ABC

Mahasiswi Papua di Australia: “Indonesia Anggap Kita Setengah Manusia”

Seorang mahasiswi Papua Barat yang sedang kuliah di Australia menyampaikan kekhawatirannya menyusul serangkaian insiden di tempat kelahirannya, Papua Barat.

Aspirasi Mahasiswa Papua di Australia

Sikap seorang mahasiswi Papua di Australia:

  • Merasa tindakan rasisme yang selama ini dilakukan Indonesia tidak bisa dibiarkan
  • Mengatakan tidak akan menyerah dan tidak akan takut
  • Permintaan untuk dikembalikan akses internet agar bisa menghubungi sanak saudara

Wiwince Pigome, mahasiswi Curtin University yang berada di kota Perth, Australia Barat mengatakan keadaaan keluarga dan teman-temannya tidaklah aman setelah aksi unjuk rasa dan “tindakan rasis” kepada warga Papua.

“Terutama setelah mereka [pemerintah Indonesia] memblokir internet dan mengirimkan ribuan pasukan tambahan ke Papua Barat,” ujar Wiwince kepada Jordan Fennell dari ABC di Melbourne.

Meski ia telah berhasil menghubungi keluarga dan teman-temannya yang sedang kuliah di pulau Jawa lewat Whatsapp, Wiwince mengaku mereka tidak bisa berbicara banyak karena telepon mahasiswa Papua telah diretas.

“Kita tidak bisa terlalu bilang apa-apa karena mereka trauma. Mereka mengatakan tak akan menyerah untuk masalah ini, karena sudahlah cukup dengan semua ini,” tambahnya.

“Warga Papua melawan balik”

Wiwince Pigome
Wiwince mengaku khawatir dengan keselamatan keluarga dan teman-temannya di Indonesia, karena mereka tak bisa banyak bicara soal Papua.

Foto: Koleksi pribadi

“Tindakan rasis” di Papua merujuk pada aksi serangan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya, ketika ada oknum yang melontarkan kata “monyet” kepada mereka.

Video tersebut beredar luas di Papua dan menyulut kemarahan warga Papua, hingga menyebabkan demo besar-besaran dan berakhir dengan kerusuhan di Manokrawi, serta di kota Jayapura.

Kerusuhan tersebut terjadi beberapa hari setelah Indonesia memperingati Kemerdekaan RI ke-74.

“Inilah alasan mengapa kita tidak ingin jadi bagian dari Indonesia,” kata Wiwince.

Ia menceritakan saat ada pertandingan sepakbola dengan tim Papua, para penonton melemparinya dengan kulit pisang, “sebagai simbol monyet” yang gemar makan pisang.

“Kita tidak takut, saatnya warga Papua melawan balik karena tindakan rasisme yang dilakukan Indonesia kepada Papua Barat.”

Menanggapi panggilan “monyet” tersebut, sekelompok orang juga sempat berdemo di depan kantor KJRI Melbourne, Jumat lalu (23/08) sambil meneriakkan slogan “Papua Merdeka”.

Awal pekan kemarin (26/08), Presiden Joko Widodo telah menegaskan jika warga Papua juga memiliki harga diri dan martabat, sehingga tindakan rasis tidak biasa dibiarkan terjadi di Indonesia.

aksi unjuk rasa di Papua
Massa aksi membentangkan spanduk berisi tulisan"Stop intimidasi dan rasisme terhadap warga Papua" selama aksi unjuk rasa.

AP: Safwan Ashari Raharusun

Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menyerukan agar warga Papua memberikan “pengampunan” dan “kesabaran” atas insiden yang terjadi di Jawa Timur, namun pernyataannya malah mendapat banyak kecaman.

Para pengamat menilai permintaan maaf yang dianjurkan Presiden atau pun dialog singkat tidak akan cukup mengatasi persoalan yang sudah menumpuk di Papua selama ini.

Aksi-aksi seperti demonstrasi dan protes semakin berkembang di Papua dan Papua Barat dan sejumlah pengamat khawatir kondisi ini akan bergeser ke tuntutan menggelar referendum.

Hari Senin (26/08), sejumlah warga mengibarkan bendera bintang kejora, yakni simbol gerakan Papua Merdeka, di kantor Bupati Deiyai, yang juga serentak dilakukan di kota lainnya di Indonesia bahkan di luar negeri, termasuk di Australia.

Seruan untuk kembalikan internet

Massa aksi membakar mobil
Aksi unjuk rasa dipicu tudingan polisi melecehkan puluhan mahasiswa Papua Barat.

AP: Safwan Ashari Raharusun

Saat insiden kerusuhan berlangsung di Papua, pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mengurangi kecepatan akses internet dengan alasan “menghentikan penyebaran informasi yang salah”.

Pejuang hak asasi manusia serta penggiat digital mengatakan langkah yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi telah melanggar kebebasan informasi warga Papua.

Guberrnur Papua, Lukas Enembe mengatakan kepada wartawan di Jakarta jika ia telah banyak menerima keluhan soal pemblokiran internet.

“Makanya kami harap semua sisi informasi bisa dibuka,” ujar Lukas, hari Senin (26/08).

Seperti juga yang dirasakan oleh seorang guru di Papua Barat, yang mengaku kepada ABC lambatnya kecepatan internet dan sebagian bahkan diblokir, telah membuat hidupnya sulit.

Protes terhadap rasisme di Yapen, Papua Barat.
Protes terhadap rasisme di Yapen, Papua Barat.

Twitter; @VeronicaKoman

“Bagi saya sebagai guru, saya butuh koneksi internet untuk mengajarkan murid-murid saya,” kata Fred.

“Juga bagi warga lokal karena pekerjaan dan urusan mereka semua tergantung pada internet dan sekarang tidak bisa bekerja karena pemerintah memblokirnya.”

Menteri Komunikasi dan Informastika Rudiantara belum dapat memastikan kapan akan kembali membuka akses internet di Papua dan Papua Barat karena masih banyaknya hoaks yang beredar.

Simak informasi terkini lainnya dari Indonesia dan dunia di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.