ABC

Mahasiswa S3 Mantan Tersangka Teroris Kecam Kepolisian Australia

Seorang mahasiswa PhD pada University of New South Wales (UNSW) Muhammad Kamer Nizamdeen yang telah dibebaskan dari tuduhan terorisme, kini mengecam tindakan Kepolisian Federal Australia (AFP) terhadap dirinya.

Mahasiswa asal Srilanka ini ditangkap dan ditahan selama empat minggu dalam sel isolasi dengan tuduhan pelanggaran terorisme pada Agustus 2018.

Namun pada bulan September, polisi mencabut tuduhan atas Nizamdeen. Pasalnya, satu-satunya bukti yang dimiliki polisi tak dapat dibuktikan sebagai milik tersangka.

Pakar tulisan tangan yang diajukan polisi tak bisa membuktikan bahwa catatan rencana serangan teror di sebuah buku tulis merupakan tulisan Nizamdeen.

Catatan tersebut berisi rencana membunuh PM Malcolm Turnbull dan Menlu Julie Bishop yang masih menjabat ketika itu.

Berbicara ke media untuk pertama kalinya sejak dibebaskan dari status tersangka, Nizamdeen menyebut penyelidikan polisi “memalukan dan berat sebelah”.

Kepada media kota kelahirannya Kolombo, dia mengatakan metode yang dijalankan AFP amatiran, tak profesional dan tak bertanggung-jawab.

“Memalukan dan bahkan bias. Saya sangat yakin hal ini terjadi karena saya orang Asia dengan visa pelajar,” ujar pria berusia 25 tahun ini.

“Dan AFP keliru jika menganggap saya tak memiliki sumber daya atau kemampuan membela ketidakbersalahan saya ini,” kata Nizamdeen.

“Setelah saya dituntut dan ditahan, satu-satunya yang menggembirakan saya yaitu kepercayaan pada sistem peradilan Australia, yang sangat independen terhadap Kepolisian Federal Australia,” tambahnya.

Kasus ini juga melibatkan Tim Gabungan Anti Terorisme NSW (JCTT).

Polisi menuduh Nizamdeen memiliki cetak biru serangan teror terhadap beberapa lokasi “simbolis” di Sydney. Dia ditangkap tim JCTT di daerah Kensington di pinggiran Sydney pada bulan Agustus.

Menurut Nizamdeen, dirinya tetap bersikukuh ke penyidik bahwa tulisan tangan di buku tersebut bukan tulisannya.

Menurut penyidik, cetak biru rencana serangan itu ditemukan di buku catatan yang berada di atas meja yang digunakan Nizamdeen di tempat kerjanya di kampus UNSW.

“Setelah delapan jam diinterogasi, para penyidik berpikir hal itu sudah cukup untuk menuntutku di bawah hukum Australia yang kejam,” kata Nizamdeen.

“Hal itu mereka lakukan setelah saya berkali-kali menolak bahwa tulisan tangan itu milik saya,” tambahnya.

Namun, menurut Nizamdeen, hal yang lebih mengerikan justru terjadi setelahnya.

Dia merujuk kepada liputan media atas penangkapannya serta jumpa pers yang digelar polisi terkait penangkapan tersebut.

Liputan yang dia maksud termasuk laporan The Daily Telegraph dengan judul “Tampang Terorisme”.

Laporan koran tersebut disertai foto mahasiswa ini dengan ilustrasi mengenakan keffiyeh gaya Timur Tengah dan kacamata hitam.

Bukti diserahkan orang lain ke polisi

Satu-satunya bukti menuduh Nizamdeen, yaitu buku catatan, diserahkan kepada polisi oleh orang lain.

“Buku itu ditemukan di ruang kantor yang tidak saya pakai selama lebih dari sebulan,” katanya.

Nizamdeen sedang menyelesaikan PhD sekaligus bekerja di bagian TI Universitas NSW.

Menurut dia, penahanannya telah merugikan keluarganya. Dia tak dapat menghubungi mereka selama sebulan setelah ditangkap.

“Butuh enam hari sebelum pengacara bisa menghubungiku,” katanya.

“Saya tidak bisa kontak dengan dunia luar selama enam hari, suatu pelanggaran hak asasi dan hak dasar manusia,” katanya.

“Permasalahan ini jelas menghancurkan masa depanku. Saya kini kembali ke Srilanka untuk melanjutkan kehidupanku,” tambahnya.

Police investigation
Micahel Willing dari unit Anti Terorisme Kepolisian New South Wales saat menjelaskan kasus ini bulan lalu.

ABC News: Avani Dias

Penyelidikan masih berlangsung

Polisi telah menyatakan menolak meminta maaf kepada Nizamdeen meskipun tuduhan terhadapnya telah dibatalkan.

Mereka mengatakan penyelidikan kasus ini masih berlangsung.

Dalam keterangan pers bulan lalu, para pimpinan AFP dan satuan anti-terorisme mengatakan ancaman terorisme menjadikan mereka harus “bertindak terlebih dahulu”.

“Kita jangan terlena karena ancaman teroris di Australia dan NSW sangat nyata,” kata Asisten Komisaris Kepolisian Michael Willing saat itu.

Disebutkan bahwa penyelidikan polisi kini bergeser “pada kemungkinan catatan tersebut dibuat oleh orang lain”.

Ditanya apakah kasus ini telah menghancurkan kehidupan Nizamdeen, Willing ketika itu berdalih bahwa pihak-piahk yang terlibat pembuatan dokumen itulah yang bertanggungjawab pada Nizamdeen.

Paman Nizamdeen, Faiszer Musthapha, merupakan Menteri Olahraga dan Pemerintahan Daerah di Srilanka.

Kepada ABC bulan lalu dia menyatakan yakin keponakannya itu tidak bersalah.

Dalam persidangan pendahuluan atas kasus ini, terungkap bahwa komputer, telepon seluler dan dokumen lainnya yang dimiliki Nuzamdeen tak menunjukkan ideologi ekstremis.

Nizamdeen bisa menuntut polisi untuk kompensasi atas penahanan yang keliru tersebut.

“Saya dibebaskan (dari segala tuduhan), dan berharap media dan masyarakat Srilanka dapat membantuku memulai kembali kehidupan saya yang hancur,” katanya.

AFP yang dihubungi hanya merujuk kepada pernyataan mereka saat konferensi pers bulan lalu.

Kepolisian NSW juga dihubungi untuk dimintai komentar.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.