ABC

Mengenal Mahasiswa Doktoral Bidang Sains Asal RI di Australia

Menyambut Pekan Sains di Australia minggu ini (14-19 Agustus 2017), Australia Plus berbicara dengan empat mahasiswa asal Indonesia yang sekarang ini sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di beberapa universitas. Berikut perbincangan mereka dengan wartawan ABC Sastra Wijaya.

Anggia Prasetyoutri dan pembimbingnya Dr Mark Blaskovich
Anggia Prasetyoutri dan pembimbingnya Dr Mark Blaskovich

Supplied: Anggia Prasetyoputri

Anggia Prasetyoputri, Institute of Molecular Bioscience, The University of Queensland, Brisbane

Saya menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Indonesia, jurusan Biologi.

Pendidikan S2 saya selesaikan di Department of Microbiology dan Immunology, University of Melbourne, dengan program Masters of Science (by Research) di bawah bimbingan Professor David Jackson dan Professor Lorena Brown.

Sekarang sedang melakukan penelitian apa di Australia untuk PhD?

Saya sekarang sedang melakukan program studi PhD di Institute of Molecular Bioscience, the University of Queensland, di bawah bimbingan Dr Mark Blaskovich, Associate Professor Lachlan Coin dan Professor Matthew Cooper.

Penelitian saya fokus terhadap pemanfaatan teknologi next-generation sequencing untuk mempelajari bagaimana bakteri MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) menjadi resisten terhadap antibiotik, baik yang sudah umum digunakan di klinik maupun turunan baru.

Jadi saya mengkombinasikan antara bidang mikrobiologi, bionformatika dan biologi molekular. Diharapkan dengan mengetahui bagaimana resistensi terpicu dan berkembang, maka akan membantu dalam pengembangan antibiotik baru yang lebih meminimalisir atau memperlambat berkembangnya resistensi

Apa yang akan dilakukan setelah kembali di Indonesia nanti lewat penelitian yang dilakukan?

Saat ini saya adalah staf peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sejak tahun 2005 dan setelah saya menyelesaikan studi maka saya akan kembali bekerja di instansi tersebut.

Ruang lingkup kelompok penelitian dimasa saya tergabung adalah dalam bidang drug discovery dan rekayasa protein (protein engineering). Selain itu kami juga sudah memulai memanfaatkan bidang bioinformatika.

Setelah saya kembali, saya akan memanfaatkan skill dan pengetahuan yang saya peroleh selama disini untuk turut mengembangkan proyek penelitian yang sedang berjalan ataupun mengembangkan proyek baru yang terkait dengan drug discovery, khususnya untuk pengembangan antibiotik, misal bagaimana memaksimalkan potensi dan efikasi antibiotik yang sudah ada di pasaran.

Bagaimana anda melihat kehidupan sains di Australia dan Indonesia?

Secara garis besar, saya melihat bahwa etika dan semangat peneliti bidang sains di Australia kurang lebih adalah sama. Kesulitan yang dihadapi juga kurang lebih sama, antara lain perjuangan untuk memperoleh grant/dana penelitian dan juga untuk publikasi.

Hanya saja, di Australia saya melihat bahwa lebih mudah untuk memiliki akses informasi seperti misalnya langganan jurnal ilmiah dan akses untuk seminar dan konferensi yang melibatkan lebih banyak tokoh ternama di bidang masing-masing.

Di Indonesia mungkin akses yang serupa tidak dirasakan merata oleh para peneliti.

Lebih banyak tantangan untuk mengelola dana penelitian, misalnya, karena harga bahan-bahan jatuhnya lebih mahal ketika sampai di Indonesia.

Athanasius Cipta
Athanasius Cipta

Supplied: Athanasius Cipta

Athanasius Cipta, Research School of Earth Science, The Australian National University, Canberra

Saya sebelumnya menamatkan pendidikan S2 di Jurusan Geologi, Universitas Padjadjaran Bandung dan kemudian S2 di di IISEE-BRI (International Institute of Seismology and Earthquake Engineering-Building Research Institute) Tsukuba, Jepang.

Sekarang sedang melakukan penelitian apa di Australia untuk PhD?

Saya sedang mengerjakan PhD by research di RSES (Research School of Earth Science) ANU. Tahun ini tahun terakhir saya di Australia.

Kami sedang berusaha memotret struktur cekungan Jakarta dengan metoda yang mudah dan murah dalam arti tidak memerlukan terlalu banyak alat.

Riset saya memanfaatkan ‘seismic noise’, sinyal sangat lemah yang terutama berasal dari gelombang laut dan aktivitas manusia.

Gelombang yang berasal dari segala arah dan merambat melalui tanah ditangkap oleh seismometer dan kemudian diolah dengan teknik inversi untuk mendapatkan profil kecepatan gelombang geser.

Kecepatan gelombang geser ini mencerminkan keras lunaknya suatu batuan sehingga kita dapat memperkirakan berapa tebal tanah lunak yang menyusun kota Jakarta.

Bagaimana melihat kehidupan sains di Australia dibandingkan di Indonesia?

Di Australia kerjasama antar berbagai lembaga riset, instansi pemerintah dan universitas berjalan dengan sangat baik sehingga banyak hal besar yang dapat dilakukan bersama.

Kerjasama antar lembaga ini yang di Indonesia belum berjalan baik sehingga banyak riset besar yang tidak dapat dilakukan karena tidak ada kerjasama yang baik.

Yang terjadi malah riset skala kecil yang dilakukan beberapa Instansi dengan topik yang sama dan sample yang sama.

Harus diakui juga beberapa tahun terakhir kerjasama antar lembaga ini makin membaik, contohnya program kebijakan satu peta, pembentukan PUSGEN (Pusat Gempa Nasional) yang menghimpun ahli dari berbagai disiplin ilmu dan instansi untuk bekerjasama.

Kemudian data sharing juga lebih baik. Saya sangat optimis kehidupan sains di Indonesia akan semakin baik, mendekati kehidupan sains di Australia.

Aprilia Nur Tasfiyati mahasiswa PhD di Monash University
Aprilia Nur Tasfiyati mahasiswa PhD di Monash University

Supplied: Aprilia Nur Tasfiyati

Aprilia Nur Tasfiyati, Chemistry, Monash University, Melbourne

Saya menempuh S1 dan S2 Kimia di Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian saya pada saat S1 adalah mempelajari tentang antibody poliklonal yang bisa diaplikasikan untuk deteksi dini penyakit rheumatoid arthritis, yaitu salah satu jenis penyakit peradangan pada sendi.

Dan ketika S2, saya melakukan riset dibawah bimbingan Dr. Akhmad Sabarudin dari Universitas Brawijaya dengan topik pengembangan kolom kromatografi berbasis polimer monolith untuk pemisahan beberapa jenis sampel biomolekul, khususnya DNA termetilasi yang merupakan salah satu biomarker untuk mengidentifikasi penyakit kanker.

Analisis mengenai DNA termetilasi ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai metode mendeteksi penyakit kanker di stadium awal.

Sekarang sedang melakukan penelitian apa di Australia untuk PhD?

Untuk PhD di Monash saat ini riset saya fokus untuk mengembangkan material metal organic framework yang diaplikasikan untuk pemisahan senyawa polutan maupun isolasi senyawa untuk industri.

Untuk fokus aplikasi dan pengembangan teknik pemisahan, saya lakukan dibawah bimbingan Prof. Philip Marriott, salah seorang pakar di bidang kimia analitik, khususnya kromatografi gas.
Sementara untuk sintesis dan karakterisasi dari material tersebut kami berkolaborasi dengan Dr. David Turner, yang mempunyai spesialisasi di bidang kristalografi.

Bagaimana melihat kehidupan sains di Australia dibandingkan di Indonesia?

Mengingat pengalaman penelitian saya baru mencakup di Universitas Brawijaya dan Monash, maka ini mungkin lebih tepatnya adalah perbandingan kehidupan sains di Monash University dengan di Universitas Brawijaya.

Menurut saya atmosfir penelitian di Monash lebih dinamis dengan situasi yang kondusif. Kolaborasi dan kerja sama antar bidang ilmu adalah hal yang lumrah, bahkan bisa dibilang pasti ditemukan di sini. Kerja sama dengan industri juga sangat diperhatikan, untuk mempermudah aplikasi dan komersialisasi. Terdapat divisi khusus dengan topik penelitian tertentu yang mempunyai partner industri.

Anda pernah mendapatkan penghargaan di bidang kimia?

Saya menerima Early Career Chemist Award ketika mempresentasikan hasil penelitian S2 saya di forum Pacifichem di Hawaii pada tahun 2015.

Pacifichem ini merupakan conference terbesar di bidang kimia di wilayah Asia Pasifik, yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali oleh kerjasama asosiasi kimia di Amerika, Kanada, Jepang, New Zealand, Australia, Korea, dan Cina. Pada tahun 2015, lebih dari 10.000 presenter dari 71 negara berpartisipasi dalam Pacifichem. Dalam forum ini, saya pertama kali bertemu dengan supervisor saya sekarang, dan membuka peluang saya untuk melanjutkan studi di Australia.

Eko Sitepu dan pembimbingnya Prof Wei Zhang di Flinders University
Eko Sitepu dan pembimbingnya Prof Wei Zhang di Flinders University

Supplied: Eko Sitepu

Eko Sitepu, College of Medicine and Public Health, Flinders University, Adelaide

Saya sebelumnya menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Jurusan Kimia di Universitas Sumatera Utara di Medan.

Sekarang sedang melakukan penelitian apa di Australia untuk PhD?

Saya sekarang sedang studi S3 di Australia. Saya studi di Departemen Medical Biotechnology di College of Medicine and Public Health di Flinders University di Adelaide (Australia Selatan).

Topik penelitian saya adalah tentang bagaimana membuat biodiesel secara langsung dari biomasa seperti mikroalga, jamur dan kacang kedelai dengan menggunakan mesin “vortex fluidic” dan “turbo thin film device” yang diciptakan oleh Prof. Colin Raston dari Flinders University, salah seorang pembimbing saya.

Apa kegunaan penelitian ini bagi keilmuan anda ?

Biodiesel sudah dikenal sebagai salah satu energi terbarukan yang ramah lingkungan dan bisa digunakan untuk menggantikan minyak solar yang didapat dari bahan bakar fosil (petro-diesel).

Namun saat ini harga biodiesel masih lebih tinggi dari harga petro-diesel karena masih biaya produksinya sangat tinggi.

Saat ini proses produksi biodiesel mencakup begitu banyak proses termasuk didalamnya ekstraksi dan pemurnian minyak.

Untuk itu tujuan penelitian saya adalah berusaha untuk menyederhanakan proses produksi biodiesel tersebut.

Sejauh ini kami sudah berhasil menunjukkan bahwa biodiesel bisa diproduksi langsung dari mikroalga basah pada suhu ruangan dalam waktu yang cepat dengan menggunakan vortex fluidic atau turbo thin film.

Model proses ini sudah didaftarkan untuk mendapatkan paten di Kantor Paten Australia. Kami berharap bahwa proses ini akan membuat biaya produksi biodiesel akan lebih murah di masa depan dan karenanya penggunaan biodiesel akan bisa menggantikan bahan bakar fosil.

Mengapa tertarik menggeluti sains, apakah ada pengalaman inspiratif dari masa lalu ?

Saya menyukai pelajaran kimia sejak kelas 2 SMA karena saya selalu tertarik ketika melihat reaksi kimia yang terjadi.

Dalam pandangan saya, seluruh kehidupan kita berhubungan dengan kimia, dan itu mengapa saya merasa sangat berguna dan tertarik untuk belajar kimia.