ABC

Mengenal Komunitas Katolik yang Berbagi Jamuan Makan Bersama Warga Miskin

Banyak cara umat Kristen memaknai kelahiran Yesus Kristus pada Hari Natal. Komunitas Sant’Egidio di Indonesia memilih memaknainya dengan berbagi jamuan makan siang bersama warga lintas agama untuk merayakan persaudaraan dan perdamaian antarumat manusia.

Makan Siang Natal merupakan tradisi Komunitas Sant’Egidio di berbagai negara sejak tahun 1982. Organisasi umat Katolik awam yang berpusat di Roma, Italia, ini mengundang warga dari berbagai kalangan untuk menikmati jamuan makan dengan duduk mengelilingi meja sebagai sebuah keluarga, agar tidak ada orang yang merasakan kelaparan atau kesepian di hari suci umat Kristen itu.

Menurut Teguh Budiono, penanggung jawab komunitas Sant’Egidio Indonesia, setiap tahun komunitasnya yang tersebar di 17 kota menggelar acara serupa. Namun menurutnya, bagi komunitasnya, acara tersebut bukan sekadar kegiatan rutin.

"Terinspirasi dari kelahiran Yesus sendiri, dalam tradisi Natal, yang pertama kali mengunjungi Yesus setelah dilahirkan itu adalah para gembala. Mereka adalah warga miskin dan tidak memiliki kedudukan, tapi justru mereka yang pertama menunjukan dukungan," ungkap Teguh Budiono.

“Oleh karena itu pada Hari Natal kami tidak ingin melupakan kelompok warga miskin dan termarjinalkan yang selama ini kami layani dan mereka sudah kami anggap bagian dari keluarga besar kami,” tambahnya.

Teguh Budiono
Teguh Budiono (kanan) penanggung jawab komunitas Sant'Egidio Indonesia.

ABC; Iffah Nur Arifah

Kesungguhan untuk menghargai keluarga yang mereka layani ini diwujudkan komunitas Sant’Egidio dengan menggelar acara makan siang bersama tepat pada tanggal 25 Desember.

Pendekatan yang belum tentu juga mudah dilakukan oleh kalangan umat Kristen sendiri, karena banyak di antara mereka lebih memilih meluangkan waktu Natal yang istimewa bersama keluarga mereka.

“Anggota kami seperti saya misalnya, pagi setelah ke gereja langsung melayani acara makan siang Natal ini, baru malamnya kami makan Natal bersama keluarga.”

Di Jakarta, acara tahun ini akan digelar di dua tempat, Pejaten Jakarta Selatan dan di Jakarta Barat. Mereka mengundang lebih dari 700 warga dari berbagai daerah yang dilayani komunitas ini yakni warga yang tinggal di pemukiman kumuh di Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

Menurut Eveline Winarko salah seorang penanggung jawab Sant’Egidio Jakarta, pelaksanaan makan siang Natal ini juga melibatkan relawan lintas agama.

“Setiap tahun acara makan siang Natal kami selalu dibantu relawan lintas agama, mereka kebanyakan mendaftar sebagai personal. Mereka ada yang membantu duduk menemani dan berbincang dengan undangan di meja makan, ada yang membantu menyiapkan jamuan natal, ada yang membantu mengantarkan hidangan ke meja sampai membantu membagikan bingkisan Natal,” katanya.

Gelar acara makan siang lebaran juga

Komunitas Sant’Egidio terbentuk di Indonesia sejak tahun 1996 di Kota Padang Sumatera Barat dan saat ini sudah memiliki jaringan di 17 kota di seluruh Indonesia.

Acara makan siang Natal hanya puncak perayaan kebersamaan dan dialog perdamaian yang diupayakan komunitas ini sepanjang tahun melalui berbagai kegiatan mereka. Mulai dari sekolah damai bagi anak tidak mampu, kantin gartis bagi warga miskin perkotaan serta doa bersama dan dialog lintas agama.

kantin gratis komunitas santegidio
Setiap minggu usai mengikuti sekolah damai, anak-anak dan siapa saja boleh mengikuti acara makan malam gratis di rumah persahabatan milik komunitas Santegidio.

ABC: Iffah Nur Arifah

Dan jamuan makan telah menjadi ruh dan tradisi kuat yang digunakan organisasi ini dalam memupuk kebersamaan dan persaudaraan.

Setiap akhir pekan, komunitas Sant’Egidio menggelar acara makan bersama bagi anak-anak dan warga yang mengikuti kegiatan kelompok belajar di Sekolah Damai. Mereka juga membuka kantin gratis bagi masyarakat yang tinggal di sekitar rumah persahabatan di daerah pelayanan mereka.

Sementara setiap Jum’at malam setiap pekan, mereka juga memiliki kegiatan berbagi makan malam gratis di pinggir jalan bagi warga yang melintas di titik pelayanan mereka.

"Kami ingin membangun budaya toleransi melalui hal yang sederhana dan mudah untuk mereka hayati. Dengan duduk makan bersama di satu meja atau saling berbagi nasi di jalan itu akan membuka pintu untuk kita saling kenal, saling peduli dan akan muncul dialog dengan saling bertegur satu sama lain." Teguh Budiono menjelaskan.

“Memupuk persaudaraan dan perdamaian itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi harus dibangun dan berproses. Makanya lewat kegiatan kami berusaha membangun budaya bahwa kamu memang berbeda dengan saya tapi tidak berarti kamu tidak menyapa saya, dan kita bisa bersahabat, dan kita juga harus saling peduli dan menjaga satu sama lain. Itu bentuk kongkrit dari toleransi dan dialog yang hendak kami dorong.”

Komitmen mendorong kepedulian, persaudaraan dan toleransi ini juga ditunjukan komunitas Sant’Egidio dengan juga menggelar acara makan siang Lebaran bersama bagi warga yang tidak pulang kampung.

Sisa-sisa pelaksanaan acara itu masih tampak dari ornamen ucapan selamat hari raya Idul Fitri di pintu masuk dan hiasan ketupat lebaran yang masih menempel di dinding rumah persahabatan yang menjadi shelter komunitas ini di Daan Mogot, Jakarta Barat.

"Kami mendapati ternyata banyak dari warga yang kami dampingi tidak pulang kampung ketika lebaran, baik karena alasan tidak ada uang untuk mudik atau alasan lain. Jadi kami berinisiatif membuatkan mereka acara makan siang Lebaran juga disini."

“Kami menyediakan hidangan khas teman-teman muslim ketika lebaran, ketupat sayur, opor ayam dan juga kue-kue lebaran. Dan mengundang mereka berkumpul dan merayakan lebaran di rumah persahabatan ini. “

Pendekatan kebersamaan dan persaudaraan yang didorong oleh komunitas Sant’Egidio melalui rumah persahabatan telah berhasil menghilangkan kekhawatiran dan prasangka warga terhadap pelayanan yang mereka berikan.

Seperti diakui, Rosiah, 43 tahun, warga kampung duri Kepa Daan Mogot Jakarta barat yang beragama Islam ini mengaku senang dan terbantu dengan persahabatan yang ditawarkan komunitas Sant’Egidio di wilayahnya.

“Anak Saya senang bahasa Inggris. Saya tidak bisa. Mau ikut kursus mahal. Makanya anak saya senang bisa belajar bahasa Inggris dari kakak relawan di sini. Mereka juga jadi belajar gak beda-bedain orang, mau agamanya apa juga,” kata ibu yang sehari-hari bekerja sebagai penjual makanan di Pasar Daan Mogot ini.

Atas upaya mempromosikan dialog dan perdamaian antar umat beragama ini, pada September lalu, komunitas Sant’Egidio Indonesia menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan 2018 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Komunitas Sant'Egidio Indonesia
Bulan September lalu, Komunitas Sant'Egidio Indonesia menerima pernghargaan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas upayanya mempromosikan dialog antar umat beragama.

www.santegidio.org