ABC

Medsos Ciptakan Tren Makanan Gaul di Australia

Anda tak harus menjadi anak gaul untuk menyadari terjadinya revolusi makanan.

Hampir setiap minggunya, media sosial ramai dengan tren #foodporn terbaru yang membawa gaya hidup boros dan bersenang-senang ke tingkat yang lebih serius.

Coba pikirkan “freakshakes” dan kopi dengan sajian berbeda. Bunga tersebar di antara bacon dan telur, dan jarum suntik penuh saus karamel lalu disuntikkan ke donat.

Anda tak tahu apa itu es krim ‘kapas’? segera cari tahu.

Ini membuat beberapa orang mengikuti tren secara tak terkendali, sementara beberapa lainnya lebih bersedia untuk memotret, memberi ‘like’ dan meneruskan informasi kuliner.

Skip Instagram Post

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

INSTAGRAM: Hidangan Kitty Burns

Jadi apa yang mendorong kegilaan ini, siapa yang diuntungkan, dan kemana ujungnya?.

Mengapa Tren Ini Muncul?

Jawabannya: Instagram.

Menurut penulis kuliner, Dani Valent, kemampuan untuk memotret makanan dan mengunggahnya telah mendorong para chef untuk menciptakan sajian makanan yang lebih rumit.

"Jika kita kembali ke Abad Pertengahan atau zaman Victoria, selalu ada aspek selebrasi makanan kelas atas seperti ini," kata Dani.

“Tapi sekarang, hal ini banyak dipicu oleh media sosial karena kita punya tempat berbagi makanan online.”

“Kami belum tahu caranya berbagi aroma atau rasa melalui media sosial, sehingga penyajian menjadi istimewa,” ujarnya.

Tapi Dani mengatakan, ada lebih banyak hal terjadi di media sosial, dan acara ‘reality show’ memasak di TV seperti Masterchef juga memicunya.

“Ide ‘menghias makanan’ dan bahwa penyajian menjadi sangat penting tentunya dipicu oleh Masterchef. Saya pikir tak ada lagi orang yang mau makan makanan yang tak terlihat baik karena standar telah meningkat,” jelasnya.

Ini juga tak hanya soal penyajian tapi lebih ke kepuasan pengalaman kuliner, terutama jika menyangkut donat berjarum suntik.

“Ini adalah perpanjangan dari creme brulee –rasanya seperti menusuk bagian atasnya,” kata Dani.

"Keterampilan menuangkan saus ke dalam makanan adalah sesuatu yang mungkin tak pernah kita pikirkan,” utara Dani Valent.

“Kita pikir sendok garpu sudah cukup, kita juga bisa menggunakan sumpit. Apakah kita pernah berpikir akan menggunakan jarum suntik untuk membantu kita makan?.”

Apakah Ini Penting?

Jika Anda seorang pemilik restoran yang ingin sukses, maka jawabannya pasti ya.

Nyatanya, hal itu menjadi faktor penentu bagi banyak kafe.

Andrew Savvas adalah pemilik kafe Kitty Burns di Melbourne. Ia menghabiskan 2.000 dolar (atau setara Rp 20 juta) seminggu untuk bunga dan kelopak kecil dan menaburkannya di atas piring makan -banyak dari mereka digunakan untuk sajian brunch (antara waktu sarapan-makan siang).

“Kami adalah kafe atau restoran terbesar di Melbourne untuk urusan penggunaan bunga,” klaimnya.

"Itu 100 persen visual,” kata Andrew.

“Kami punya kelopak mawar, bunga viola, sebut saja namanya kami punya. Itu semua membuat perbedaan,” sambungnya.

Andrew mengatakan, detil itu segera menjadi titik perbedaan antara kafe-nya dengan kafe pesaing. Ia menemukan, pelanggan begitu penasaran untuk melihat desain yang dibuatnya.

“Jika Anda melihat hidangan tanpa bunga setelah sebelumnya menikmatinya, itu benar-benar berbeda,” sebut Andrew.

“Ini kafe yang dicari. Kami tak punya pelanggan yang kebetulan lewat, kami tak punya reklame di jalan, jadi orang pasti tahu tentang kami sebelumnya, melihat kami di Instagram, melihat kami di media sosial dan berkomentar, ‘itu tampak hebat, terlihat cantik’,” utaranya.

Andrew mengatakan, kafenya tak bergantung pada pelanggan lokal yang setia dan malah mengandalkan gebrakan media sosial dan desain yang menarik mata untuk mendatangkan pelanggan.

“Berada di kompleks ini, bangunan apartemen, Anda akan berpikir bahwa penghuni adalah pelanggan nomor satu kami, tapi sayangnya tak begitu,” ungkapnya.

"Kami mengandalkan keinginan banyak orang untuk melihat apa yang kami lakukan," ujar Andrew.

Dan ia menyadari bahwa menjaga penampilan tak hanya untuk karakter seperti Hyacinth Bucket dari sitcom asal Inggris, itu adalah moto yang membimbing kafenya dan banyak pesaingnya. Jadi tekanan itu ada.

“Ini kembali pada kesulitan menciptakan menu karena kami ingin sesuatu yang enak, tapi kami juga harus memenuhi kebutuhan pengguna Instagram,” akunya.

“Jadi misalnya, kami sudah menampilkan menu terbaru selama sebulan terakhir atau lebih, dan jika ada sesuatu yang saya lihat mirip dengan apa yang kami sajikan, kami menarik ide itu dan mulai lagi dari awal,” jelasnya.

Tren Ini Hanya untuk Sosialita Kuliner?

Sebenarnya Dani beranggapan sebaliknya -itu adalah sajian makanan yang dulu hanya dinikmati kalangan atas dan kini terbawa ke publik yang lebih luas.

“Ini hal yang berdampak ke bawah: berasal dari santapan mewah lalu makin meluas dan meluas,” sebutnya.

Ia menerangkan, “Apa yang dilakukannya adalah membawa makanan pesta itu, atau makanan yang membuat orang bersemangat, itu membuatnya semakin umum.”

Bagi Dani, ini perkembangan menarik dan bukanlah sesuatu yang bisa dicerca secara otomatis.

"Dari kopi 3 dolar (atau setara Rp 30.000) atau milkshake 8 dolar (atau setara Rp 80.000), siapapun mampu memiliki sesuatu yang spektakuler dan bisa mengunggahnya online," kata Dani.

“Saya pikir intinya bukanlah mempertahankan hidangan mewah atau pengunjung yang mampu menghabiskan beberapa ratus dolar untuk makan malam.”

Dan pastinya ada banyak pilihan yang ditawarkan dengan harga kurang dari 10 dolar (atau setara Rp 100.000).

Es krim dengan gula-gula kapas (pada dasarnya es krim dalam cone yang dikelilingi oleh gula-gula kapas) terbukti populer, sementara cairan berwarna-warni  dalam minuman seperti latte (kopi susu) juga menarik perhatian.

Emily Coumbis adalah barista di kafe Brisbane dan tahun ini ia mulai bereksperimen dengan desain pelangi dalam busa kopi.

Ia telah mengumpulkan lebih dari 16.000 pengikut Instagram sejak bulan April dan mulai menawarkan video tutorial di YouTube.

“Pengunjung benar-benar datang dengan Instagram di ponsel mereka dan bertanya ‘bisakah kami memesan ini’?,” kata Emily.

“Kami kedatangan sekelompok pengunjung dari Singapura pada suatu hari dan mereka semua memesan kopi pelangi. Mereka semua memegang ponsel, ada sekitar tujuh orang yang merekam saya pada waktu yang sama,” ungkapnya.

Skip Instagram Post

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

INSTAGRAM: Instagram Kuliner

Akankah Tren Ini Bertahan?

Mungkin saja, tapi Dani berpikir, kita sudah melihat pergeseran dari sajian hidangan yang menghargai tampilan ketimbang rasa.

Data Google Trend menunjukkan, pencarian untuk kata kunci “freakshakes”, “cronuts” dan “nutella” mulai menurun setelah melonjak dalam beberapa tahun terakhir.

Dan meski tren baru akan segera muncul, ada kecenderungan reaksi keras di media sosial ketika pecinta makanan merasa ide makanan baru sudah kelewatan, seperti yang di alami pencipta “kopi dengan sajian berbeda” di Melbourne awal tahun ini.

“Ini menjadi masalah bagi peminum yang selektif,” kata Lisa Wearmouth, manajer kafe Melbourne yang mengalami hujatan setelah postingan Facebook dari minumannya beredar luas.

“Ketika Anda kedatangan pengunjung yang memesan kopi hitam dengan susu, umumnya mereka ingin macchiato -tapi mereka ingin menentukan sendiri berapa banyak susu yang diinginkan dalam kopi itu,” lanjutnya.

Dani mengatakan, tampilan akan selalu penting, tetapi itu harus seimbang.

“Kita ingin semuanya terlihat cantik dan kita ingin makan dengan mata serta lidah kita, tapi tampilan yang mengalahkan rasa perlahan-lahan akan memudar,” prediksinya.

"Jadi apa yang akan kita lihat selanjutnya adalah sejumlah kafe mulai kembali ke selera lama, dan ini sudah terjadi di restoran mewah," ujar Dani.

“Masyarakat kembali ke ide bahwa makanan harus lezat, itu adalah hal yang utama,” sambungnya.

Diterjemahkan Pukul 10:15 AEST 11 Oktober 2016 oleh Nurina Savitri. Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.