ABC

Media Tidak Memperburuk Tapi Bisa Membantu Hubungan Indonesia-Australia

Media tidaklah memperburuk pemberitaan mengenai berbagai peristiwa di Indonesia untuk diterbitkan di Australia. Sebaliknya, media justru bisa membantu memperkuat hubungan kedua negara.

Demikian salah satu pendapat yang mengemuka dalam diskusi panel bertajuk "Peran Media dalam Hubungan Australia-Indonesia' yang berlangsung di Kampus Universitas Melbourne, Kamis (13/8/2015) malam. Diskusi diselenggarakan oleh organisasi pemuda Australia Indonesia (AIYA).

Hadir sebagai panelis dua wartawan Australia yang baru saja menyelesaikan masa kerja mereka di Indonesia, Helen Brown dari ABC dan Michael Bachelard dari kelompok Fairfax Media. Selain itu, juga Sastra Wijaya dari ABC Australia Plus Indonesia dan dua akademisi Dr Nasya Bahfen dari Monash University dan Dr Ross Tapsell dari ANU Canberra.

Bertindak sebagai pemandu adalah Paul Ramadge Direktur Australia Indonesia Center, sebuah lembaga yang memayungi kerjasama penelitian antara Indonesia dan Australia.

Dalam memulai diskusi Paul Ramadge sebagai pemandu membuka dengan pernyataan mengapa pemberitaan mengenai Indonesia di Australia sangat bernada negatif dan apakah para wartawan Australia yang dtugaskan di Indonesia sengaja membuat berita-berita yang negatif saja.

Michael Bachelard yang baru saja kembali dari penugasan selama tiga tahun di Indonesia mengatakan bahwa pada dasarnya berita yang ada memang bernada 'negatif' seperti mengenai konflik, mengenai perbedaan pendapat dan yang lainnya karena dalam dunia pemberitaan hal itu yang dianggap menarik untuk diketahui oleh pembaca.

Panelis dari kiri: Helen Brown, Sastra Wijaya, Michael Bachelard, Nasya Bahfen, Ross Tapsell dan pemandu Paul Ramadge. (Foto: Windu Kuntoro)
Panelis dari kiri: Helen Brown, Sastra Wijaya, Michael Bachelard, Nasya Bahfen, Ross Tapsell dan pemandu Paul Ramadge. (Foto: Windu Kuntoro)

 

Hal senada yang juga disetujui oleh Helen Brown. "Peran media bukanlah mencari berita yang bagus-bagus, tetapi mencari berita menarik," ujarnya. 

"Memang ketika berada di Indonesia, para wartawan asing merasa bahwa fokus pemberitaan kami sangat sempit dan cenderung ke hal yang itu-itu saja. Namun ketika kami berbicara dengan masyarakat banyak, yang muncul juga hal yang negatif seperti misalnya korupsi, harga BBM, transportasi yang tidak memadai." kata Helen.

Keduanya menolak pendapat bahwa media Australia hanya sengaja mencari hal-hal yang buruk saja berkenaan dengan Indonesia.

Menurut Sastra Wijaya hal itu terjadi karena memang selama ini arus informasi berjalan searah. "Berita mengenai Indonesia yang muncul di media Australia itulah yang mengisi dan menentukan suasana hubungan kedua negara," jelasnya.

"Ini karena media di Australia menempatkan wartawan di Indonesia sedangkan media di Indonesia tidak menempatkan wartawannya di Australia karena alasan biaya," tambahnya.

Dikatakan, dalam dua tahun terakhir, utamanya setelah Radio Australia yang dulu dikelola ABC Internasional berubah menjadi Australia Plus Indonesia, maka arah pemberitaan pun berubah.

"Kami mulai mengisi ruang yang selama ini hanya berisi berita-berita negatif dengan berita lain misalnya mengenai kegiatan warga Indonesia di Australia," papar Sastra.

 Sastra Wijaya dari ABC Australia Plus menjelaskan peran sosial media dalam pemberitaan saat ini. (Foto: Windu Kuntoro)
Sastra Wijaya dari ABC Australia Plus menjelaskan peran sosial media dalam pemberitaan saat ini. (Foto: Windu Kuntoro)

 

Dalam diskusi yang dihadiri oleh hampir 100 orang ini, peserta juga mendapatkan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, dan salah satunya bertanya mengenai apakah ada perbedaan budaya dan juga kurangnya pemahaman dari para wartawan asal Australia mengenai Indonesia sehingga mereka hanya memfokuskan diri pada berita-berita tertentu saja misalnya Papua.

Dalam jawabannya, Helen Brown mengatakan bahwa apa yang dilakukannya tidak berbeda dalam peliputan berita lain, dalam arti mereka berusaha memasukkan sebanyak mungkin sudut pandang dalam laporan.

Michael Bachelard mengatakan bahwa barangkali saja bagi media Australia, mereka 'terobsesi' untuk meliput masalah Papua. "Mungkin karena memang kawasan itu paling dekat dengan Australia. Juga karena banyaknya aktivis Papua di Australia. Saya sering mendapat informasi yang dikirim oleh mereka," ungkapnya.

Ditambahkan oleh Helen Brown, yang juga baru menyelesaikan penugasan selama beberapa tahun di Indonesia, ada "kesenjangan" komunikasi antara wartawan asing dengan para wartawan Indonesia ketika mereka meliput di Indonesia.

"Sering terlihat dalam acara tertentu, wartawan internasional akan berkelompok sendiri, sementara di sudut lain wartawan Indonesia berkumpul sendiri," papar Helen.

"Karenanya ketika saya di Indonesia kami membentuk kelompok diskusi, setiap bulan berkumpul belasan wartawan asing dan Indonesia berdiskusi mengenal hal-hal yang menarik," tambahnya.

Salah satu pertanyaan yang muncul dari peserta adalah siapa yang sekarang ini menentukan nada pemberitaan dalam hubungannya antara Indonesia dan Australia, apakah media atau publik?

Nasya Bahfen dari Universitas Monash mengatakan bahwa menurutnya yang menentukan arah pemberitaan bukanlah media atau publik, namun pemerintah.

Sementara itu Ross Tapsell mengatakan bahwa sekarang ini yang menentukan arah pemberitaan adalah editor di masing-masing media.

Para peserta diskusi AIYA ini sebagian besar adalah mahasiswa asal Australia (Foto: Windu Kuntoro)
Para peserta diskusi AIYA ini sebagian besar adalah mahasiswa asal Australia (Foto: Windu Kuntoro)

 

Sebagai editor, menurut Sastra Wijaya, ABC Australia Plus sekarang berusaha mencari berita-berita yang berkenaan dengan Indonesia dan Australia yang selama ini tidak disentuh oleh media lainnya.

"Sebagai contoh ketika Presiden Jokowi terpilih, sebelumnya mungkin Radio Australia akan membuat berita mengenai terpilihnya Jokowi dengan mewawancarai pengamat di Australia," jelasnya. 

"Australia Plus membuat pendekatan berbeda dengan memuat ucapan selamat yang dibuat oleh para mahasiswa dari Universitas Monash dalam bahasa Indonesia. Postingan ini di Facebook dibaca oleh sekitar 400 ribu kali," kata Sastra.

"Juga berita mengenai seorang mahasiswa asal Indonesia dari Monash University yang menjadi Presiden Dewan Mahasiswa Internasional mendapat banyak respon dengan lebih dari 27 ribu likes di Facebook," katanya menambahkan. 

"Dan juga berita itu tidak saja dibuat dalam bahasa Indonesia namun muncul dalam bahasa Inggris sehingga bisa dibaca di Australia. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya," kata Sastra lagi.

Dalam komentarnya, Ross Tapsell mengatakan bahwa tidak media saja yang bisa memainkan peran dalam meningkatkan hubungan antara Indonesia dan Australia.

"Hubungan yang lebih dekat antara Indonesia dan Australia mungkin masih seperti mimpi. Namun mimpi ini layak diwujudkan dan kita harus semua berusaha mencapai hal tersebut," kata pengajar di ANU tersebut.

Acara diskusi panel ini diselenggaralan oleh Australia Indonesia Youth Association (AIYA) sebuah lembaga yang memberi wadah bagi para pemuda asal kedua negara untuk berinteraksi lebih dekat.