ABC

Makin Banyak Mahasiswa Australia Belajar di Indonesia pada 2016

Sekitar 450 mahasiswa Australia akan belajar di Indonesia pada tahun 2016. Di bawah beasiswa New Colombo Plan (NCP) yang diberikan Pemerintah Australia, mahasiswa negeri kanguru yang belajar di Indonesia diharapkan mampu memperkuat hubungan kedua negara.

Mahasiswa Universitas Adelaide, Thomas Brown, sudah setahun belakangan ini berada di Indonesia untuk belajar.

Lewat program pengiriman mahasiswa yang dilakukan oleh ACICIS (Konsorsium universitas perguruan tinggi Australia untuk studi Indonesia), Thomas menjalani program studi pembangunan di Yogyakarta.

“Kalau saya tidak pergi ke Indonesia, saya rasa orang tua saya tak akan benar-benar paham seperti apa Indonesia itu, selain hanya mengenal Bali,” akunya kepada ABC di Yogyakarta.

Ia lantas menuturkan, “Saya pun mendapat pembelajaran luar kelas yang luar biasa, melebihi apa yang saya dapat di kelas. Terutama ketika saya sempat tinggal di sebuah desa tahun lalu. Kalau saya tak datang ke sana, mungkin saya belum tentu merasakan benar-benar apa yang dinamakan pembangunan.”

Thomas Brown (kanan) bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa program ACICIS di Yogyakarta. (Foto: Nurina Savitri)
Thomas Brown (kanan) bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa program ACICIS di Yogyakarta. (Foto: Nurina Savitri)

Pemuda berjenggot ini adalah salah satu mahasiswa negeri kanguru penerima beasiswa NCP, yang diberikan oleh Pemerintah Australia. Karena beasiswa ini pula, Thomas mampu memperpanjang masa studinya di Indonesia.

Ia mengungkapkan, “New Colombo Plan itu penting buat mahasiswa Australia yang ingin belajar ke Asia. Karena jujur saja, banyak orang ingin pergi ke Amerika Utara atau Eropa untuk sekolah. Ya karena begitulah tradisi lamanya.”

“Tapi dengan adanya beasiswa ini, khususnya untuk studi di Asia, itu artinya belajar di Asia menjadi lebih penting. Dana itu akan memotivasi lebih banyak mahasiswa Australia untuk belajar di sini. Contohnya seperti saya,” tambahnya.

Tahun 2015 ini, ada sekitar 200an mahasiswa Australia yang belajar dan magang di Indonesia. Berkat dana 2,1 juta dolar (atau sekitar Rp 21 miliar) dari NCP di tahun depan, jumlah mahasiswa Australia yang akan menimba ilmu di negeri khatulistiwa ini menjadi dua kali lipat.

“Kami sangat gembira mendengar Pemerintah Australia mengumumkan program New Colombo Plan untuk tahun depan, yang artinya ada sekitar 450 beasiswa bagi ACICIS dan itu diperuntukkan bagi mahasiswa Australia yang datang dan belajar ke Indonesia,” utara Profesor David Hill, pendiri dan Direktur ACICIS ketika ditemui dalam perayaan 20 tahun konsorsium ini di kota gudeg, akhir pekan lalu.

Luke Arnold ketika menceritakan pengalamannya belajar di Indonesia. Ia adalah alumnus ACICIS yang kini menjabat sebagai Sekretaris Satu bidang Kerjasama Keadilan dan Demokrasi di Kedutaan Besar Australia di jakarta. (Foto: Nurina Savitri)
Luke Arnold ketika menceritakan pengalamannya belajar di Indonesia. Ia adalah alumnus ACICIS yang kini menjabat sebagai Sekretaris Satu bidang Kerjasama Keadilan dan Demokrasi di Kedutaan Besar Australia di jakarta. (Foto: Nurina Savitri)

Pakar Indonesia ini mengemukakan, selain memperbanyak jumlah mahasiswa yang datang, beasiswa NCP juga memperluas bidang studi yang bisa dipelajari di Indonesia.

“Kalau selama ini sebagian besar fokus kami ada di bidang ilmu sosial, dengan adanya dana New Colombo Plan yang baru, akan ada kuliah singkat di bidang kesehatan masyarakat serta seni dan desain yang ditawarkan ACICIS,” ujar Profesor yang mahir bahasa Indonesia ini.

Pentingnya beasiswa ini juga dibenarkan oleh salah satu alumnus ACICIS yang kini bekerja di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Luke Arnold.

“NCP ini krusial sekali apalagi buat mereka yang tidak mampu biayai sendiri kuliahnya di Indonesia, supaya mereka juga punya teman di sini,” ungkap pria yang fasih berbahasa Jawa ini.

Ia beralasan, “Semakin banyak mahasiswa Australia yang kuliah di sini, makin banyak orang Australia yang punya teman di Indonesia, dan makin banyak orang Indonesia punya teman asli Australia. Saya rasa makin banyak pertemanan langsung antara individu dari Australia dan dari Indonesia, akan semakin baik hubungan kedua negara.”

“Kalau dulu jaman saya kuliah disini, yaitu tahun 2000, sudah ada New Colombo Plan, mungkin saya bisa berlama-lama kuliah di Indonesia,” candanya.

Rebecca Lawrence, mahasiswa Universitas Australia Barat penerima beasiswa New Colombo Plan untuk studi Indonesia. (Foto: Nurina Savitri)
Rebecca Lawrence, mahasiswa Universitas Australia Barat penerima beasiswa New Colombo Plan untuk studi Indonesia. (Foto: Nurina Savitri)

Hal yang sama juga disampaikan Rebecca Lawrence, mahasiswa Universitas Australia Barat penerima beasiswa NCP lainnya.

“Tentunya saya tak akan belajar di sini kalau tak ada beasiswa ini. Program ini bukan semata-mata berkontribusi positif pada hubungan Indonesia-Australia, tapi juga menunjukkan pada mahasiswa betapa pentingnya pergi ke Indonesia dan belajar langsung di sini. Buat apa bisa bahasanya tapi tak bisa berkomunikasi langsung dengan orang-orang lokal,” utaranya.

Ia menuturkan, “Perspektif saya berubah. Pengetahuan saya tentang Indonesia sudah bertransformasi. Kesadaran budaya ini tak akan saya miliki jika saya tak pernah belajar di sini. Saya jadi sadar betapa pentingnya hubungan orang per-orang bagi Indonesia dan Australia.”

Contoh nyata dari pengalaman belajar di Indonesia adalah kemampuan adaptasi mahasiswa Australia yang meningkat pesat.

“Beberapa anak ACICIS di Jakarta tinggal di kos dengan anak Indonesia lainnya. Pada waktu bencana banjir tiba, tentu saja mereka harus berpikir agak kreatif bagaimana caranya keluar dari kos dan nggak terkena banjir. Jadi akhirnya mereka naik perahu kecil, mereka pergi bersama-sama keluar kos ke tempat magang,” ceria Elena Williams, Direktur ACICIS di Indonesia.

Perdana Menteri Australia lulusan Indonesia

Dua puluh tahun pengiriman mahasiswa Australia yang dilakoni ACICIS, tentu saja tak bebas hambatan.

Elena Williams mengutarakan, ada sejumlah peristiwa yang menimbulkan ketegangan di antara kedua negara, pun pernah ada kondisi alam yang menghalang-halangi mahasiswa Australia untuk datang.

“Bom bali misalkan, lalu kemerdekaan Timor Leste. Ya waktu itu kami masih bisa jalan terus, masih bisa melakukan program. Karena mahasiswa Australia sudah diterima baik di lingkungan, seperti di kos, oleh bapak ibu kos dan teman-teman di kelas,” kemukanya dalam bahasa Indonesia.

Ia lalu menyambung, “Jadi mereka ada teman dimana-mana, mereka nggak kaya turis, nggak kaya orang bule lainnya.”

Elena yang akrab disapa Ellie ini mengatakan, bencana alam seperti letusan merapi dan gempa bumi di Jogja juga sempat menahan kedatangan mahasiswa dari negaranya, walau tak berlangsung lama.

Dari kiri ke kanan: Elena Williams, Direktur ACICIS di Indonesia; Alannah MacTiernan, anggota Parlemen asal Australia Barat; dan Prof. David Hill, Direktur ACICIS ketika ditemui dalam perayaan 20 tahun ACICIS di Yogyakarta 28 Agustus 2015. (Foto: Nurina Savitri)
Dari kiri ke kanan: Elena Williams, Direktur ACICIS di Indonesia; Alannah MacTiernan, anggota Parlemen asal Australia Barat; dan Prof. David Hill, Direktur ACICIS ketika ditemui dalam perayaan 20 tahun ACICIS di Yogyakarta 28 Agustus 2015. (Foto: Nurina Savitri)

Novie Djenar, dosen di Universitas Sydney – salah satu mitra universitas ACICIS –berujar, mengirimkan mahasiswa Australia ke Indonesia, yang akan jadi duta besar bagi negaranya, akan membantu memperbaiki hubungan bilateral kedua negara.

“Ini seperti pintu gerbang di mana mahasiswa bisa lewat untuk memperluas pengetahuan Indonesia sehingga pengertian tentang Indonesia yang mereka punyai semakin kuat,” tegasnya kepada Nurina Savitri dari ABC.

Manfaat yang dirasakan mahasiswa Australia agaknya dinilai sebagai faktor penting bagi keberlangsungan program yang diselenggarakan ACICIS.

Grace Dungey, alumnus Universitas Monash, mengatakan, peluang untuk memperluas jaringan professional adalah motivasinya untuk datang ke Indonesia dan mengikuti program belajar langsung yang ditawarkan konsorsium pimpinan David Hill.

“Saya sudah banyak dengar cerita alumni, sepertinya mereka belajar banyak. Kalau tujuan saya sendiri, selain praktek bahasa, juga untuk bertemu sebanyak mungkin teman, memperluas jaringan saya,” aku gadis yang pernah mengikuti pertukaran pelajar di SMA 1 Lembang ini.

Meski demikian, bagi sang pendiri, memperluas jaringan kerja dan sosial mahasiswa Australia bukanlah mimpi besar ACICIS.

“Banyak orang nomor 1 di Indonesia pernah belajar di Australia, mantan Presiden SBY misalnya. Selain itu, ada juga mantan Menteri Marty Natalegawa dan Marie Elka. Belajar di Australia, saya rasa, telah memperdalam kemampuan mereka,” tutur David Hill.

Sang profesor kemudian menyampaikan harapannya, “Yang saya nantikan adalah masa di mana kami bisa mengatakan ada Menteri Luar Negeri Australia yang pernah belajar di Indonesia, atau bahkan Perdana Menteri Australia yang lulusan Indonesia dan menyampaikan pidato dalam bahasa Indonesia.”