ABC

“Masyarakat Perlu Aktif Cari Informasi”: Konjen Jawab Keluhan Layanan Pembuatan Paspor RI di Melbourne

Layanan pembuatan paspor di KJRI Melbourne kembali mendapat sorotan setelah seorang warga Indonesia yang tinggal di Australia menulis surat kepada Menlu Retno Marsudi.

  • Warga Indonesia kirim surat keluhan ke Menlu Retno Marsudi tentang kerja KJRI Melbourne
  • Kurang staf dan alat memperlambat proses paspor
  • Masyarakat Indonesia di Victoria diminta giat cari informasi di media sosial

Surat terbuka yang mengeluhkan layanan paspor dan beberapa layanan lain di KJRI Melbourne diterbitkan oleh media daring berita investigasi hukum di Indonesia.

Identitas dari penulis tidak disebutkan dalam surat yang dimuat di law-justice.co pada Rabu, 18 September 2019 itu.

Dalam surat tersebut, penulis memohon campur tangan Retno Marsudi untuk membantu proses pembuatan atau perpanjangan paspor yang menurutnya memakan waktu lama yaitu selama tiga bulan.

Di sana, ia juga mempertanyakan tindakan yang harus diambil oleh pemegang paspor apabila terjadi kejadian mendadak seperti keluarga yang sakit atau kematian keluarga di Indonesia.

Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk Victoria dan Tasmania, Spica Tutuhatunewa, menyesalkan penyampaian keluhan terbuka kepada menteri luar negeri Indonesia itu.

Hal ini disebabkan Spica melihat bahwa dalam masa kedudukannya, KJRI sudah semakin terbuka terhadap masyarakat Indonesia.

“Sebenarnya masyarakat, kalau dia [penulis keluhan] orang Melbourne dan lama tinggal di sini, seharusnya dia sudah tahu kalau KJRI sekarang sangat terbuka,” kata Spica.

“Tidak usah pakai surat terbuka. Kami tidak menyelesaikan masalah dan jadinya viral ke mana-mana padahal masalahnya mungkin sebenarnya sudah terselesaikan.”

Bagaimana jawaban Kosul Spica terhadap keluhan yang sudah tersebar di jejaring sosial ini?

Spica Tutuhatunewa
Konsul Spica Tutuhatunewa menjawab keluhan yang disampaikan seorang warga Melbourne melalui surat terbuka kepada Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi.

Foto: ABC Indonesia

Konjen Melbourne menjawab

Spica menjawab keluhan-keluhan yang disampaikan dalam surat tersebut dalam wawancara via telepon dengan Natasya Salim dari ABC Indonesia siang hari Selasa 24 September 2019.

Keluhan pertama yang ia jawab adalah tentang jarak waktu tiga bulan dalam pembuatan paspor yang menurut pengeluh terlalu lama.

Spica mengatakan bahwa warga Indonesia seharusnya dapat menyiapkan lebih awal rencana perpanjangan paspor dari jauh hari.

“Ini masalah lama dan sebenarnya relatif. Memang waktu [menunggu] panjang, tapi masa berlaku paspor itu lima tahun dan kalau mau digunakan harus [diperpanjang] enam bulan sebelumnya,” kata Konjen Spica.

“Itu berarti kalau misalnya paspor habis enam bulan lagi, dari sekarang bisa dibuat, kan? Bukan sudah habis baru daftar.”

Untuk mengakomodir masyarakat Indonesia yang tinggal jauh dari kantor KJRI Melbourne yang berada di pusat kota Melbourne, Spica mengatakan telah mengadakan program “jemput bola”.

“Kami terus terang paham kalau tiga bulan itu waktu tunggu yang cukup panjang untuk membuat paspor. Karena itu kita jemput bola yaitu mengunjungi masyarakat yang wilayahnya jauh.”

Dalam satu tahun, tim KJRI Melbourne mengadakan dua kali kunjungan ke Tasmania, yaitu ke Hobart dan Launceston.

Selain itu, mereka juga mengunjungi masyarakat Indonesia yang bermukim di daerah Ballarat, Bendigo, Geelong, dan Warnambool sebagai lokasi terjauh yang berjarak 265 km dari Melbourne.

“Melalui media sosial ataupun komunitas kami beritahu supaya [dalam kunjungan itu] masyarakat datang ke kami dan kami bantu registrasi sehingga tidak perlu lagi registrasi online.”

Keterbatasan staf dan alat jadi hambatan

Sesuai prosedur yang berlaku, pemegang paspor harus mendaftarkan diri secara daring sebelum menerima tanggal perpanjangan atau pembuatan paspor baru yang pada umumnya adalah tiga bulan setelahnya.

Ini karena sejak Januari 2018, KJRI Melbourne memberlakukan Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) di mana pemegang paspor harus datang untuk merekam biometrik atau analisa fisik untuk autentifikasi.

Spica mengatakan bahwa jumlah permintaan warga pemegang paspor Indonesia di Victoria sebanyak 17 ribu orang belum diimbangi dengan jumlah staf dan alat yang tersedia.

“Karena ada keterbatasan staf dan alat untuk rekam biometrik, pelayanan kami juga terbatas,” kata Spica.

“Karena itu kami minta untuk mendaftar secara daring supaya bisa ditentukan tanggal dan kapan bisa datang untuk rekam biometrik.”

Walau demikian, pelayanan paspor melalui proses biometrik yang diberikan kepada warga Indonesia selama ini sudah mengalami peningkatan.

“Dari tahun lalu sampai sekarang sudah ada peningkatan. Awalnya kita melayani 10 orang per hari, sekarang sudah lebih dari 20 orang per hari.” katanya lagi.

Surat Terbuka
Isi surat yang dikirim warga Indonesia di Melbourne yang dimuat di law-justice.co.

Foto: ABC Indonesia

Menanggapi respon yang lambat

Penulis juga memaparkan keluhan tentang kesulitan menghubungi staf KJRI Melbourne melalui telepon dan surat elektronik.

Spica mengatakan bahwa pihak KJRI Melbourne selalu mengangkat telepon warga. Namun, hingga kini, masih terdapat masalah teknikal dengan sistem dari telepon tersebut.

“Kalau masalah telepon, sebenarnya ada sistem dari telepon tersebut yang sudah lama menjadi perhatian kita karena sistemnya harus diperbaiki,” katanya.

“Tapi ini bukan dari pihak KJRI-nya. Semua panggilan telepon dijawab, hanya sistemnya saja yang harus diperbaiki.”

Ia mengatakan bahwa masalah teknis ini juga dialami oleh perwakilan Indonesia lainnya dan sedang dalam pembahasan dengan pihak perusahaan telekomunikasi Australia yaitu Telstra.

Sedangkan mengenai surat elektronik, Spica mengatakan akan membalas pesan dari pengirim selama terdapat informasi yang jelas terkait nama dan kebutuhan.

“Dia bilang email tidak dibalas diharapkannya dibalas dalam sehari atau dua hari?” tanggap Spica.

“Karena kita membalas sepanjang ada nama dan kebutuhannya apa. Kalau kita tidak tahu siapa yang kirim email, mungkin itu perlu dilihat lagi.”

Berharap masyarakat aktif cari informasi

Konjen Spica berharap agar warga Indonesia di Victoria dapat lebih berhati-hati dalam menyampaikan kritik dan ingin agar mereka selalu menghubungi KJRI secara langsung melalui media sosial.

“Sekarang zaman media sosial, Facebook, Twitter, Instagram, grup Whatsapp,” katanya.

“Saya harapkan masyarakat lebih aktif atau kalau tidak, sebelum kirim kemana-mana, periksa dulu media sosial KJRI atau hubungi kami langsung.” kata Konjen Spica Tutuhatunewa.

Setelah meluncurkan usaha-usaha penjangkauan masyarakat Indonesia sampai ujung Victoria, Spica berharap agar masyarakat Indonesia di sana juga aktif mencari informasi dari KJRI.

Ia mengatakan bahwa informasi seputar pembuatan paspor dan lain-lain dapat dengan mudah ditemukan di situs ataupun media sosial KJRI Melbourne.

“KJRI bisa sosialisasi, tapi berharap dari masyarakat juga ada upaya untuk mencari tahu informasi.” katanya lagi.

Simak berita-berita lainya dari ABC Indonesia