ABC

Mengecek Kebenaran Anggapan Untuk Atasi Korupsi di Indonesia

Ada sejumlah anggapan yang beredar di kalangan masyarakat yang dianggap dapat memerangi tindakan korupsi di Indonesia, seperti menaikkan gaji pegawai negeri.

Tapi apakah anggapan ini benar-benar bisa atasi masalah korupsi, atau hanya akan berakhir menjadi sebuah mitos?

Mulai dari diskusi di kelas-kelas sekolah hingga debat calon presiden mencoba mencari jalan keluar menumpas korupsi, yang dianggap sebagai salah satu masalah terbesar di Indonesia.

ABC Indonesia mencoba untuk mencari tahu kebenaran anggapan ini, serta membandingkannya dengan fakta-fakta temuan lembaga anti-korupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW).

1. Gaji dinaikkan, tak ada alasan untuk korupsi

Irvan Rivano Muchtar
Irvan Rivano Muchtar, jadi ditangkap KPK Desember 2018, diduga korupsi dana alokasi khusus pendidikan saat menjabat sebagai bupati Cianjur, Jawa Barat.

Detik: Ari Saputra

Salah satu yang disorot warga saat debat calon presiden RI pertama bebeberapa waktu lalu adalah bagaimana strategi kedua pasangan calon presiden dalam menghentikan praktik korupsi di kalangan pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat.

Pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno berpendapat korupsi disebabkan karena penghasilan pegawai negeri yang kurang, selain juga mengatakan pegawai pemerintah yang korupsi akan diasingkan ke pulau terpencil.

Sementara Joko Widodo dan Ma’aruf Amin merasa gaji pegawai negeri sudah cukup, yang perlu dirampingkan adalah perampingan struktur birokrasi dan pengawasan dari dalam dan luar.

Menurut Adnan Topan Husodo, Koordinator ICW, kenaikan gaji adalah sebuah strategi menekan korupsi yang hanya bisa dilakukan di tingkat rendah pegawai negeri.

Kenaikan gaji tidak akan membuat pejabat dan aparat hukum berhenti melakukan korupsi, tambahnya.

“Contohnya gaji hakim, gaji mereka bisa mencapai Rp 40 juta sebulan, tapi tetap saja ada diantara mereka yang ditangkap Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) karena menerima suap,” kata Adnan kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Ia berpendapat salah satu penyebab seseorang berani terlibat dalam tindakan korupsi adalah karena sifat yang rakus.

2. Mereka yang berpendidikan tak akan korupsi

Seorang pria menggunakan topi dikerubuti oleh kerumunan
Dr Marsudin Nainggolan, mantan ketua Pengadilan Negeri Medan yang ditangkap KPK di tahun 2018.

Detik: Resi

Mungkin Anda berpikir orang yang pendidikannya lebih tinggi, apalagi yang pernah belajar di luar negeri, akan menghindari dirinya dari tindakan korupsi

Tetapi sebaliknya, Adnan menegaskan jika korupsi adalah kejahatan orang pintar dan dilakukan oleh orang-orang yang punya strategi.

Ia mengatakan meski pendidikan tidak ada kaitannya dengan tindakan korupsi, “tapi orang yang pintar cenderung lebih potensial terlibat korupsi.”

3. Politisi muda tak miliki keinginan korupsi

Seorang pria menggunakan rompi tahanan KPK didampingi sejumlah orang.
Zumi Zola, mantan gubernur Jambi , adalah salah satu pemimpin muda yang terjerat kasus gratifikasi.

Detik: Ari Saputra

Saat memilih calon-calon legislatif pada pemilihan umum, ada harapan besar yang diberikan kepada politisi muda yang masih memiliki idealisme untuk bisa menghentikan tindakan korupsi.

Tapi Adnan mengatakan ini adalah pandangan yang keliru dan tidak bisa menjadi sebuah jaminan.

“Dari kasus korupsi yang melibatkan politisi dan pegawai negeri, juga pengusaha, usia koruptor beragam mulai dari 25 tahun keatas sampai yang tua bangka,” katanya.

Ia menambahkan, menurut survei-survei menunjukkan sebagian mahasiswa masih melakukan “tindakan koruptif” saat menulis skripsi atau karya tulis, seperti plagiarisme.

4. Korupsi sudah tradisi, sulit diatasi

Sebuah kereta sedang melintasi perumahan warga
ICW mencontohkan kinerja penyediaan transportasi umum kereta Jabodetabek yang lebih baik dibandingkan dulu dimana penumpang bisa naik ke atas gerbong.

Detik: Rachman Haryanto

ICW menjelaskan survei terakhir dari Lembaga Survei Indonesia menemukan kebanyakan warga Indonesia memberikan gratifikasi kepada pegawai negeri karena ingin urusan mereka selesai dengan cepat.

Menurut Adnan hasil survei ini menjadi bukti jika masalah korupsi di Indonesia adalah lebih karena struktural, bukan kultural.

Ia tak setuju dengan anggapan korupsi di Indonesia sudah menjadi sebuah tradisi, karena jika pelayanan publik diperbaiki, celah untuk melakukan tindakan korupsi akan berkurang.

“Misalnya revolusi yang dilakukan [Ignasius] Jonan saat menjadi PT KAI, yang membuat perusahaan berbeda untuk membawahi komuter Jabodetabek.”

“Sekarang [kereta jurusan Jabodetabek] memiliki fasilitas yang nyaman, gerbong ber-AC, penumpang yang mulai antri dan lebih tahu aturan, dibandingkan dengan sebelumnya.”

5. Hukuman berat agar koruptor jera

Para narapidana di China sedang mendapat arahan dari seorang polisi
Di China dilaporkan pejabat tingkat tinggi yang melakukan tindakan korupsi dengan jumlah uang yang sangat besar diancam hukuman mati.

Foto: China Peace website

Seringkali kita mendengar ada baiknya pemerintah Indonesia meniru langkah China dalam memerangi korupsi, yakni menghukum mati koruptor.

ICW menjelaskan Corruption Perception Index menunjukkan negara-negara yang tidak mengenal, bahkan melarang hukuman mati, justru masuk dalam daftar negara-negara yang dianggap paling bersih, seperti negara-negara Skandinavia.

“Indeks China tidak berbeda jauh dengan Indonesia, artinya ada cara lain yang lebih efektif untuk menangani korupsi dibandingkan hukuman mati,” kata Adnan.

Menurut Adnan hukuman penjara yang panjang pun tidak akan membuat jera atau mencegah tindakan korupsi.

“Ketika dipenjara pun, dengan uang yang banyak, mereka tetap bisa main-main, menyuap untuk bisa keluar, menginap di hotel atau vila,” ujarnya mencontohkan beberapa kasus di Lembaga Permasyarakatan Sukamiskin Bandung.

Adnan mengatakan hal yang bisa membuat orang untuk takut korupsi dan jera adalah jika dimiskinkan serta aset dan kekayaannya dirampas negara.

Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.