ABC

Melihat Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia

Jumlah mahasiswa Australia yang belajar Bahasa Indonesia disebut mengalami penurunan. Namun demikian, para mahasiswa tetap sangat antusias mempelajari bahasa dan kajian Indonesia yang masih dibuka di beberapa universitas ternama di sana.

Salah satu universitas yang membuka program Indonesian Studies adalah Monash University di Melbourne. Pada tahun ini, Monash memiliki total 84 mahasiswa yang mengambil program tersebut. Rata-rata dalam setiap angkatan ada 20-an mahasiswa.

detikcom dan 2 media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International berkesempatan melihat proses perkuliahan di program kajian Indonesia di Monash University pada Juni 2016. Kami mengikuti kegiatan dosen program kajian Indonesia, Yacinta Kurniasih, yang kala itu mengajar mahasiswa tingkat 5 yang berjumlah 17 orang.

Kebetulan saat itu materi yang sedang dipelajari adalah tentang hantu-hantu di Indonesia. Yacinta menggunakan naskah teater ‘Dhemit’ yang pernah dipentaskan Teater Gandrik sebagai bahan kajian mahasiswanya.

“Karena kami belajar tentang kajian Indonesia, sehingga yang kami pelajari bukan hanya bahasa. Namun berbagai hal dan bahasa sebagai alat komunikasinya,” kata Yacinta.

Saat perkuliahan dimulai, Yacinta menampilkan berbagai wujud hantu yang dikenal orang Indonesia, mulai dari genderuwo, kuntilanak, pocong dan lainnya. Mahasiswa yang belum pernah melihat wujud hantu-hantu yang dikenal orang Indonesia itupun sangat antusias.

Di pekan sebelumnya, para mahasiswa sudah membaca sebagian naskah teater ‘Dhemit’, sehingga para mahasiswa yang semuanya berkewarganeraan Australia itu sudah melakukan riset. Yacinta kemudian meminta mahasiswanya untuk memilih salah satu hantu favorit dan menjelaskannya.

“Saya memilih genderuwo sebagai sosok yang pemarah dan temperamental,” kata salah seorang mahasiswa.

Ada juga mahasiswa yang memilih kuntilanak dan pocong. Mereka menganggapnya sesuatu yang lucu dan memberikan deskripsi yang unik soal sosok-sosok hantu itu.

“Hantu seperti genderuwo dan kuntilanak tidak ada dalam bahasa Inggris, sehingga sangat menarik untuk mempelajarinya,” ujar Gerrad, salah satu mahasiswa program kajian Indonesia.

yacinta satu.jpg
Yacinta sedang menerangkan konsep hantu kepada mahasiswanya di Monash University. (Foto: detik.com/Ikhawanul Khabibi)

Para mahasiswa kemudian saling berdiskusi tentang sosok-sosok hantu tesebut. Diskusi dilakukan dalam bahasa Indonesia dan mereka sudah sangat lancar berbicara bahasa Indonesia.

Naskah Teater Gandrik menjadi materi perbincangan para mahasiswa. Mereka saling bertukar pikiran dan berbincang dengan santai, sungguh suasana belajar yang sangat menyenangkan.

“Saya dulu memang punya dendam pribadi, karena saat sekolah dulu merasa pembelajarannya tidak menarik. Jadi saya sudah bertekad kalau menjadi guru akan membuat suasana belajar semenarik mungkin,” jelas Yacinta yang merupakan alumni Universitas Negeri Yogyakarta itu.

Setelah selesai membahas hantu, kemudian Yacinta mengenalkan beberapa makanan khas Indonesia seperti tahu dan tempe. Seluruh mahasiswa diminta untuk mencicipi makanan khas Indonesia itu dan kemudian diminta memberi penjelasan.

Yacinta mengungkapkan, mahasiswa level 5 yang diajar saat ini memang sudah sangat lancar berbahasa Indonesia. Materi pembelajaran lebih kepada diskusi dan analisis. Bahkan, dia juga mengharuskan para mahasiswa untuk membaca berita-berita dari media di Indonesia, sehingga para mahasiswanya akan melek isu soal Indonesia. Isu-isu aktual soal Indonesia itu yang kemudian akan dibawa ke dalam kelas untuk didiskusikan bersama.

“Setiap level akan berbeda-beda. Level satu paling dasar, memperkenalkan diri. Kemudian bahasa kita pakai, karena bahasa alat komunikasi. Mereka bisa membaca artikel-artikel dari berbagai media di Indonesia. Di kelas kita membahas tata bahasa juga, tata bahasa tapi diintegrasikan,” ungkap Yacinta yang merupakan doktor bidang linguistik dari Monash University.

Menurun Drastis

Jumlah pelajar Australia yang mempelajari Bahasa Indonesia mengalami penurunan drastis. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, salah satunya hubungan politik Indonesia-Australia yang naik turun.

Beberapa universitas di Australia bahkan menutup program Bahasa Indonesia karena sepi peminat. Namun, di Monash University di Melbourne, program Indonesian Studies masih eksis sampai hari ini.

“Sebenarnya pengejaran bahasa dan budaya Indonesia sudah diajarkan sekitar 50 tahun, nah itu ada naik turunnya. Waktu besar-besarnya itu tahun 2000-an, itu banyak mahasiswa yang ikut. Kemudian ada peristiwa politik dan mispersepsi antar dua negara itu yang membuat jumlah mereka turun. Tetapi di Monash jumlah mahasiswanya tetap yang paling banyak,” kata Yacinta.

Banyak faktor yang membuat minat belajar Bahasa Indonesia di Australia terus mengalami penurunan. Salah satunya, generasi tua Australia yang merasa tidak butuh untuk belajar Bahasa Indonesia.

Yacinta menjelaskan, ada rasa kebanggaan para warga Australia akan bahasa Inggrisnya. Toh mereka tetap bisa berkomunikasi lancar dengan orang Indonesia meskipun menggunakan Bahasa Inggris. Sebagian besar masyarakat Indonesia memang kini telah menguasai Bahasa Inggris dengan baik.

“Saya pikir ada satu masalah besar, ada semacam mentalitas monolingual Inggris yang dimiliki oleh para pemimpin dan masyarakat umum di Australia. Tidak ada penguatan atau pengayaan pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia,” ujar Yacinta.

Beberapa universitas di Australia, diakui Yacinta memang menutup program pengajaran Bahasa Indonesia. Namun, untuk di negara bagian Victoria, tidak ada universitas yang menutup program Bahasa Indonesia.

Tiga universitas besar di Victoria, yakni Melbourne University, Monash Univesrsity dan Deakin University, tetap mengajarkan Bahasa Indonesia. Meskipun jumlah mahasiswa yang mengambil program Indonesian Studies sedikit, namun beberapa universitas, termasuk Monash menegaskan tidak akan pernah menutup program kajian Indonesia.

Di Monash, saat ini total ada 84 mahasiswa yang mengambil program kajian Indonesia. Semua mahasiswa merupakan generasi muda Australia.

“Program kajian China dan Jepang mahasiswanya sampai ratusan dan ribuan, namun hampir semua mahasiswa berasal dari negara asalnya. Tidak seperti kita yang semua mahasiswanya adalah warga Australia,” tutur Yacinta.

“Kita memang mendengar banyak berita negatif ya, di beberapa universitas program Bahasa Indonesia ditutup, saya tidak bisa menyerah, saya akan ngeyel, karena Monash meskipun jumlahnya kecil namun komitmennya besar,” tegas Yacinta yang merupakan alumni Universitas Negeri Yogyakarta itu.

yacinta tim dua.jpg
Prof. Tim Lindsey, pakar Indonesia dari Melbourne University. (Foto: detik.com/Nograhany WK)

Salah satu akademisi yang mengungkapkan akan penurunan minat belajar bahasa Indonesia itu adalah Profesor Tim Lindsey, seorang guru besar pakar hukum Indonesia dari Universitas Melbourne. Dikutip dari ABC Australia edisi 19 Mei 2016 lalu, Prof Lindsey mengatakan murid kelas 12 yang belajar bahasa Indonesia sekarang lebih sedikit dibanding 40 tahun lalu, sekitar tahun 1970-an.

Fenomena penurunan minat bahasa Indonesia ini, menurut Lindsey, ironi dengan kondisi Indonesia pasca reformasi di mana Indonesia lebih terbuka setelah Presiden Soeharto jatuh. Pendapat Lindsey memperkuat alasan yang dikemukakan Yacinta bahwa penyebabnya penurunan minat belajar bahasa Indonesia itu adalah naik-turun hubungan Indonesia-Australia. Tim mengemukakan alasan 10 tahun travel warning yang dikeluarkan Australia bagi warganya untuk bepergian ke Indonesia membuat sekolah-sekolah di Australia jadi jarang mengirimkan siswanya ke Indonesia.

Dia juga mengemukakan jika pengurangan minat ini berlanjut, bahasa Indonesia tak lagi menjadi pilihan studi kampus-kampus Australia dalam 1 dekade mendatang. Jumlah sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia, imbuhnya, merosot drastis 15 tahun terakhir dan akan diikuti oleh universitas-universitas.

Bukan Lagi Pelajaran Wajib

Peminat studi bahasa Indonesia di Australia terus menurun selama beberapa tahun terakhir. Namun diyakini, pengajaran Bahasa Indonesia tidak akan pernah hilang di Australia.

“Tidak mungkin Bahasa Indonesia tidak diajarkan lagi di Australia, karena peminatnya masih tetap banyak, walaupun tidak sebanyak dahulu,” kata Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema dengan nada optimis.

Hal itu dikatakan Nadjib saat ditemui detikcom dan 2 media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International pada Juni 2016 lalu.

yacinta nadjib.jpg
Dubes RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema beserta istri di KBRI Canberra. (Foto: detik.com/Ikhwanul Khabibi)

Nadjib menjelaskan, memang saat ini mata pelajaran Bahasa Indonesia sudah tidak lagi menjadi mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah. Namun, jumlah sekolah di Australia yang masih mengajarkan Bahasa Indonesia jumlahnya masih banyak.

“Di New South Wales saja sudah lebih 2.000 sekolah yang mengajarkan Bahasa Indonesia. Dulu early 80’s hampir seluruh sekolah wajib, sekarang kan pilihan,” jelasnya.

Bahasa Indonesia, menurut Nadjib sangat diperlukan oleh warga Australia. Para politisi di negeri kanguru itu saat ini juga sudah banyak yang bisa berbicara Bahasa Indonesia, meskipun hanya ucapan yang sangat mendasar saja. Tapi tak jarang juga politisi yang sangat fasih berbahasa Indonesia.

Pemahaman Bahasa Indonesia akan meminimalisir mispersepsi antara kedua negara. Karena menurut Nadjib, bahasa adalah jembatan komunikasi yang sangat efektif untuk menimbulkan rasa saling mengerti.

“Kadang ketidaktahuan kita mengenai budaya tetangga kita itu yang menghambat untuk bekerjasama. Saya mengundang businessman, tapi banyak yang memakai konsultan dari luar negeri, untuk berusaha di Indonesia. Demikian juga orang Indonesia masih pakai konsultan dari negara lain untuk bisa masuk ke sini. Sekarang dengan sudah saling pengertian begini, ayuklah bareng-bareng,” tuturnya.

KBRI Canberra sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk mengajarkan bahasa Indonesia di benua kanguru itu, yakni mengadakan program balai bahasa yang didukung Kemendikbud, dengan menyebarkan pengajar Bahasa Indonesia ke seluruh negara bagian di Australia, baik mendatangkan guru dari Indonesia atau melibatkan WNI yang sedang bermukim lama di Australia.