ABC

Melepas Stres, Pencari Suaka di Australia Berkumpul dalam ‘Dapur Komunitas’

Setiap 2 pekan sekali, sekitar 200 pencari suaka berkumpul dalam acara yang disebut sebagai ‘The Community Kitchen’ atau ‘Dapur Komunitas’, yang menghadirkan program kuliner dan sosial, sembari menunggu izin tinggal mereka diproses.

‘Dapur Komunitas’ dirancang untuk membantu mengurangi isolasi sosial bagi para pencari suaka yang tinggal di masyarakat, dan tiap dua minggu. koki atau sekelompok juru masak yang berbeda mengadakan kelas, menyiapkan makanan untuk semua orang dengan bantuan para asisten dapur.

Ini adalah hari sosial di mana mereka dapat belajar dari para profesional bagaimana menyiapkan makanan yang sehat dan bergizi, serta berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya lewat permainan sepak bola, menonton film, atau bermain kartu dan catur.

Ibrahim Mohamed (kiri) dan Mostafa (kanan) menyiapkan makanan untuk pencari suaka lainnya sebagai bagian dari program ‘Dapur Komunitas’.

Di acara ‘Dapur Komunitas’ yang dilangsungkan di barat Sydney, pengungsi etnis Hazara asal Afghanistan, Ibrahim Mohammad, memamerkan kelihaiannya sebagai salah satu juru masak.

Ibrahim mengatakan, datang ke acara ‘Dapur Komunitas’ berarti ia bisa terlibat secara sosial dalam sebuah komunitas.

"Sulit untuk tinggal di sini [di Australia]. Saya hanya pergi ke perpustakaan dan kelas bahasa Inggris untuk menghabiskan waktu, saya tak punya pilihan,” tuturnya.

"Terlibat dalam hal ini sangatlah baik, lebih baik daripada duduk sendirian di rumah," sambungnya.

Pria berusia 23 tahun ini melarikan diri ke Australia dua tahun lalu, setelah hidupnya diancam oleh Taliban.

"Saya bekerja di bazaar tapi saya tak bisa pergi ke sana lagi. Selalu ada pembunuhan. Mereka membunuh orang-orang etnis kami, jadi saya pergi," ceritanya.

Ibrahim kemudian menghabiskan dua bulan di rumah detensi Australia, sebelum diberi visa transisi.

Ia mengatakan, meskipun rumah detensi cukup menantang pada saat itu, tinggal di sana lebih aman baginya.

"Hidup Anda lebih aman dalam tahanan daripada di negara Anda sendiri. Hidup saya aman, itu lebih baik daripada di negara kami yang sarat pembunuhan," akunya.

Ia mengatakan, tinggal dengan visa transisi juga sulit.

"Anda tidak memiliki hak untuk bekerja atau sekolah padahal saya ingin sekolah dan ikut kursus, jika saya bisa," tuturnya.

Juru masak lainnya adalah pengungsi Kurdi, Mostafa. Nama terakhir tak dapat diungkap karena alasan hukum.

Mostafa mengatakan, ia telah datang ke acara ‘Dapur Komunitas’ tiap dua minggu sekali, selama hampir satu tahun belakangan ini.

"Kami [para pencari suaka] merasa rindu kampung halaman, tapi ketika kami datang ke sini, kami melupakan masalah kami, kami merasa menjadi bagian dari masyarakat. Saya telah banyak berteman. Mereka adalah orang-orang yang baik," ujarnya.

Pria berusia 28 tahun ini melarikan diri dari Irak dua tahun lalu, karena ia takut adanya penganiayaan.

"Saya orang Kurdi dan orang-orang Kurdi dianiaya di Irak. Itu berbahaya bagi saya, itu sebabnya saya memutuskan untuk datang ke sini," kisahnya.

Mostafa mengatakan, ditahan selama tiga bulan di rumah detensi membuatnya stres.

"Itu sangat menegangkan, itu sulit. Anda harus menunggu dan Anda tak tahu berapa lama Anda harus menunggu," utaranya.

Sekarang, dengan visa transisi, ia mengaku masih mengalami masalah mental yang ia derita akibat penahanan.

"Sangat sulit tinggal di Australia tanpa bekerja, hidup menjadi keras. Setelah dua tahun, saya tak tahu masa depan saya," tuturnya.

Ia mengatakan, ia ingin meningkatkan kemampuan bahasa Inggris-nya dengan kursus lanjutan.

"Saya ingin belajar beberapa keterampilan dan melakukan pelatihan dan kemudian mencari pekerjaan," ungkapnya.

Pengelola ‘Dapur Komunitas’ yang juga CEO Layanan Pemukiman Internasional, Violet Roumeliotis, mengatakan, banyak dari para pencari suaka muda yang memiliki visa transisi mengalami masalah mental dan isolasi sosial.

"Banyak pemuda dan keluarga muda hidupnya terombang-ambing. Mereka datang dengan trauma dan berbagai masalah lainnya. Mereka hidup dengan 30 atau 32 dolar per hari," jelasnya.

Violet mengatakan, ‘Dapur Komunitas’ dua mingguan ini membuat mereka merasa saling terhubung dan saling memiliki.

"Ini tentang memberikan peluang kepada seseorang untuk merasa disayangi," katanya.

"Untuk mendapatkan makanan yang baik, untuk terlibat dengan orang lain, sedikit bersenang-senang dan merasa menjadi bagian dari masyarakat daripada sekedar duduk di rumah khawatir tentang visa mereka," terangnya.