ABC

Mengatasi TB di Asia Pasifik

Tuberkulosis adalah penyebab kematian nomor satu dari penyakit menular di seluruh dunia. Sementara Australia memiliki tingkat tuberkulosis terendah di dunia, lebih dari setengah kasus resistensi-multi obat ditemukan di berbagai wilayah di Australia. Peran warga sangat penting dalam mengakhiri epidemi tuberkulosis global pada tahun 2030.

Lucy Dai tinggal di Pulau Daru, Papua Nugini, dan paham sekali mengenai jumlah kematian yang diakibatkan oleh tuberculosis.

Butuh waktu satu setengah tahun baginya untuk didiagnosis menderita penyakit yang dikenal sebagai TB.

“Sebelum saya didiagnosis menderita TB, saya tidak nafsu makan, sangat lemah dan sering batuk,” katanya. “Suami menggendong saya ke rumah sakit.”

Ketika obat non-TB yang diterimanya tidak membuat kondisinya membaik, dia kehilangan harapan.

Tapi setelah setahun meminum obat TB, kondisi Lucy masih belum membaik, dan dia takut saat melihat pasien TB lainnya meninggal di sekitarnya.

Dia akhirnya didiagnosis dengan TB yang resisten terhadap berbagai jenis obat (MDR-TB) dan memulai perawatan yang tepat.

“Pengobatan saya sangat sulit karena harus naik kapal setiap bulan selama tiga tahun pengobatan.”

Saat ini dia telah mengalami banyak hal sejak diagnosis pertama itu.

Konselor sebaya, Lucy Dai berbicara pada event Hari TB Sedunia di Daru, Papua Nugini
Konselor sebaya, Lucy Dai berbicara pada event Hari TB Sedunia di Daru, Papua Nugini

Supplied: Tess Keam

Sekarang Lucy bekerja sebagai konselor untuk membantu orang lain menjalani perjalanan pengobatan panjang untuk penyakit ini. Pekerjaannya merupakan bagian dari program RID-TB Burnet Institute, yang didanai oleh Australian Aid.

“Ketika memberi nasehat, saya selalu berbagi pengalaman tentang apa yang saya alami dan bagaimana saya sekarang,” kata Lucy.

“Kita semua bekerja sama, konselor, pendukung pengobatan dan staf lainnya untuk menghentikan TB bersama-sama.”

Dia bekerja dengan pasien, mendidik banyak keluarga dan masyarakat tentang TB dan pentingnya tidak mendiskriminasi pasien.

“Itulah hal terbesar yang saya bicarakan. Jika pasien didiskriminasi maka hal itu bisa mengganggu mereka menjalani pengobatan.”

“Kami memiliki masalah besar yang harus dihadapi terkait dengan TB,” kata Dr Suman Majumdar, ahli TB dan pakar keamanan kesehatan di Burnet Institute yang telah bekerja di Papua Nugini. Setiap tahun 1,4 juta orang meninggal karena penyakit ini.

Dokter memperingatkan TB yang resisten berbagai obat dapat mengacaukan sistem kesehatan di kawasan
Peneliti utama Suman Majumdar (kanan), dari Centre for International Health di Burnet Institute, Melbourne.

Dr Majumda mengatakan di Asia, kita melihat beban TB yang sangat besar di India, China dan Indonesia. Ada juga tingkat TB yang tinggi di beberapa bagian Pasifik, khususnya Papua Nugini.

“Jadi TB menyebabkan jumlah korban atau biaya yang signifikan bagi keluarga dan individu, tidak hanya membuat mereka sakit tapi juga beban ekonomi bagi mereka karena menderita penyakit yang kronis dan sudah berlangsung lama.”

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (diumumkan pada tahun 2015) ingin mengakhiri epidemi TB pada tahun 2030. Itu adalah target ambisius, kata Dr Majumdar.

Menurut dia, ada beberapa pendorong terjadinya epidemi TB. Faktor sosial seperti kepadatan penduduk dan kemiskinan, diabetes dan sistem kesehatan yang tidak bekerja dengan baik semuanya turut berkontribusi.

“Jika warga tidak dapat mengakses layanan kesehatan dasar, mereka tidak akan mendapatkan tes untuk mendiagnosis TB.”

Dr Majumdar berpendapat bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan, baik dalam mengembangkan tes baru maupun perawatan TB, dan mengambil keuntungan yang lebih besar dari alat yang sudah tersedia.

Dr Kerri Viney dengan pasien TB selama kunjungan ke Propinsi Speu, Kamboja
Dr Kerri Viney dengan pasien TB selama kunjungan ke Propinsi Speu, Kamboja

Supplied: Sokhan Khann

Dr Kerri Viney dari Australian National University adalah konsultan TB dan kesehatan masyarakat internasional dan tinggal di Pasifik selama lima setengah tahun.

Dia mengatakan bahwa sementara Australia tidak memiliki beban TB yang besar, situasi di Pasifik juga turut mempengaruhi Australia.

“Lebih dari 80 persen pasien TB di Australia berasal dari negara lain,” kata Dr Viney.

Dalam pekerjaannya sebagai penasehat TB di Pasifik, dia menghadapi banyak tantangan dalam melawan penyakit ini.

Dr Viney bekerja pada Organisasi Kesehatan Dunia untuk melihat upaya mendukung berbagai negara ketika memiliki kasus TB-MDR.

“Kita tidak bisa memiliki obat untuk jenis TB yang resistan terhadap obat-obatan untuk dimiliki di setiap negara Pasifik karena harganya mahal. Kemudian obat itu akan kadaluwarsa,” katanya.

Mereka melihat tiga cara untuk mengatasi masalah ini. Pertama, memberikan akses bagi laboratorium di Pasifik terhadap laboratorium lain, biasanya di Australia, Selandia Baru atau AS jika mereka memerlukan diagnostik lanjut.

Kedua, memberi mereka akses cepat terhadap obat-obatan untuk TB-MDR yang dikirim dari Filipina. Dan ketiga, memberi mereka akses terhadap saran klinis gratis dari dokter TB yang berpengalaman.

Terlepas dari upaya-upaya yang perlu dilakukan di masa depan, Dr Andhum dan Dr Viney optimis tentang peluang menghilangkan TB.

“Lebih optimistis – itu harus dilakukan,” kata Dr Majumdar, “Kita setidaknya harus membalikkan kondisi ini hingga jumlah kematian akibat TB-MDR berkurang dan semakin menurun.”