Mengapa Efikasi Vaksin COVID-19 Sebesar 50 Persen Bukanlah Hal yang Buruk?
Jumlah kematian akibat COVID-19 di dunia mendekati angka dua juta jiwa dan semakin banyak negara yang mulai melakukan program vaksinasi.
Indonesia telah memulai program vaksinasi Rabu kemarin (14/01), Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama di Indonesia yang mendapat suntikan vaksin COVID-19 buatan Sinovac.
Menurut petunjuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap perusahaan pembuat vaksin harus memastikan tingkat efikasi vaksin mereka sekurang-kurangnya adalah 50 persen.
Angka ini sudah dicapai oleh pembuat vaksin yang dibuat di beberapa negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman.
Sebagian besar warga Australia akan menerima vaksin Oxford-AstraZeneca, yang akan bisa diproduksi di dalam Australia sehingga ada kemungkinan jika dilakukan terhadap seluruh warga maka akan tercapai kekebalan massal.
Namun sampai saat ini tidak ada satupun vaksin yang bisa memastikan tercapainya kekebalan massal, atau ‘herd immunity’, termasuk di Indonesia.
Vaksin yang sudah disetujui digunakan di beberapa negara sejauh ini hanya bisa mengurangi tingkat keparahan ketika terkena COVID-19 dan masih belum diketahui apakah mereka yang divaksin tidak akan terkena sesudahnya.
Tidak diketahui juga apakah mereka yang sudah divaksin akan tidak bisa menyebarkan virus ke yang lain, serta berapa lama mereka mendapat perlindungan.
Meski masih ada ketidakjelasan, banyak negara sudah memesan jutaan vaksin yang memiliki tingkat efikasi yang berbeda.
Target efikasi 50 persen terlihat tidaklah tinggi, beberapa pakar mengatakan hal tersebut, dan mungkin tidak akan cukup untuk mengembalikan dunia ke keadaan normal seperti sebelum COVID-19.
Jadi mengapa muncul target efikasi 50 persen tersebut? Apa yang dimaksudkan dengan tingkat efikasi vaksin?
Apa yang disebut sebagai tingkat efikasi dan juga tingkat efektivitas?
Yang pertama perlu dipahami adalah beda tingkat efikasi dan tingkat efektivitas vaksin.
Adrian Esterman, kepala bagian BioStatistika dan Epidemiologi di University of South Australia, Adelaide mengatakan kepada ABC jika perbedaannya sederhana.
“Tingkat efikasi adalah seberapa bagus vaksin itu bekerja dalam uji klinis. Tingkat efektivitas adalah bagaimana vaksin itu bekerja ketika sudah diberikan kepada masyarakat umum,” kata Dr Esterman kepada ABC.
Artinya bila 100 orang divaksinasi dalam uji klinik dan tingkat efikasi menunjukkan 50 persen, berarti 50 orang yang divaksin itu akan kebal dari penyakit.
Tetapi menurut Dr Esterman ketika vaksin yang sama diberikan kepada masyarakat umum, tingkat efikasinya bisa berbeda, karena dalam uji coba, tidak semua lapisan masyarakat masuk dalam uji coba.
Menurut Pusat Penyakit Menular Amerika Serikat (CDC), tingkat efektivitas vaksin flu tahunan yang diberikan berkisar antara 40 sampai 60 persen.
“Dalam uji coba, kita bisa memilih siapa yang akan menjadi relawan,” kata Dr Esterman.
“Namun di masyarakat, ada saja orang yang hamil dan yang lain memiliki kondisi kesehatan berbeda-beda, khususnya lansia yang sudah memiliki banyak kondisi kronis.”
Untuk mengukur tingka efektivitas, perusahaan vaksin akan melakukan uji coba tahap keempat yaitu memantau dampak samping atau memantau masalah yang tidak diduga sebelumnya akan terjadi.
Mengapa WHO menerapkan tingkat efikasi 50 persen?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar vaksin dalam dokumen yang disebut dengan Target Product Profile (TPP).
Dalam TPP ini ada beberapa ukuran standar yang dipenuhi berkenaan dengan efikasi, masa perlindungan, dosis pemberian dan kondisi penyimpanan vaksin.
Dokumen itu menyebutkan WHO menghendaki tingkat efikasi 70 persen dengan minimun yang harus dicapai 50 persen.
Jodie McVernon, Direktur Bidang Epidemiologi dan Penyakit Menular di Doherty Institute, Melbourne, mengatakan dunia saat ini sedang dalam keadaan “darurat”.
Menurutnya target 50 persen yang diterapkan WHO itu menunjukkan “keadaan yang sedang kita hadapi sekarang ini” dan otoritas di seluruh dunia berusaha mencari sesuatu yang bisa membantu mengatasinya.
“Tujuan kami adalah membuat pandemi ini bisa dikontrol semaksimal mungkin, khususnya di bagian dunia yang parah saat ini, sementara kita terus belajar mengenai vaksin tersebut.”
Target minimun tersebut juga sudah disetujui oleh regulator bidang kesehatan di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Uni Eropa.
Sejauh ini bagaimana tingkat efikasi yang ada?
Yang sudah diketahui adalah beberapa vaksin sudah disetujui penggunannnya di beberapa negara Barat dan memiliki tingkat efikasi di atas 50 persen.
Vaksin Pfizer di tingkat 95 persen, Moderna 94,5 persen, dan Oxford-AstraZeneca sekitar 70.4 persen.
Australia sudah membeli 10 juta dosis vaksin PFizer dan 53,8 juta vaksin AstraZeneca.
Sementara itu vaksin asal Rusia dan China sudah disetujui penggunannya di beberapa negara, namun belum mengeluarkan data uji coba klinik tahap ketiga seperti yang sudah dilakukan vaksin dari negara Barat.
Di awal November, pengembang vaksin Sputnik V Rusia mengatakan vaksin mereka memiliki tingkat efikasi 92 persen, berdasarkan analisa dari 20 kasus COVID-19 dari sekitar 16 ribu relawan yang terlibat dalam uji klinik tahap ketiga.
Sementara itu beberapa vaksin COVID-19 dari China memiliki beberapa tingkat efikasi berbeda tergantung hasil analisa dari beberapa negara.
Perusahaan China Sinopharm memiliki vaksin dengan tingkat efikasi 79,34 persen, namun Uni Emirat Arab melaporkan tingkat efikasinya 86 persen bulan lalu.
Vakin yang dikembangkan China lainnya, Sinovac mencatat tingkat efikasi 50,4 persen dari pihak berwenang di Brasil.
Indonesia dan Turki mencatat tingkat efikasi yang berbeda dalam ujicoba Sinovac, namun datanya kecil sehingga sulit dijadikan patokan.
Sebelum data mengenai tingkat efikasi ini dikeluarkan, Anthony Fauci, Direktur Pusat Penyakit Menular Amerika Serikat mengatakan jika berharap tingkat efikasi yang tinggi mungkin terlalu muluk.
“Saya percaya kita akan mendapat vaksin yang efektif. Namun kita tidak tahu apakah akan 50 persen atau 60 persen,” kata Dr Fauci.
“Mudah-mudahan, saya maunya 75 persen atau lebih, namun kemungkinan untuk bisa mencapai 98 persen kecil sekali.”
Dengan adanya vaksin yang memiliki tingkat efikasi 90 persen, Dr McVernon mengatakan ini kabar yang bagus dan itu sudah melampaui harapan.
Apakah susah melewati tingkat efektivitas 50 persen?
Baik Dr McVernon dan Dr Esterman menekankan dibutuhkan waktu untuk bisa melihat tingkat efektivitas vaksin.
Dalam situasi bukan pandemi, Dr McVernon mengatakan persetujuan mengenai vaksin untuk penyakit tidak mendesak memerlukan waktu yang lama, kadang sampai 20-30 tahun dari proses awal sampai bisa diproduksi masal.
Dia mengatakan banyak faktor yang menjadi pertimbangan pihak regulator sebelum memberi persetujuan, antara lain seberapa parah penyakit tersebut, biaya untuk menangani penyakit tersebut, dan tentu saja tingkat efikasi, biaya dan efek samping.
Di tengah keadaan dunia seperti sekarang ini, Dr McVernon mengatakan pihak regulator harus mempertimbangkan ancaman COVID-19 terhadap penduduk dunia secara keseluruhan.
“Kadang tingkat efikasi setinggi mungkin menjadi tidak penting dibandingkan melakukan vaksinasi untuk sebanyak mungkin orang,” katanya.
“Bila hanya ada satu vaksin yang memiliki tingkat efektivitas 50 persen dan berguna, maka tentu kita ingin segera menggunakannya sambil menunggu yang lebih baik lagi.”
“Kriteria untuk bisa dapat vaksin yang terbaik akan terus meningkat karena penyakit COVID-19 akan semakin menyebar ke seluruh dunia.”
ABC sudah berusaha meminta komentar dari WHO.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dan lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini