Makanan impor serbu Australia, satu lagi pabrik makanan tutup
Perusahaan makanan McCain akan menutup salah-satu pabriknya, mengakibatkan 59 orang di-PHK-kan dan sejumlah petani kentang terpukul. Penutupan pabrik McCain di Penola, Australia Selatan, itu semakin memperpanjang daftar pabrik pemrosesan makanan yang kesulitan bertahan atau sudah ditutup akibat serbuan produk makanan impor.
Pihak manajemen McCain menyebut membanjirnya produk impor dan meningkatnya upah dan ongkos listrik sebagai alasan di balik penutupan itu. Ini merupakan berita buruk bagi para petani buah dan sayuran Australia.
Direktur Regional McCain Foods untuk Australia dan Selandia Baru, Louis Wolthers, menyebutkan pengetatan biaya sebagai penyebabnya.
McCain mengatakan akan menutup pabriknya di Penola pada bulan Desember, menyebabkan 59 karyawan permanen kehilangan pekerjaan.
Bagi kaum petani, berita ini datang pada saat mereka mulai menanam tahun ini. Seorang petani, Tim Heysen, mengakui, kaum petani juga menghadapi tekanan biaya.
McCain mengatakan, kentang yang biasanya dikirim ke pabrik di Penola kini akan dikirim ke pabrik di Ballarat di Victoria. Tapi para petani khawatir bahwa biaya mengangkut kentang 300 kilometer lagi akan membuat mereka tidak memperoleh keuntungan.
Wolthers mengatakan, McCain akan terus membahas isu itu dengan para petani. William Churchill dari kelompok petani AusVeg mengatakan, berita dari McCain itu sangat mengejutkan.
AusVeg juga mengiritk keras impor kentang. Churchill mengemukakan, selama 10 tahun terakhir impor kentang yang sudah diproses telah melonjak dari 10 ribu ton menjadi lebih dari 130 ribu ton.
Senator independen Nick Xenophon mengatakan, penutupan pabrik pemrosesan makanan di Australia menunjukkan ada sesuatu yang salah.
"Undang-undang kita tentang penulisan label makanan sangat lemah. Misalnya ada label yang menyebutkan 'buatan Australia dengan bahan lokal dan impor', atau bahan Australia ditulis dengan huruf kecil-kecil. Ini memprihatinkan," katanya. "Satu hal lagi, produk-produk dikirim ke Australia dengan harga rendah, melanggar peraturan WTO."