ABC

Mengenal Jill Jolliffe, Mantan Wartawan Peliput Timor Timur

Kamar Jill Jolliffe di rumah perawatannya dipenuhi dengan barang berharga dari karirnya yang panjang dan terkenal sebagai koresponden asing.

Ada keramik-keramik antik dan ukiran dari pengalamannya tinggal selama 20 tahun di Portugal; sebuah penghargaan untuk Jurnalis pada tahun 2006 dari Majalah Globalis, Universitas Yale; Medali ‘Order of Solidarity’ tahun 2014 dari Pemerintah Timor Leste; sebuah foto hitam-putih dari sekelompok tentara berdiri, senjata yang tergantung di langit-langit kamar berseberangan dengan latar berupa gambar hutan belantara di Timor Leste.

“Ini karya Philip Blenkinsop,” katanya, merujuk pada fotografer perang Australia yang terkenal itu.

“Saya menyelundupkan dia ke Timor Leste dengan menggunakan kontak saya dengan pemimpin gerilya,” tambahnya dengan santai.

Jill Jolliffe
Jill Jolliffe bersama Presiden Francisco Xavier do Amarillo di Bandara Dili tahun 1975.

Supplied: James Dunn

Jill telah meliput peperangan di Afrika, emas milik Nazi di Portugal, perdagangan budak seks Eropa – namun sebagian besar energi jurnalistiknya berfokus pada pulau kecil yang diperebutkan di utara Australia.

Setelah bertahun-tahun meliput mengenai Timor Leste (dulu Timor Timur), Jill mendirikan ‘Proyek Memori Hidup’ pada tahun 2001, yang mengabadikan kesaksian para mantan tahanan politik dan korban penyiksaan.

Dia meyakini penting untuk tidak melupakan konflik Timor Leste.

Adalah sebuah ironi ketika tidak ada kenangan diantara kami yang terlupakan, saat kita duduk di rumah perawatannya yang damai di Carlton, di pinggiran Melbourne, sementara ingatannya sendiri telah menjadi suatu masalah baginya.

Melampaui Alzheimer

Pada tahun 2016, Jill didiagnosis menderita Alzheimer dan status ini diiringi dengan penilaian medis bahwa dia memerlukan pengawasan 24 jam.

Itu adalah kejutan besar bagi Jill dan teman-temannya. Setelah diagnosis, saya menjadi salah satu wali sahnya dan membantunya mendapatkan rumah tinggal.

Meskipun dia menerima penyakit Alzheimer yang dideritanya, Jill membantah ia memerlukan perawatan siang-malam dan cara pengawasan penuh itu membatasi kebebasannya.

Dia hanya bisa pergi keluar dengan ditemani teman atau staf – sebuah batasan yang menyakitkan bagi seorang wanita yang biasa menjelajahi dunia dan hidup dari akal sehatnya.

“Saya telah menghabiskan sebagian besar hidup saya sebagai koresponden asing dan saya pernah ditembaki oleh tentara Indonesia dan juga dari Angkatan Udara Amerika Serikat, dan saya berhasil lolos dari cukup banyak situasi yang mencekam.”

“Saya telah bertahan dari semua ini, beberapa orang mungkin mengatakan saya berhasil melaluinya karena kecerdikan saya.”

Laporan penuh dedikasi

Tapi itu benar adanya – Jill telah berhasil lolos dari beberapa situasi yang mencekam lantaran kecerdikannya.

Dia dilarang masuk ke Indonesia dan melakukan perjalanan klandestin kembali ke Timor Timur pada tahun 1994 untuk memecahkan kesunyian yang menutupi pulau yang dikuasai itu.

Jill Jolliffe
Jill Jolliffe bersama anggota Proyek 'Living Memory' di Dili tahun 2010.

Supplied: Ann Brady

Dari sana, dia melacak pemimpin perlawanan, Konis Santana, jauh di tengah hutan belantara dan nyaris mendapatkan dirinya sendiri dan yang lainnya terbunuh dalam proses pencarian itu – namun laporannya mengungkapkan sorotan yang jauh sangat dibutuhkan terkait pelanggaran hak asasi manusia, dan membantu perjuangan panjang pulau ini untuk merdeka.

Di samping laporan tentang pendudukan Timor Leste oleh Indonesia antara tahun 1975 dan 1999, Jolliffe berjuang untuk membuktikan kebenaran kejadian yang terjadi pada lima reporter TV muda yang dia sempat berteman dengan mereka pada hari-hari menjelang invasi Indonesia.

Bukunya yang diterbitkan pada tahun 2001 berjudul ‘Cover-Up’, menjadi dasar sebuah film layar lebar, Balibo, yang merinci pembunuhan yang disengaja dari para jurnalis ini – dan reporter Roger East, yang juga terbunuh setelah dia dikirim ke Dili untuk menyelidiki kasus ini.

Liputannya juga menjadi penting pada Komisi Kerajaan pada tahun 2007 mengenai salah satu pembunuh, yang akhirnya menetapkan bahwa militer Indonesia telah memerintahkan kematian mereka.

Melawan segala rintangan

Kecerdasan dan kemampuan Jill untuk bertahan hidup melawan segala kemungkinan sudah dimulai dilakukan sejak lahir.

Dalam buku memoarnya, ‘Run For Your Life’, merinci pengadopsian dirinya saat masih bayi berusia tiga bulan di tahun 1945 dan masa kecilnya yang kejam, di tangan orang tua angkatnya yang cukup terpandang.

Fiona Gruber bekerja sama dengan teman lamanya, Jill Jolliffe, untuk menceritakan kisahnya.

Ayah angkatnya meninggal dan ibunya menikah lagi; ayah tirinya tiba di Australia sepulang dari menjadi tentara Jerman. Dia tidak berbasa-basi saat dia menggambarkan pertarungannya melindungi dirinya dan saudara angkatnya dari kekerasan ayah tirinya tersebut.

“Pemukulan yang saya jalani sangat sering dilakukan untuk membela saudara laki-laki kecil saya, dan saya akan diserahkan kayu-kayu bakar dan melemparkannya ke kepala Nazi,” paparnya.

Dia lolos pada usia 15, sebelum memenangkan beasiswa ke Monash University untuk membaca bahasa Inggris.

Karakter pemberontaknya yang kuat telah membuatnya menjadi sosok yang sangat pas dalam keanggotaannya di Klub Partai Buruh di Universitas Monash yang radikal dan tingkahnya yang pemberani dan prestasinya sangat beragam; mulai dari mengganggu relawan penginjil Billy Graham, hingga menjadi satu-satunya pembicara wanita dalam aksi demonstrasi menentang Perang Vietnam pada 1970.

Dia juga mengelola toko buku feminis dan membantu toko itu menemukan majalah feminis awal, Vashti’s Voice. Ibu angkatnya melaporkannya ke lembaga intelejen Australia ASIO karena kegiatan  aktivitas subversif.

Meskipun demikian, dia menolak mencari tahu apa-apa tentang orang tua kandungnya. Dia memiliki banyak penolakan dalam hidupnya dan penolakan yang lainnya mungkin terlalu berlebihan.

Tapi ketika dia memasuki usia pertengahan tahun 60-annya, dia memutuskan sudah waktunya untuk mencari tahu. Dengan bantuan Jaringan Adopsi Victoria, dia melacak orang tua kandungnya dan menemukan bahwa ibunya yang berusia 83 tahun masih hidup.

Sebuah reuni

Saya ingat saat Jill memberitahu saya bahwa dia telah berbicara dengan ibunya lebih dahulu di telepon.

“Saya memikirkan anda setiap hari,” katanya pada Jill, dan mereka setuju untuk bertemu.

Saya mengantarkan Jill ke tempat pertemuan, sebuah halte bus anonim di pinggiran utara.

Kami berdiri menunggu di sana di bawah sinar matahari, dan kemudian di kejauhan melihat seorang wanita berjalan cepat menuju ke arah kami.

Dengan rambutnya yang dipotong pendek, celana longgar, blus longgar dan kalung manik-manik kecil, dia pantas dikatakan sebagai kakak perempuan Jill. Dan, mengingat bahwa mereka hanya terpaut usia 15 tahun, bisa jadi demikian.

Mereka berpelukan untuk waktu yang lama, pertama kali mereka saling bersentuhan dalam 68 tahun.

Itu adalah momen yang luar biasa.

Dan dalam sebuah keberuntungan, ibu Jill berbagi pandangan politiknya, kebebasannya yang sangat kuat dan kecerdasannya. Seperti yang Jill katakan, “Saya pikir kita memiliki lebih dari beberapa gen saja.”

Meskipun ibu Jill telah meninggal, reuni tersebut sangat menyembuhkan.

“Saya pikir kebanyakan anak angkat memiliki fantasi … bahwa Anda telah ditinggalkan dan Anda adalah orang yang dibenci,” katanya.

“Saya bisa menyingkirkan pemahaman itu, dan saya pikir hidup saya jauh lebih baik sejak saat itu.”

Warisan Jill

Jill telah memiliki kehidupan yang luar biasa dan telah membuat dampak yang besar – untuk kebaikan – pada kehidupan orang lain.

Dia punya banyak hal dalam hidup ini yang harus dilakukannya, dan walaupun telah didiagnosis Alzheimer berarti dia mungkin tidak mengingat semua detail masa lalunya dan sekarang, dia tidak pernah berhenti menjadi wanita yang sangat cerdas, lucu dan memberontak yang selalu ada padanya.

Sumbangsihnya untuk menceritakan kisah Balibo Five dan menjaga agar Timor Timur tetap menjadi sorotan selama masa-masa gelapnya adalah hal yang patut dibanggakannya.

“Saya diberitahu baru-baru ini bahwa liputan saya tentang kisah Balibo adalah benar-benar mengingatkan masyarakat akan masalah Timor Timur dan itu telah memulai segala sesuatunya,” katanya.

“Saya merasa bangga dengan itu, ketidakadilan adalah ketidakadilan dan itu tidak akan berubah seiring dengan berjalannya waktu … orang perlu diberi pemahaman.”

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.