Mayoritas CEO, Menteri dan Rektor di Australia Keturunan Eropa
Keragaman budaya di kalangan pimpinan perusahaan, departemen pemerintahan dan universitas di Australia ternyata sangat minim.
Dalam laporan hasil riset Komnas HAM Australia berjudul Leading For Change, diungkapkan bahwa 97 persen CEO papan atas berasal dari latar belakang Anglo-Celtic atau latar belakang Eropa. Selain itu 95 persen dari manajemen senior lainnya juga berasal dari latar belakang tersebut.
Secara pasti, ini berarti hanya 11 orang dari 372 CEO dan eksekutif senior yang diteliti mempunyai latar belakang pribumi dan non-Eropa.
“Itu sama dengan keragaman tim kriket dalam kepemimpinan Australia,” kata Komisaris Komnas HAM Tim Soutphommasane kepada ABC.
“Itu statistik yang suram bagi masyarakat yang selama ini membanggakan diri pada multikulturalisme,” tambahnya.
Laporan itu meneliti latar belakang para CEO perusahaan ASX200, para menteri dalam kabinet Australia, pimpinan departemen pemerintahan federal dan negara bagian, serta para rektor universitas.
Ditemukan bahwa di seluruh sektor tersebut pemimpin berlatar belakang non-Eropa dan Pribumi sangat minim.
Dalam jabatan kementerian, hanya satu orang dari 30 menteri yang berasal dari latar belakang non-Eropa dan Pribumi.
Di antara rektor universitas hanya satu dari 39 rektor, dan di seluruh kepala departemen pemerintah federal dan negara bagian hanya satu dari 103 orang.
Dr Soutphommasane mengatakan fakta ini menjadi tantangan bagi asumsi bahwa Australia adalah masyarakat multikultural yang sukses.
“Sebagai perbandingan, kami memperkirakan dari Sensus 2016 bahwa sekitar 24 persen orang Australia memiliki berlatar belakang non-Eropa dan Pribumi,” katanya.
“Jadi, kita harus bertanya apakah kita menyaksikan kesempatan yang sama dan meritokrasi untuk melihat multikultural Australia yang sukses,” ujarnya.
“Ini mengingatkan dan menantang kita bahwa kesuksesan sebagai negara multikultural belum lengkap,” tambahnya.
Dr Soutphommasane mengatakan sudah waktunya membahas target keragaman dalam kepemimpinan. Namun dia tidak menganjurkan perlunya memberlakukan kuota.
“Target adalah tujuan sukarela atau aspirasi yang ditetapkan oleh organisasi dengan ketentuannya sendiri. Kuota adalah sesuatu yang dipaksakan dari luar,” katanya.
“Saya mendukung adanya target. Jika kita perhatikan lulusan sekolah tinggi dan universitas saat ini, representasi keanekaragaman budaya sama sekali tidak kurang di sana,” ujarnya.
“Hal itu menimbulkan pertanyaan apakah ada kesempatan yang sama dalam hal kepemimpinan dalam organisasi dan lembaga-lembaga kita,” tambah Dr Soutphommasane.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.