ABC

Memperkuat Pemahaman Budaya Antar Sekolah di Indonesia dan Australia

Indonesia bisa belajar dari Australia, demikian juga sebaliknya. Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang awalnya digagas beberapa mahasiswa Indonesia di Melbourne untuk diterapkan di Indonesia sekarang juga akan disosialisasikan ke Australia guna meningkatkan pemahaman budaya lebih baik bagi siswa di kedua negara. Berikut tulisan Muhammad Nur Rizal, pendiri GSM mengenai inisiatif terbaru tersebut kepada Australia Plus.

“Untuk apa belajar dari Australia? Indonesia kan beda dengan Australia! Apalagi dengan persepsi negatif orang Indonesia terhadap Australia atau sebaliknya?

Begitu kebanyakan tanggapan dan kekhawatiran yang kami dapatkan saat akan memulai program kemitraan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).

Namun penilaian itu luntur, setelah guru-guru Australia dan Indonesia bertemu, berinteraksi dan belajar bersama.

Kedua belah pihak merasakan bahwa “ruang perjumpaan” itu saling memberikan manfaat, tidak hanya pada mereka juga anak didik lebih jauh komunitas sekolah mereka.

Sudah keempat kalinya sejak tahun 2014, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) bekerjasama dengan Clayton North Primary School (CNPS), Victoria Australia menyelenggarakan kegiatan pengembangan profesionalitas guru untuk meningkatkan kerjasama mutu pendidikan di tingkat akar rumput.

Salah satu sasaran penting yang ingin dicapai melalui kemitraan ini adalah pelibatan guru Australia dan Indonesia untuk memperbarui persepsi mereka tentang negara tetangganya, membawa persepsi baru mereka ke komunitasnya, untuk menjalin kepercayaan dan pengertianjangka panjang.

Program kemitraan “Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)” ini berbeda dengan program Bridge (Building Relationships through Intercultural Dialogue and Growing Engagement) baik dari latar belakang pendirian, pendanaan dan jenis kegiatan.

Namun perbedaan yang sangat signifikan adalah bahwa kemitraan ini diinisiasi oleh akar rumput, yakni orang tua Indonesia yang sedang studi program doktoral di kampus Australia, yang ingin menyebarluaskan pengalaman belajar terbaik anak-anaknya ke sekolah Indonesia.

Sedangkan program Bridge lebih bersifat top down directive dari pemerintah Australia.

Sebagai seorang ayah dari tiga orang putri yang beruntung mendapatkan kesempatan bersekolah di Australia, saya menginginkan pengalaman itu dibagikan kepada sekolah-sekolah di Indonesia. Tujuannya agar anak-anak lain di Indonesia mendapatkan kesempatan pendidikan sebaik bagaimana sekolah-sekolah di negara maju diterapkan.

Inisiasi kita lakukan dengan mengajak sekolah Clayton North di Victoria untuk mengirimkan guru-gurunya ke Indonesia melakukan sharing (bertukar) praktik pembelajaran dan pengelolaan sekolah yang efektif.

Karena rasa percaya (trust), Clayton North menyanggupi ajakan ini. Bahkan yang luar biasa mereka datang dan berbagi pengalaman tidak mengharapkan bayaran, bahkan seluruh biaya perjalanan ke Yogyakarta mereka tanggung sendiri sejak tiga tahun lalu. Sebuah sikap yang perlu diteladani tentang arti dedikasi dan komitmen.

Seperti tahun lalu, kemitraan ini akan dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan diantaranya talkshow, workshop pelatihan guru, pendampingan ke sekolah-sekolah hingga penelitian.

Tahun ini, institusi yang terlibat diantaranya para pengajar di kampus UGM, Monash hingga dukungan dari Australian Global Alumni.

Ken Chatterton, Wakil Kepala sekolah CNPS menyampaikan bahwa kunjungan guru atau pertukaran praktek pembelajaran sangat bermanfaat jika ingin membuat program transisi bagi murid-murid mereka, dimana lebih dari sepertiganya berasal dari negara Asia termasuk Indonesia.

Tahun lalu, mereka pulang membawa batu-batuan volkanik dari Gunung Merapi, Yogyakarta dan seperangkat wayang ke Australia untuk dijadikan sumber belajar di kelas.

Cara ini dapat membantu mereka lebih mengetahui tentang budaya dan geografis Indonesia.

Sedangkan bagi guru di Indonesia seperti disampaikan Kepala Sekolah SD Negeri Rejondani Sleman (DIY) Hatri bahwa program GSM berguna untuk meningkatkan mutu pengajaran penerapan pendidikan karakter dan pengembangan kompetensi siswa di abad 21.

Murid-muridnya menjadi lebih percaya diri dalam berkomunikasi dan yang tidak terduga banyak anak-anak yang berkeinginan untuk dapat berbahasa Inggris agar punya kesempatan belajar ke luar negeri.

Guru merasa lebih inovatif dalam mengajar hingga mengevaluasi sekolah, memperoleh wawasan global tentang pendidikan di negara lain atau kompetensi yang harus dimiliki.

“Hal ini yang saya jarang temukan dalam pelatihan-pelatihan guru lainnya”, papar bu Hatri.

Beberapa waktu lalu, saya dihubungi oleh Belinda Rimbo, perwakilan pemerintah Victoria Australia untuk Indonesia untuk bertemu dengan Joel Backwell, Direktur Esekutif Pendidikan Internasional, Departemen Pendidikan dan Training Victoria.

Muhammad Nur Rizal dan Joel Backwell, Direktur Esekutif Pendidikan Internasional, Departemen Pendidikan dan Training Victoria
Muhammad Nur Rizal dan Joel Backwell, Direktur Esekutif Pendidikan Internasional, Departemen Pendidikan dan Training Victoria

Foto: Istimewa

Meningkatkan interaksi antar guru Australia dan Indonesia

Pertemuan itu tejadi pada hari Kamis, 27 Juli 2017 bertempat di Kafe Epic Jalan Palagan Yogyakarta setelah Joel menyelesaikan agenda pertemuannya dengan mahasiswa ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies) yang sedang belajar di UGM, serta Kepala Dinas (DIKPORA) Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Propinsi DI Yogyakarta untuk membicarakan tindak lanjut MOU yang awal tahun ini ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X (Gubernur Propinsi DI Yogyakarta) dan Menteri Utama negara bagian Victoria, Australia Daniel Andrews.

Dalam pertemuan itu, Joel menyampaikan keinginannya untuk mensosialisasikan program GSM ke sekolah-sekolah di Victoria.

Ada tiga alasan yang disampaikan, yakni agar GSM dapat meningkatkan interaksi atau hubungan mutual antar guru Australia dan Indonesia.

Yang kedua adalah guru Australia memiliki kesempatan bersama (counterpart) guru di Indonesia sehingga berkontribusi membangun kesepahaman inter-cultural, kemudian menularkan pemahaman baru itu kepada murid-muridnya di Australia .

Dan ketiga GSM adalah salah satu contoh program nyata untuk mengisi serta meningkatkan pilar kolaborasi pendidikan di MOU itu.

“Bagi saya GSM program is a perfect way to bring to our education system together”(program GMS adalah cara yang bagus untuk membuat sistem pendidikan kedua negara bekerja sama lebih baik). ” papar Joel yang telah mengetahui program ini dari Koran “The Sydney Morning Herald” dan diperkuat oleh tanggapan positif Kepala Dinas Pendidikan di DI Yogyakarta.

Saya mempercayai bahwa kerjasama ini akan menghindarkan generasi muda Indonesia dari ketertinggalan pendidikan.

Anak-anak tidak stress dengan beban sekolah dan tidak menutup diri dari lingkungan luar.

Mereka akan lebih memilih berkawan atau membuka diri dengan siapa saja meskipun berbeda.

Sebagai generasi muda, kita patut untuk aktif menjalin kerjasama agar terhindar dari bahaya intoleransi atau radikalisme.

* Muhammad Nur Rizal, Dosen di Departenen Teknik Elektro dan Teknik Industri di UGM Yogyakarta sekaligus Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan menyelesaikan pendidikan doktor dari Monash University di Melbourne.