ABC

Masuki 2014, Harga Kebutuhan Pokok di Indonesia Melonjak

Di bulan Januari 2014, di Australia sebagian masyarakat disibukkan dengan suhu udara yang terus meninggi, di Indonesia, persoalan yang dihadapi adalah naiknya sejumlah bahan kebutuhan pokok. Wartawan ABC di Jakarta Ifffah Nur Arifah menjumpai beberapa warga ibukota yang mengeluhkan harga bahan pokok ini belum kunjung menurun hingga pekan kedua bulan Januari.

Data Kementerian Perdagangan menunjukan harga sejumlah bahan pokok masih terus bergerak naik sejak pertengahan Desember 2013 hingga awal pekan ini. Seperti harga beras kualitas medium yang terus merangkak naik di atas Rp.8500/kg, begitu juga dengan minyak goreng yang terus melewati level Rp.11.000/kg.

Kenaikan cukup signifikan juga terjadi pada komoditi telur, daging ayam dan daging sapi.

Sejak pertengahan Desember lalu, harga telur telah mengalami kenaikan hampir Rp.1.500/kg sehingga saat ini harganya mencapai Rp. 20.000/kg. Begitu juga daging ayam yang kini mencapai Rp.30 ribu/ kg. Sementara daging sapi melejit dari Rp.93 ribu/kg menjadi Rp.99 ribu/kg.

Kenaikan harga juga terjadi di komoditas sayur-mayur. Ruwiyah, seorang penjual sayur di Pasar Kemiri Muka, Depok, Jawa Barat mengatakan hampir seluruh komoditi harganya meningkat.

“Cabe naik biasanya 40 ribu sekarang 44 ribu, yang lagi turun itu bawang. Sayur-sayuran malah naik. Kacang panjang 10 ribu. Modalnya nambah, pendapatannya malah berkurang,” keluhnya.

Lonjakan harga ini kian menekan daya beli masyarakat. Terutama mereka yang berpendapatan minim. Halimah misalnya, ibu rumah tangga ini mengaku setiap hari hanya diberikan uang Rp.30 ribu oleh suaminya yang berprofesi sebagai pedagang buah di Stasiun Depok.

Uang itu semakin tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan suami dan 2 orang anaknya. Walhasil ia hanya mampu menyisihkan uang Rp.10 ribu untuk berbelanja setiap hari. Dengan uang itu tidak banyak yang  bisa didapatkan.

“Saya belanja paling cuma 10 ribu sehari, Alhamdulillah sudah dapat cabe, bawang, tomat. Ntar dicabein aja.. untung dapat dua. Kalo satu gak cukup. Kalau ada lebihnya buat besok sarapan,” kata Halimah sambil menunjukan belanjaannya.

Masyarakat kelas bawah di Indonesia kesulitan dengan terus naiknya harga.

Halimah mengaku lauk tempe tahu seperti menjadi menu wajib di keluarganya karena hanya itu yang mampu dibeli. Ia bahkan mengaku saat ini sudah tidak mampu lagi membeli telur dan ikan. Apalagi di musim hujan seperti sekarang pendapat suaminya semakin tak menentu.

“Sekarang hujan, terus kadang dagangan suami saya busuk dibuang, gak laku. Jadi kita makannya tempe tahu saja tiap hari, gak usah pake ikan atau telur. Abis 30 ribu buat semua, anak sekolah mau bayar buku juga belum tahu, belum bayar listrik, kontrakan. Semua serba kurang tapi suami ngasihnya cuma segitu harus dicukup-cukupin,” katanya.

Kalangan menengah ke atas juga mengeluh

Tidak cuma kalangan menengah ke bawah yang mengeluhkan kenaikan harga. Bagi kalangan menengah ke atas, lonjakan kebutuhan harga  memberikan konsekuensi yang juga ikut menekan kocek tebal mereka.

Normalisa, seorang manajer keuangan perusahaan swasta di Jakarta Utara, misalnya mengeluh kenaikan kebutuhan bahan pokok membuat sejumlah orang yang membantunya mengurus keluarga dan 2 anaknya seperti supir, pembantu dan pengasuh anak juga menuntut kenaikan upah.

“Alasan mereka sama. Jadi mereka minta kenaikan gaji. Sekarang pengasuh anak 2,5 juta per bulan dulu 1,5 juta masih mau. Supir dulu 1,5 juta sekarang 2,5 juta, pembantu dulu bisa 800 ribu sekarang 1 juta lebih. Jadi kenaikan upah pegawai saja sudah 40 persen," kata Normalisa.

Dengan lonjakan beban keuangan keluarga ini, Normalisa mengaku mengatur ulang gaya hidup keluarganya. Di antaranya dengan mengurangi frekuensi makan bersama keluarga di luar.

“Ya makan di luar dikurangi, sekarang lebih berhemat, lebih pilih makan di rumah. Belanja baju dan jajan anak juga terpaksa saya kurang-kurangi,”tuturnya.

Di awal tahun 2014 ini, kocek warga juga semakin tertekan dengan kenaikan gas elpiji 12 kg. Terhitung sejak 1 Januari 2014 Pertamina memutuskan menaikan harga elpiji 12 kg secara serentak di seluruh Indonesia.

Awalnya Pertamina mematok kenaikan sebesar Rp.3.959 per kg di tingkat konsumen. Namun harga ini kemudian direvisi kembali.

Meski sudah direvisi dan hanya naik Rp.1000 per kg namun kebijakan itu tidak banyak menolong warga. Laju kenaikan harga tetap tidak terhentikan.

Harga Mie Ayam Juga Naik

Hal itu dirasakan oleh pemiliki usaha rumah makan di Jakarta Utara, Iwan Mainoor.

“Bahan pokok menu yang kita jual seperti mie, ayam, itu rata-rata jadi naik 5%. Itu dari bahan-bahan saja, di warung saya pakai 6 tabung gas 12 kg. Sehari bisa 3 kali ganti tabung. Jadi otomatis dengan kenaikan harga gas ini sangat berdampak pada usaha saya,” kata iwan.

Iwan mengaku meski sudah ditetapkan kenaikan harga gas hanya Rp.1.000 tapi prakteknya  harga elpiji naik hingga Rp.5000 per tabung. Dan itu semakin menguras modalnya. Oleh karena itu ia terpaksa menaikan harga jual menu makanan di rumah makannya.

“Ya terpaksa harga sedikit kita naikan, tapi gak berani tinggi-tinggi, rata-rata saya naikan Rp.1000. seperti mie ayam dulu harganya Rp. 12 ribu semangkuk sekarang Rp.13.000. “

Kenaikan harga ini diakui iwan berdampak pada omsetnya. Jika sebelum kenaikan harga perhari Iwan bisa mendapatkan laba Rp. 3 juta – Rp.3.5  juta rupiah. Kini omsetnya cenderung menurun di bawah Rp.3 juta.

Iwan Mainoor menyalahkan pemerintah sebagai pemicu lonjakan harga kebutuhan pokok. Kurangnya koordinasi memicu spekulasi yang buntutnya membuat pengusaha kecil seperti dia dan warga lainnya harus menanggung beban kenaikan arga yang berlipat ganda.

Ketiga lapisan masyarakat ini berharap pemerintah bisa segera melakukan upaya untuk menahan laju kenaikan harga.