ABC

‘Mengancing Baju Saja Susah’: Busana Adaptif Masih Jarang Ditemukan di Indonsia

Busana adaptif semakin berkembang sejak diperkenalkan oleh label busana dunia Tommy Hilfigher di akhir 2017. Namun di Indonesia hal ini masih jarang didapatkan.

Padahal, busana ini dirancang agar mudah dan nyaman digunakan para penyandang disabilitas, lansia maupun mereka yang mengalami kesulitan karena faktor kesehatan.

Bagi kebanyakan orang, mengenakan pakaian mungkin menjadi kegiatan sehari-hari yang tidak bermakna, namun bagi sebagian orang mengenakan pakaian bisa menjadi pengalaman yang menjengkelkan bahkan menyakitkan.

Tantangan semacam ini dialami oleh Tjuwita Listiati. Wanita berusia 75 tahun yang berdomisili di Kebon Jeruk, Jakarta Barat ini sejak 3 tahun terakhir menderita radang sendi akut.

Kondisi yang umum diderita lansia ini membuatnya sulit menggerakkan anggota tubuhnya.

Tjuwita Listiati
Tjuwita Listiati, 75 tahun, mengaku sangat terbantu dengan kehadiran busana adaptif karena radang sendi yang dideritanya menyulitkan dia memakai baju lantaran memicu nyeri di seluruh tubuhnya.

ABC News: Nurina Savitri

“Lutut dan sendi saya sakit apalagi kalau digerakkan. Dokter bilang persendian saya kaku. Kalau bergerak harus pelan-pelan,” tutur Tjuwita kepada ABC.

Radang sendi yang dideritanya membuat Tjuwita sangat tergantung pada orang lain dalam beraktivitas sehari-hari. Bahkan untuk hal sepele seperti memakai baju.

“Kalau pakai baju itu sulit dan sakit sekali persendian saya. Mau memasukkan tangan ke baju saja, tangan hingga leher saya sakit sekali,” ujarnya.

“Apalagi kalau mau pakai celana, sulit sekali memasukkan kaki. Saya harus membungkuk dan membuat punggung saya sakit sekali.”

“Mengancingkan baju apalagi. Susah dan lama sekali,” kata Tjuwita.

“Tangan saya seperti kesemutan, jadi gak dapat-dapat. Kancingnya gak bisa saya kaitkan. Saya harus minta tolong anak atau mba di rumah,” tuturnya.

Tren busana adaptif

Tren busana adaptif muncul dari kesadaran terhadap adanya kesulitan penyandang disabilitas, manula, penyandang autisme maupun penderita gangguan motorik seperti celebral palsy dalam mengenakan busana.

Saat ini sedikitnya 5 label busana dunia yang telah merilis koleksi busana adaptif seperti Target, Tommy Hilfiger dan Zappos.

Trend busana adaptif inilah yang mengilhami Angela Bestianti, 23 tahun, seorang sarjana kuliner di Jakarta memperkenalkan lini busana adaptif di tanah air.

Angela mengaku latar belakang bisnis keluarga di bidang alat bantu mobilitas bagi difabel dan lansia membuatnya menyadari masih minimnya perhatian terhadap kebutuhan busana yang lebih ramah bagi difabel maupun lansia.

Meski tak memiliki latar belakang dunia fashion, dia nekat mendirikan label busana Adaptive Clothing Indonesia sejak pertengahan 2018 lalu.

“Kalau sekarang busana khusus untuk orang hamil atau orang yang memiliki ukuran tubuh besar itu saja ada, tapi kenapa busana yang khusus untuk difabel atau senior belum,” ketika ditemui ABC Indonesia di Jakarta.

“Padahal busana adalah kebutuhan sehari-hari dan jumlah mereka juga sudah banyak di Indonesia. Sementara pakaian yang ada di pasaran sulit untuk mereka pakai,” tutur Angela, co-founder Adaptive Clothing Indonesia.

“Berpakaian kadang menjadi pengalaman yang sangat tidak menyenangkan dan membuat mereka jadi sangat tergantung orang lain,” jelasnya.

“Jadi mindset ini yang ingin saya ubah, supaya mereka bisa lebih mudah dan lebih mandiri untuk memakai pakaian,” kata Angela.

Dengan bantuan penjahit lokal di lingkungan tempat tinggalnya, Angela meluncurkan toko online yang menjual pakaian Adaptif Clothing hasil rancangannya berupa atasan blouse, kemeja dan bawahan.

Berbeda dengan pakaian pada umumnya, rancangan pakaian adaptif mengedepankan fungsi dan kemudahan untuk dipakai.

Bukaan leluasa dan fungsional menjadi ciri utama dari pakaian adaptif, selain penggunaan aksesoris khusus yang memudahkan pemakai atau perawat (care giver) memakaikan busana itu.

“Fungsi adaptif di busana kita itu bentuknya kita pakai kancing magnet, resleting dua arah yang bisa dibuka keatas dan kebawah dan perekat Velcro untuk mempermudah akses pemasangan pakaian ditubuh customer kita yang berkebutuhan khusus,” jelas Angela.

Di dalam merancang pakaiannya ini, Angela mengaku harus melakukan riset dengan mengunjungi rumahsakit dan rumah perawatan lansia.

“Saya riset ke rumahsakit dan nursing home. Atau ketika pas ada acara pameran, memperhatikan gerakan mereka sehari-hari, mencari tahu rancangan busana seperti apa yang bisa membuat mereka nyaman untuk bergerak,” katanya.

Hal lain yang berbeda dari produk fesyen adaptif adalah pendekatan rancangannya yang unik, misalnya busana yang dirancang untuk konsumen yang masih bisa mengenakan pakaian sendiri (independent dressing) dan juga mereka yang dibantu orang lain dalam memakai baju (assisted dressing).

“Untuk yang assisted dressing, saya merancang celana dengan bukaan lebar di bagian belakang, sehingga kalau pemakainya hendak ke belakang gak perlu dilepas seluruhnya,” jelasnya.

“Kita juga punya celana bukaan samping dengan zipper dua arah yang memudahkan pengguna yang memakai kateter,” kata Angela.

Selain itu rancangannya juga dibedakan berdasarkan kategori penyakit seperti diabetes, Alzheimer, Parkinson, persendian dan lain-lain.

“Untuk penderita Parkinson, ‘kan mereka sulit mengkoordinasikan gerakan tubuhnya terutama tangan, jadi busanya kita pakaikan kancing magnet supaya tidak perlu mengaitkan kancing, akan menutup sendiri,” tambah Angela.

Busana Adaptif
Busana adaptif semakin berkembang, kian banyak label busana global merilis koleksi busana yang dirancang agar mudah digunakan oleh lansia, difabel maupun mereka yang berkebutuhan khusus karena alasan kesehatan.

ABC

Selain produk yang belum dikenal luas, tantangan lain mengelola busana adaptif di Indonesia menurut Angela adalah terkait pemasok aksesoris busana yang khusus ini.

“Aksesorisnya ini yang masih sulit, semua saya masih harus impor karena di sini belum ada. Jadi memang agak mahal harganya, tapi kami tetap berusaha harga baju kami terjangkau,” katanya.

Angela mengaku saat ini konsumennya masih didominasi kaum lansia. Namun berkaca dari bisnis yang ditekuninya setahun terakhir, dia optimistis peminat dan prospek industri busana adaptif di Indonesia masih terbuka luas.

“Saya yakin akan ada fase dimana adaptive clothing akan sangat diperlukan di Indonesia. Populasi warga lansia diprediksi akan meningkat dan mereka akan membutuhkan pakaian seperti ini,” jelasnya.

Sementara itu kehadiran lini busana adaptif di tanah air sangat diapresiasi konsumennya. Salah satunya Tjuwita Listianti yang mengaku busana adaptif sangat memudahkan dia berbusana sehari-hari dan menjadi lebih mandiri.

“Ini sangat mudah dipakai, saya gak perlu susah mengaitkan kancing lagi, cukup didekatkan saja, sudah nutup sendiri dan saya bisa melakukannya sendiri,’ ujarnya.

“Sekarang saya bebas pakai baju kapan saja saya mau.”

Tren busana adaptif saat ini semakin berkembang, tak hanya terbatas pada mereka yang mengalami hambatan fisik.

Busana ini juga mulai dikembangkan bagi yang berkebutuhan khusus, seperti penyandang spektrum autisme yang memiliki masalah pada indera perasa yang sensitif.

Bagi mereka, busana adaptif dikembangkan dari bahan super lembut, tanpa ‘tag’ atau label, sebagaimana yang banyak disematkan di pakaian biasa.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.