkan pukul 11:25 AEST 15/2/2017 oleh Sastra Wijaya dan simak artikelnya dalam bahasa Inggris di sini