ABC

Mengembalikan Senyuman Dan Keberanian Korban Pasca Bencana di Indonesia

Bencana alam seperti gempa di Lombok dan tsunami di Palu-Donggala kerapkali menimbulkan trauma pada korban. Masalahnya, tak semua korban menyadari jika mereka mengalami gangguan psikologis tersebut. Penyembuhan trauma (trauma healing) dianggap penting agar korban tetap tenang menghadapi memori kengerian bencana.

Melinda Nadya Ariska adalah salah satu korban selamat dari gempa yang melanda Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat pada 5 Agustus lalu. Saat gempa terjadi, Melinda sedang berada di dalam rumahnya yang terletak di daerah Kayangan, Kabupaten Lombok Utara.

Kala itu, ia tengah bersama sang nenek dan kakek.

“Saya sedang sembahyang saat gempa terjadi. Saya langsung keluar mushola. Orang tua saya saat itu sedang berada di Gili (pulau kecil). Mereka bekerja di sana.”

Ia menceritakan suasana kepanikan sesaat setelah gempa terjadi dan bagaimana rumah yang didiaminya runtuh seketika.

“Sebenernya saya deg-degan sekali tapi berusaha menenangkan diri. Soalnya kan semua panik, pada teriak-teriak. Biar semua nggak ikut panik cobalah saya menenangkan diri sendiri. Apalagi rumah langsung ambruk setelah kejadian,” ujar perempuan 21 tahun ini kepada ABC (16/10/2018).

Liza bermain bersama korban gempa anak dalam sesi 'trauma healing'.
Liza bermain bersama korban gempa anak dalam sesi 'trauma healing'.

Supplied; Sekolah Relawan

“Besoknya kami balik lagi ke rumah, kami lihat kondisinya, masih menangis.”

Dua minggu pasca gempa, Melinda berkesempatan mengikuti sesi penyembuhan trauma di kampus Universitas Mataram, tempatnya belajar.

“Saya diajarin gerakan-gerakan. Ada diajarin menggenggam tangan, kalau tidak salah ada 6 gerakan. Pertama tarik nafas, lalu ada gerakan tai chi, gerakan bagaimana kita menenangkan orang lain, seperti itu kira-kira,” tuturnya.

Sebelumnya mahasiswa semester 7 ini sama sekali tak mengetahui tentang penyembuhan trauma bagi korban bencana.

Selepas gempa, ia mengaku mencoba memulihkan kondisi kejiwaannya dengan berkumpul keluarga dan mengatur nafas jika memori tentang gempa membuatnya dadanya sesak.

Hingga ia mendengar informasi mengenai sesi tersebut dari pesan teks rekan kampusnya.

Melinda sendiri tertarik untuk mengikutinya karena ia merasa hal itu penting.

Ia berpendapat penyembuhan trauma bagi korban bencana begitu penting. Ia mengambil contoh keluarganya sendiri.

“Rata-rata orang rumah masih trauma, dan belum tahu bagaimana cara menenangkan diri yang benar. Mereka juga belum pernah ketemu psikolog profesional.”

Setelah sesi penyembuhan trauma yang diikutinya, Melinda mengaku sudah tak lagi gemetar ketika masuk ke dalam sebuah bangunan.

Lain lagi kisah bencana yang dialami Dian Rutami, pegawai negeri sipil di Jakarta. Ia tak langsung menjadi korban tapi keluarga intinya di Palu, Sulawesi Tengah.

Tergerak oleh nasib ayah, ibu dan adik-adiknya, Dian memutuskan pulang ke Palu beberapa hari setelah gempa 28 September mengguncang.

Dian menyaksikan sendiri rumahnya di Palu Utara yang roboh dan keluarganya yang terpaksa mengungsi di depan rumah dan tinggal beralaskan terpal.

Kondisi rumah Melinda di Lombok yang runtuh pasca gempa.
Kondisi rumah Melinda di Lombok yang runtuh pasca gempa.

Supplied

Ia menuturkan, sang ibu begitu memendam trauma.

“Sampai sekarang kadang masih terasa gempa susulan, kalau sudah begitu, mama masih teriak-teriak ingat gempa besar yang waktu itu,” ujarnya kepada ABC.

Ia akhirnya berkesempatan untuk bertemu dengan relawan psikolog, Liza Marielly, yang datang bersama rombongan Sekolah Relawan. Dari Liza, Dian mengetahui adanya sesi penyembuhan trauma untuk korban bencana.

Ia-pun lantas membantu Liza menemui korban-korban lainnya yang tinggal di tenda pengungsian di sekitar Palu. Ia juga meminta ibunya untuk mengikuti penyembuhan trauma yang diadakan Liza.

“Saya tanya mama, ‘gimana ma rasanya?’ dia jawab ‘ya sudah lumayan sudah bisa tarik nafas dulu kalau sudah mulai ketakutan’,” ujar Dian menuturkan ucapan sang Ibu.

“Mama bilang dia diajarkan gerakan tangan supaya tetap tenang.”

Liza, sang psikolog sendiri, bertugas di wilayah Palu dan Donggala selama sepekan. Sebagai satu-satunya psikolog dalam tim relawan yang diikutinya, tugas Liza cukup berat.

“Sehari saya bisa menangani 50-100 orang tergantung wilayahnya, karena di Palu ini orang nggak tinggal dalam tenda besar tapi mereka mengungsi berkelompok. Satu desa bisa mengungsi di tempat berbeda,” ceritanya kepada ABC.

Banyak korban belum mengetahui tentang penyembuhan trauma. Berbicara dengan sosok psikolog seperti Liza adalah hal langka. Liza memutuskan untuk ‘menjemput bola’.

“Dengan bermain mereka jadi melupakan sejenak kejadian yang mereka alami. Membuat mereka tertawa itu penting karena mereka bisa melepaskan emosi,” sebutnya.

Berbeda dengan korban dewasa, korban anak lebih terbuka, kata Liza.

“Kalau orang dewasa seringkali bilang, saya nggak apa-apa, saya kuat, tapi setelah dikorek-korek..bum..baru keluar semua..nangis sejadi-jadinya,” tutur psikolog yang juga sempat bertugas di gempa Lombok dan tsunami Aceh ini.

Liza mengharapkan lebih banyaknya kehadiran psikolog di lokasi bencana. Trauma yang dialami korban acapkali tak kentara namun bisa berbuntut panjang dan berdampak serius jika tak ditangani.

“Sepengetahuan saya, jarang sekali ada relawan psikolog yang datang. Kemarin saya keliling, korban juga bilang mereka baru ketemu saya ini,” katanya.

Achmad Yurianto, Kepala Pusat Krisis Kesehatan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah menerjunkan tim kesehatan jiwa ke lokasi bencana seminggu pasca gempa, walau semua relawan kesehatan selalu diminta untuk berperan serta dalam penyembuhan trauma korban.

Korban gempa Palu dalam sebuah sesi penyembuhan trauma.
Korban gempa Palu dalam sebuah sesi penyembuhan trauma.

Supplied; Sekolah Relawan

Di Palu, Kemenkes menurunkan 3 tim di 2 kabupaten dan 1 kota di mana satu tim-nya berisi 5 orang. Tim inilah yang menangani trauma healing dan hal-hal yang bersifat psikologis lainnya.

“Tim ini fungsinya konsulen, yang aktif mencari adalah semua relawan kesehatan. Tim ini ada di rumah sakit sebagai konsulen dari tim relawan manakala menemukan kasus-kasus yang kecenderungannya perlu penanganan tenaga kesehatan khusu,” terang Achmad.

Achmad mengatakan, bagian penting dari penyembuhan trauma justru terletak pada peran serta semua pihak untuk tidak melakukan trauma building (memicu trauma).

“Hal yang kontraproduktif dari kegiatan trauma healing ini adalah trauma building, orang yang masih membangun trauma dengan menyebar berita hoax, masih menayangkan kejadian-kejadian video, audio pada hari-H sampai sekarang, itu kan masih membangkitkan traumanya korban.”

Ia lalu mencontohkan bentuk tayangan media penyiaran yang makin memicu trauma.

“Itu malah membangkitkan trauma korban kalau breaking news di sebuah media diawali dengan video audio tentang kondisi hari pertama, kedua, penuh kepanikan, ketakutan, kekacauan, ini akan memelihara trauma mereka.”