ABC

Menelusuri Jejak Michael Fomenko, Si Tarzan Australia

Puluhan tahun tinggal di hutan hujan Queensland utara membuat Michael Fomenko menjadi legenda lokal, tetapi hanya sedikit orang yang memahami motivasinya.

“Mungkin seharusnya saya memberitahu Anda untuk memakai celana panjang … sedikit liar di luar sana,” ujar Greg Reghenzani di saat kami naik mobil 4WD (four-wheel drive)-nya.

Saya berada di pertanian tebu keluarganya di Gordonvale, selatan Cairns, pada suatu Jumat pagi yang berembun, menelusuri jejak legenda lokal, Michael “Tarzan” Fomenko.

Michael Fomenko di Balik Tebu
Michael Fomenko bersembunyi di antara tanaman tebu di peternakan Queensland utara.

Supplied

Kisah Michael Fomenko cukup terkenal di Queensland utara. Atau lebih tepatnya, ia dikenali banyak orang. Fakta-fakta dari cerita pribadinya dan apa yang menginspirasinya setidaknya dikenal oleh satu atau dua orang.

Michael menjelajahi berbagai belahan dunia selama puluhan tahun. Ia membuat hutan hujan tropis rumahnya selama 50 tahun, hidup dari hutan, terpisah dari masyarakat. Sebagian petualang, sebagian manusia hutan, sebagian gelandangan -ia adalah seorang pahlawan atau sebuah keanehan, tergantung pada siapa Anda bertanya.

"Saya telah meninggalkan apa yang Anda sebut peradaban. Saya menginginkan kehidupan yang telah saya jalani, atau saya hanya akan setengah hidup," tulis Michael Fomenko pada tahun 1960, menggambarkan rumahnya di tengah alam sebagai ‘surga perdamaian dan prestasi pribadi saya’.

“Surga” inilah yang saya alami. Setelah perjalanan singkat, kami sampai di ujung properti milik Greg, di mana ladang tebu hijau terang bersanding dengan hutan berwarna botol anggur di sepanjang tepi Sungai Mulgrave.

“Buaya?,” saya bertanya.

“Saudara laki-laki saya dulu biasa datang memancing di sini di malam hari,” Greg menggoda dengan senyuman licik. “Ia menyalakan obor dan lalu terlihat mata merah di mana-mana.”

Berbekal gambaran mental itu dan mengenakan celana pendek, kami memasuki hutan. Kami menuruni tepian sungai yang licin ke sebuah sungai tua lalu kumpulan tanaman rambat, pohon kelapa dan pohon-pohon raksasa. Nyamuk di mana-mana. Kondisinya gelap, lembab dan udara kental dengan bau apek lumpur basah.

Michael Fomenko di Tahun 1960
Michael Fomenko saat masih muda, di tahun 1960, setelah kembali dari perjalanan epik dengan perahu sampan ke Papua.

Supplied

Mengapa Michael memanggil tempat ini -sebuah hutan yang dipenuhi buaya dengan semua elemen bahaya dari daerah tropis -surga?.

“Ini ada dalam darahnya. Ini buah hatinya. Ia berdarah biru,” kata kakak perempuannya, Inessa.

Michael dan Inessa lahir di Rusia pada tahun 1920, dan memang dari keturunan aristokrat. Ibu mereka adalah Putri Elizabeth Matchabelli, dari garis keturunn bangsawan Georgia. Daniel Fomenko, ayah mereka, adalah keturunan ‘Cossack’ atau Slavia timur. Status sosial inilah yang menyebabkan masalah bagi keluarganya.

Pada saat Michael lahir, revolusi Bolshevik sudah berlalu satu dekade lamanya. Dampak penuhnya dirasakan di Georgia, kemudian sebagian dari Rusia, tetapi akhir tahun 1920-an, hal-hal itu berubah menakutkan.

"Mereka membunuh rakyatnya sendiri, semacam genosida budaya. Ayah khawatir bahwa ibu akan dibunuh juga," kata Inessa.

“Ditambah lagi, kami kelaparan. Rusuk Michael menonjol dan saya terbiasa pingsan karena kekurangan makanan. Ayah terus memegang saya di pergelangan kaki sehingga darah mengalir kembali ke kepala saya,” tambahnya.

Ia menyambung, “Ayah ingin melarikan diri, ke suatu tempat atau lainnya. Ia benar-benar begitu khawatir.”

Mereka akhirnya melarikan diri. Menggunakan dokumen identifikasi palsu dan menyamar, keluarga ini melarikan diri menyeberangi benua ke Vladivostok di timur. Inessa berusia sekitar lima tahun, Michael baru berusia dua tahun.

Menggunakan sisa-sisa barang berharga yang mereka miliki -perhiasan diselundupkan di jalur rel Trans-Siberian dijahit dalam mainan anjing Inessa -mereka menyewa bandit China untuk menyelundupkan perhiasan itu melintasi perbatasan ke Manchuria.

Keluarga Michael berjalan kaki selama satu bulan, melalui hutan pinus ‘Siberian Taiga’ yang luas. Mereka berjalan di malam hari, bersembunyi pada siang hari dan hidup apa adanya.

"Kami tak tahu ke mana kami akan pergi. Taiga begitu luas –penuh dengan harimau salju. Kami sepenuhnya mengandalkan bandit ini. Saya tak tahu bagaimana kami bisa, tapi kami melakukannya," kenang Inessa.

Setelah beberapa tahun di China, keluarganya pindah ke Jepang dan relatif aman. Mereka tinggal di pedesaan di sekitar Kobe dan Michael serta Inessa menemukan diri mereka tenggelam dalam alam, sekali lagi, meski kali ini oleh pilihan sendiri.

“Kami terbiasa menghempaskan diri ke hamparan bunga violet di musim semi. Itu adalah tempat yang ajaib,” tutur Inessa.

Pada akhir tahun 1930-an, Daniel bisa melihat bahwa perang tengah berkobar. Ia memindahkan keluarganya sekali lagi, kali ini ke Sydney, dan keluarga Fomenkos melakukan yang terbaik untuk mengatur ulang kehidupan mereka, sekali lagi.

Daniel mengambil pekerjaan di Gereja ‘Sekolah England Grammar’ Sydney yang bergengsi dan Michael datang ke sana. Ia adalah seorang atlet alami dan unggul dalam dekatlon, bahkan dimasukkan dalam tim Olimpiade 1956.

Rumah Terakhir Michael di Hutan
Michael hidup di bawah pohon ini sebelum ia berjalan dari Cairns ke Sydney pada usia 86 tahun. Ia berjalan hingga wilayah Gympie, Queensland tenggara.

ABC RN; James Vyver

Tapi Michael berjuang secara sosial dan Inessa mengatakan, ia merasa sulit untuk menyesuaikan diri.

“Karena kami tak bisa mengkomunikasikan pengalaman kami sebagai anak-anak, kami kebanyakan sendiri. Pengalaman yang kami punya, tak seorangpun di Australia bisa mulai memahami jika kami katakan kepada mereka,” cerita Inessa.

"Ada bahaya, oh Tuhan, apa yang kami lalui. Meskipun Anda mungkin berpikir ia terlalu muda, masa lalu dan semua drama itu benar-benar memiliki dampak pada Michael. Saya pikir itu yang membuat Michael pergi ke hutan, latar belakang kehidupan kami," tutur Inessa.

Michael selalu mencintai alam bebas, seakan pengalaman-pengalaman awal itu menentukan garis nasib sepanjang sisa hidupnya; untuk berada di alam, hidup sendiri, menguji dirinya terhadap elemen alam.

Setelah ia meninggalkan sekolah pada pertengahan 1950-an, ia mengambil pekerjaan memotong tebu di dekat Cairns. Ini adalah ketika ia jatuh cinta dengan hutan hujan. Ia telah menemukan tempatnya dan cara hidup yang ia rasa paling nyaman. Dan di sana, kurang lebih, ia tinggal hingga tahun 2013.

Selama periode ini, petualangan Michael menarik perhatian banyak mata: perjalanan epik dua tahun-nya sejauh 700 kilometer, dengan menggunakan perahu sampan, dari Cooktown ke Papua; tiga-hari pengejaran di hutan untuk melacaknya dan membawanya ke rumah sakit jiwa; kamp yang ia buat di sepanjang pantai tropis, seperti yang ada di peternakan tebu milik Greg.

"Mereka mengirim SAS (pasukan khusus) ke hutan untuk dipersulit, tapi inilah bagaimana ia hidup," kata Greg Reghenzani saat kami berdiri di kaki pohon ara raksasa yang merupakan tempat tidur Michael.

“Ia adalah pria yang luar biasa,” sebutnya.

Walau banyak orang tahu tentangnya, hanya beberapa yang mengenalnya dengan baik. Michael tak benar-benar membagi dirinya atau cerita pribadinya dengan siapa pun kecuali dengan Inessa, dan bahkan mereka terasing selama beberapa dekade.

“Saya tak pernah tahu keberadaannya. Tapi ia memiliki kehidupan yang indah, ia tinggal di surga,” aku Inessa.

Hal yang menarik bagi saya untuk duduk di depannya dan mendengar cerita sebenarnya di balik legenda Tarzan Australia. Inessa memiliki wajah teduh, kecerdasan tajam dan memori yang mengingkari dirinya hampir 90 tahun. Matanya menari ketika ia mengingat kebiasaan tertentu dari Michael ketika mereka masih anak-anak.

"Ia ketakutan akan guntur dan kilat, tapi ia akan pergi keluar melihatnya, atau membuka jendela dan mengeluarkan kepalanya," tutur Inessa.

“Berteman dengan rasa takut?” saya bertanya.

“Ya benar-benar, secara sadar,” jawab Inessa.

Michael kini berusia akhir 80-an dan tinggal di sebuah fasilitas perawatan manula. Ia dan Inessa telah terhubung kembali, tapi itu butuh waktu. Suasana mencair dengan lukisan -Inessa adalah seorang seniman -yang berjudul “Corina, Corina”, dinamai seperti salah satu lagu favorit Michael dari tahun 1950.

“Saya melukis untuk menghiburnya, saya pikir itu akan mengingatkannya pada hari-hari di Sydney ketika kami terbiasa bernyanyi di sekitar piano,” kenang Inessa sang kakak.

Michael Fomenko
Michael Fomenko di Cairns selama tahun 1990an.

Supplied; Harold Jung

Michael pada dasarnya adalah seorang pertapa. Itu membuat hal-hal menjadi sulit ketika Anda membuat sebuah film dokumenter tentang seseorang, meskipun itu telah ditambahkan ke sosoknya. Ini juga berarti, melukis atau tidak, bahwa Michael dan Inessa belum berbicara satu sama lain dalam beberapa dekade.

Saya bertanya kepada Inessa apa yang akan ia katakan jika ia bertemu kembali dengan sang adik.

“Mike, ini aku. Kita berhasil, sayang! Kita berhasil!,” ucapnya.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Diterjemahkan: 19:30 WIB 20/09/2016 oleh Nurina Savitri.