ABC

Mendag RI Isyaratkan Buka Keran Impor Sapi dari Meksiko, Brasil dan Spanyol

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito menyatakan RI bersedia membuka keran impor ternak sapi dari Meksiko, Brasil, bahkan Spanyol, sebagai upaya menurunkan harga daging di seluruh Indonesia.

Kepada media setempat, Menteri Enggartiasto menjelaskan, harga sapi Australia terus mengalami kenaikan sehingga penting bagi Indonesia untuk mendiversifikasi impor dari berbagai negara.

“Harga (sapi Australia) Anda terus naik dan tidak pernah turun. Itu sebabnya kami membuka keran impor dari negara lain,” katanya.

“Brasil begitu jauh namun harganya lebih murah dibandingkan Australia,” tambah Menteri Enggartiasto.

Rencana impor sapi dari Brasil telah lama jadi pembicaraan di Indonesia, namun hingga saat ini belum terwujud.

Pandangan di kalangan industri ekspor ternak Australia menyatakan bahwa akan sulit menjaga kesinambungan pengapalan ternak dari Amerika Selatan ke Indonesia.

Pemerintah RI telah mengesahkan UU di tahun 2014 yang membolehkan impor sapi dari negara yang bebas penyakit kaki dan mulut seperti Brasil dan India.

Sejak itu Pemerintah RI mengizinkan impor daging kerbau beku dari India, dan tahun ini bahkan diperkirakan berkisar 80 ribu hingga 100 ribu ton.

Menanggapi hal ini, Ross Taylor dari Indonesia Institute yang berbasis di Australia, mengatakan Pemerintah RI saat ini bertekad mencari sapi impor dari negara lain namun hal tersebut lebih karena didorong oleh faktor ideologi.

"Ini bukan hal baru. Namun mendapatkan momentum menyusul terpilihnya Joko Widodo," kata Ross Taylor.

“Terasa adanya nasionalisme di situ mengenai kemandirian Indonesia dan dari situlah asalnya. Dan hal ini jadi tantangan terus-menerus bagi eksportir ternak kita,” katanya.

Seluruh impor sapi di Indonesia saat berasal dari Australia dengan nilai mencapai 600 miliar dollar pertahun.

Menurut Taylor, Australia masih dalam posisi unggul untuk meningkatkan perdagangan dan hubungan dengan Indonesia.

“Saya kira tantangan Australia adalah meninggalkan konsep “kami jual, mereka beli” dengan kemitraan yang lebih mendalam dan terintegrasi dengan kalangan industri di Indonesia. Dan hal inilah yang sedang terjadi,” jelasnya.

“Jika ingin mengakhiri masalah ad hoc yang terus-menerus kita alami ini, kita perlu meningkatkan model kemitraan yang bisa menambah peluang bagi kedua negara,” tambah Taylor.

“Dengan melakukan hal itu saya kira keadaannya akan lebih stabil,” katanya.

Industri ekspor ternak Australia sedang mengatisipasi pengapalan ternak dari Brasil ke Indonesia dalam beberapa waktu terakhir, namun dengan berbagai alasan belum terwujud.

Seorang sumber ABC Rural menyatakan pengapalan tersebut haruslah “pengapalan dalam jumlah besar sapi murah” agar bisa berkelanjutan.

Pemberitaan di Indonesia juga menyebut Spanyol sebagai negara potensial bagi sumber impor sapi juga menimbulkan kebingungan berbagai pihak.

10-20 Persen Untuk Pembibitan

Sementara itu secara terpisah Dubes RI untuk Australia Najidb Riphat Kesoema membenarkan bahwa ekpsortir sapi Australia harus memasukkan jumlah tertentu untuk pembibitan dalam setiap pengiriman ke Indonesia.

Ketentuan itu juga akan berlaku bagi ternak sapi yang akan didatangkan dari negara lain.

Dubes Nadjib menyatakan hal itu lebih merupakan upaya membangun kemandirian karena dimaksudkan menurunkan harga daging yang menurut dia kini harganya ‘gila-gilaan’.

“Harga daging sapi di Indonesia sangat gila-gilaan mahalnya,” ujarnya. “Kami coba menurunkannya dan salah satu caranya adalah meningkatkan jumlah ternak di Indonesia.”

“Makanya kami berlakukan program dimana para eksportir harus memasukkan jumlah tertentu untuk sapi pembibitan,” katanya.

Dubes Nadjib menambahkan Menteri Perdagangan kedua negara telah bertemu di Sydney pekan lalu untuk mencari cara agar sistem ini berjalan.

“Kami ingin para eksportir memasok bukan hanya sapi pedaging namun juga sapi pembibitan yang memadai,” ujarnya.

“Ini akan jadi sistem dua tahap. Pertamanya 10 persen dari ternak sapi akan jadi pembibitan. Lalu 20 persennya akan jadi pembibitan,” kata Dubes Nadjib.

“Aturan ini akan berlaku hingga 2018 ketika akan dilihat kembali regulasi apa yang diperlukan untuk memastikan pertumbuhan jumlah ternak nasional,” tambahnya.

Muncul sejumlah kegelisahan di kalangan peternak di Australia utara terkat banyaknya perubahan drastis yang bisa terjadi dalam perdagangan di sektor ini.

Dan diberitakan pula di Jakarta Globe bahwa kalangan feedlot di Indonesia tidak puas dengan aturan baru ini, dengan alasan tidak cukup lahan untuk menampung sapi-sapi untuk pembibitan.

Dubes Nadjib mengakui pihaknya menyadari sistem yang berkelanjutan harus dibuat untuk pembibitan sapi, termasuk lahan penggembalaan dan pelatihan peternak.

“Kami perlu melatih mereka, peternak kami, bagaimana merawat bibit sapi di Indonesia,” ujarnya seraya menambahkan, “Sudah ada program dimana 1000-an bibit sapi dikirim ke Kalimantan dan juga tempat lain untuk memenuhi rencana 2.600 ekor.”

Diterbitkan Pukul 12:00 AEST 16 November 2016 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di link ini dan link ini