ABC

Mantan PM akui Australia lambat respon bencana kemanusiaan di Timor Timur

Bukti baru berupa kabel diplomatik dari tahun 1978 mengungkapkan pemerintah Australia gagal merespon peringatan bencana kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur (sekarang Timor Leste) pasca Indonesia melakukan invasi ke kawasan tersebut. Australia baru mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Timor Timur setahun kemudian.

Mantan Perdana Menteri Australia, Malcom Fraser menyatakan dirinya mengetahui adanya kabel diplomatik dari periode setelah Indonesia menginvasi Timor Timur pada tahun 1975  yang baru-baru ini terungkap. Isi kabel itu memperingatkan pemerintahannya terhadap ancaman bencana kemanusiaan yang berpotensi terjadi di kawasan Timor Timur.

Kabel Diplomatik itu dikirim oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta ke Canberra tahun 1978, isinya menjelaskan detail hasil pertemuan antara Menteri Pertahanan Indonesia ketika itu Mohammad Yusuf dengan Duta Besar Indonesia Tom Critchley yang baru-baru ini terungkap.

Dalam pertemuan itu diketahui Muhammad Yusuf menyampaikan peringatan terjadinya bencana kemanusiaan dengan mengatakan 270.000 perempuan dan anak-anak dipisahkan dari suami mereka dan bencana kelaparan menghadang menyusul invasi yang dilakukan Indonesia di kawasan tersebut.

Kabel Diplomatik itu dikirim setahun sebelum pengiriman bantuan kemanusiaan dilakukan dan Malcolm Fraser mengakui Australia harusnya merespon peringatan itu lebih awal.

"Dalam arti retrospeksi karena kesalahan yang dibuat di masa lalu, ya," kata Fraser, yang menjabat sebagai Perdana Menteri pasca pemecatan Gough Whitlam selama krisis konstitusi tahun 1975.

Meski mengakui pemerintahannya tahu dan seharusnya mengetahui sejauh mana krisis kemanusiaan di Timor Timur jauh sebelum meresponnya, Fraser mengaku dirinya tidak yakin pernah membaca kabel diplomatik tersebut secara langsung.

"Tugas saya sangat banyak, jadi mungkin saja dokumen kabel diplomatik itu memang dikirim ke meja kerja saya, tapi karena disalinan lembaran itu tidak ada inisial saya, maka saya tidak yakin saya pernah melihat lembaran kabel diplomatik tersebut," tambahnya.

Fraser berargumen ketika menjabat, kesempatan untuk mencegah Indonesia melakukan invasi ke Timor Timur juga sudah terlambat.

"Di awal tahun 1975 ketika Gough Whitlam berkuasa,  Ia sempat bertemu dengan Presiden Suharto, Australia ketika itu hampir menyetujui penggabungan Timor Timur dengan Indonesia, ketika itu kita harusnya meminta PBB mengirimkan pengamatnya terlebih dahulu untuk mencegah peleburan perbatasan Indonesia dan Timor Timur," katanya.

"Ketika saya menjabat, Indonesia sudah  lebih dahulu  menguasai Timor Timur.”

Pelajar Timor Leste desak rilis kabel diplomatik lainnya

Bukti baru berupa kabel diplomatik itu diterbitkan di The Citizen, publikasi online yang dikelola Pusat Peningkatan Journalistik dari Universitas Melbourne.

Menanggapi hal ini Clinton Fernandes,  Mahasiswa Universitas New South Wales mendesak agar Australia mau merilis bukti kabel diplomatik lainnya dari periode yang sama.

Fernandes mengatakan  peringatan memburuknya kondisi di Timor Timur dikirim tidak sampai akhir tahun 1979, karenanya Australia seharusnya mampu melakukan misi penyelamatan.

"Kedutaan Besar Australia di Jakarta menulis kabel diplomatik itu dan mengirimnya ke Kementrian Luar Negeri tapi tidak ada tindakan sama sekali yang dilakukan  padahal itu tahun 1978,"  Fernandes menjelaskan soal kabel diplomatik tersebut.

"Jadi sangat jelas Duta Besar Australia di Jakarta mengingatkan soal bencana kemanusiaan dan dia mengharapkan bantuan internasional.”

"Tapi bantuan dari Palang Merah Internasional baru datang ke Timor Timur 16 bulan kemudian.”

Fernandes saat ini tengah menuntut Arsip Nasional Australia untuk mengungkapkan kabel diplomatik lain dari awal  tahun 80-an. Namun tuntutan itu ditolak Kementrian Luar Negeri Australia karena alasan keamanan nasional.

"Dibawah aturan keterbukaan informasi setelah 30 tahun, mereka seharusnya sudah mengungkapkan masalah ini sejak lama, tapi dalam hal ini pemerintah mengklaim mengungkapkan dokumen itu bisa mengancam keamanan nasional Australia, itu tidak masuk akal bagi saya,” protesnya.

Program TV ABC – The World Today masih menunggu respon dari Kementrian Luar Negeri Australia.