Membicarakan Kematian Bisa Membuat Hidup Lebih Bahagia
Seorang pakar sosial memperingatkan, membicarakan kematian adalah kunci untuk mendobrak tabu budaya yang berdampak pada kualitas hidup kita.
Profesor Sosiologi di Universitas New South Wales, Alex Broom, mengatakan, membahas kematian – bahkan dalam suasana yang santai – sungguh penting bagi individu, orang-orang terkasih, dan masyarakat secara umum.
Hal ini menjadi topik bahasan ketika Asosiasi Medis Australia (AMA) menggunakan acara Pekan Dokter Keluarga untuk memotivasi tiap orang – tua muda, sakit atau sehat – agar membicarakan kematian dan kondisi sekarat serta membuat rencana hari tua.
Profesor Alex mengatakan, kegagalan untuk membicarakan kematian sebelum ajal menjemput memiliki konsekuensi tak disadari, yang menghambat orang-orang untuk hidup bahagia dan sehat.
"Ini bukan hanya tentang sekarat, tapi ini soal hidup. Kita akan menghadapi kematian berulang kali sepanjang hidup kita. Kita butuh menyiapkannya sehingga ini tak menjadi tantangan berkepanjangan," ujarnya.
Profesor Alex mengutarakan, kampanye seperti gerakan 'Kafe Kematian' atau Death Cafe mendorong adanya perbincangan tentang kematian di antara orang-orang yang sehat.
"Di Death Cafe, orang-orang, seringkali orang asing, berkumpul untuk makan kue, minum teh dan mendiskusikan kematian," tulis situs kafe itu.
Tujuannya adalah untuk 'meningkatkan kesadaran akan kematian dengan harapan bisa membantu orang menjalani hidupnya dengan maksimal'.
Profesor Alex menyebut, kita seharusnya tak mengisolasi kematian dari kehidupan.
"Kita tak seharusnya memisahkan keduanya karena mereka bekerja bersamaan," tuturnya.
Dampak terdekat dari sikap tak acuh terhadap kematian meliputi ketidakmampuan untuk memilih apakah akan meninggal di rumah atau membuat orang-orang terkasih semakin merasa kehilangan karena kematian anda datang tiba-tiba, ujar sang Profesor.
"Dalam tahap praktis, jika kita tak terbuka tentang apa yang terjadi dan tak peduli akan apa yang terjadi, kita tak akan bisa mengontrol segala situasi yang terjadi," utaranya.
"Kita semua punya kebutuhan berbeda pada akhir hidup – bukan satu model untuk semua. Kita mungkin tak tahu apa kebutuhan itu jika mereka tak pernah dibicarakan," kemuka Profesor Alex.
Ia mengatakan, ketakutan seseorang membuat kematian sulit dipikirkan, apalagi untuk membahasnya.
"Dihadapkan dengan akhir hidup dan kematian kita sendiri, ketakutan menghantui yang artinya kita melihat kemunculan tabu. Masyarakat tradisional, pada beberapa generasi yang lalu, memiliki berbagai cara untuk tak memikirkan kematian sebagai akhir," ungkapnya.
"Tapi, banyak kelompok masih saja punya keyakinan kuat pada hidup setelah mati dan karenanya itu bukan akhir," sambungna.
Ia lantas menambahkan, namun bagi sebagian besar orang, kurangnya sumber budaya untuk melogikakan mengapa kematian bukanlah pengalaman yang negatif, membuat hal ini sulit untuk dibincangkan.
Pentingnya rencana akhir hidup
Presiden AMA, Profesor Brian Owler, mengatakan, penting untuk mendobrak tabu di sekitar kematian dan kondisi sekarat, dan membuat masyarakat membahas harapan mereka dengan keluarga.
"Membicarakan kematian dan sekarat bisa menimbulkan konflik, tapi kami mendorong setiap orang untuk membicarakannya dengan keluarga, tentang harapan di akhir hidup mereka. Dokter keluarga di sekitar anda adalah referensi yang bagus dan bisa menolong untuk membahas kematian dan sekarat dengan cara yang layak," jelasnya.
Ia menyambung, "Dokter memberi harapan pada pasien dengan membiarkan mereka hidup dengan kebanggan dan membantu mereka untuk terhubung dengan keluarga."
AMA juga mengatakan, rencana perawatan lanjutan seharusnya memperjelas pilihan tentang kematian dan perawatan pribadi, termasuk hasil kesehatan, tujuan, dan nilai perawatan yang diinginkan, yang seharusnya membimbing keputusan tentang perawatan seseorang.
Rencana itu juga seharusnya memperjelas siapa yang harus membuat keputusan untuk mereka ketika orang yang bersangkutan kehilangan kemampuan untuk memutuskan sesuatu di masa depan.