ABC

Mahasiswa PhD Teliti Bahasa Tionghoa di Kalbar

“Saya ambil dua jurusan, yaitu jurusan Linguistik dan jurusan Bahasa Indonesia dan sekarang saya di tahun ketiga S3 di Monash,” ujar Jess Birnie-Smith dalam Bahasa Indonesia yang cukup meyakinkan.

Perkenalan pertama dengan Jess Birnie-Smith terjadi ketika peserta International Symposium on Malaysia/Indonesian Linguistics (ISMIL) yang mengadakan pertemuan di Melbourne diundang makan malam oleh KJRI minggu lalu. Jess, panggilan mahasiswa PhD asal Monash University ini adalah salah satu peserta simposium, karena dia saat ini masih menjadi mahasiswa jurusan Linguistik dan Bahasa Indonesia di tahun ketiga S3nya di Monash.

Penelitian untuk mendapatkan gelar doktor ini juga melibatkan Indonesia, yaitu bahasa dan identitas anak muda Tionghoa di Pontianak, Kalimantan Barat. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai Jess Birnie-Smith, mahasiswi berusia 26 tahun yang belum menikah tersebut, inilah jawabannya atas pertanyaan yang dikirimkan oleh wartawan ABC Australia Plus Indonesia L. Sastra Wijaya lewat email. Semua jawaban Jess ditulis dalam Bahasa Indonesia.

Apa yang menjadi topik penelitian saat ini? Mengapa Anda tertarik untuk meneliti hal tersebut? Sampai dimana proses penelitian dan penulisan thesisnya?

Penelitian saya tentang bahasa dan identitas anak muda Tionghoa di Pontianak, Kalimantan Barat. Saya belajar bagaimana mahasiswa perempuan merundingkan identitas mereka sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa melalui bahasanya.

Saya coba menjawab pertanyaan tentang fungsi Bahasa Indonesia dan Bahasa Cina dalam berbagai konteks yang terjadi di kehidupan sehari-hari orang Tionghoa di kota Pontianak.

Saya tertarik untuk meneliti komunitas Tionghoa dulu karena saya belajar Bahasa Mandarin di Universitas pada waktu saya ambil S1.

Pada waktu itu, saya belajar diaspora Tionghoa itu diaspora yang paling besar di dunia. Komunitas diaspora di Australia dan di Indonesia sama-sama besar.

Lagi pula, sejarah orang Tionghoa di Indonesia dan di Australia sangat menarik dan kadang-kadang kontroversial juga. Oleh karena itu, saya merasa penelitian tentang komunitas Tionghoa sangat penting buat negara Indonesia dan negara Australia juga.

Pada sekarang ada beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan di Jawa, tetapi penelitian tentang komunitas Tionghoa di tempat lain masih kurang.

Inilah masalah yang penting karena diaspora Tionghoa bukan satu kelompok yang homogen, sebenarnya, ada banyak perbedaan antara kelompok Tionghoa di kota yang berbeda di Indonesia. Contohnya, komunitas Tionghoa di Medan bisa Bahasa Hokkien, tetapi komunitas Tionghoa di Pontianak bisa Bahasa Tiociu atau Bahasa Khek.

Jadi, penelitian saya bisa menjadi bahan pembelajaran tentang bahasa dan budaya Tionghoa yang khusus di Kalimantan Barat.

Pada saat ini, saya sudah menulis bab kajian pustaka, metodologi, dan salah satu bab hasil dan pembahasan, akan tetapi masih ada banyak data yang belum saya analisa, berarti masih banyak yang harus saya kerjakan sebelum lulus.

Jessica Smith di KJRI Melbourne
Jess Birnie-Smith ketika berada di Pantai Singkawang Kalimantan Barat.

Foto: koleksi pribadi

Bagaimana perkenalan anda dengan bahasa Indonesia dimulai? Sejak kapan? Mengapa dulu bisa belajar Bahasa Indonesia?

Saya mulai belajar Bahasa Indonesia di SD. Setelah lulus SD, saya terus belajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Perancis di sekolah menengah sampai kelas sepuluh.

Ketika hendak memulai kelas 10, administrasi sekolah menengah mengharuskan saya memilih satu bahasa asing. Maksudnya saya tidak diperbolehkan mengambil dua bahasa asing di kelas 10-12 di menengah.

Saya memilih belajar bahasa Perancis di sekolah menengah tetapi saya juga mau terus belajar Bahasa Indonesia.

Saya kemudian mendaftar di “Victorian School of Languages” yang mengajar kelas Bahasa Indonesia pada hari Sabtu. Kesempatan ini sangat berhargai bagi saya karena kebanyakan murid di kelas itu orang Australia keturunan Indonesia, berarti saya dapat belajar Bahasa Indonesia di lingkungan yang benar-benar Indonesia.

Saya juga dapat belajar tentang masalah budaya, politik dan agama dari teman sekelas. Selain itu, mereka juga mengajar saya bahasa sehari-hari mereka agar Bahasa Indonesia saya bisa lebih alami, lebih natural.

Setelah lulus sekolah menengah, saya sudah sangat mencintai bahasa dan budaya Indonesia, dan saya terus ambil jurusan Bahasa Indonesia di S1 di Monash.

Apakah ada cerita ‘menarik’ mengenai ketertarikan ini, apakah misalnya pernah dihadapkan pada pilihan untuk belajar bahasa lain selain Bahasa Indonesia?

Saya merasa cerita ketertarikan ini panjang sekali, sebetulnya sepanjang hidup saya tertarik tentang bahasa dan budaya Indonesia karena Indonesia, dibanding Australia, dari semua faktor, sangat lain, sangat berbeda dan itu mengapa saya mau belajar tentang Indonesia. 

Saya ingat, pertama kali saya lihat wayang kulit Indonesia, saya pikir “Wah! Ini luar biasa, sama sekali tidak ada kesenian seperti ini di Australia”, dan sejak itu saya mau belajar semakin banyak tentang bahasa dan budaya Indonesia.

Saya pernah belajar bahasa lain, seperti Bahasa Perancis dan Bahasa Mandarin, tetapi saya memilih belajar Bahasa Indonesia dan bukan bahasa Eropa yang lain karena Indonesia itu negara tentangga kita di Australia, dan hubungan antara negara Australia dan negara Indonesia sangat penting.

Kalau orang Australia tidak belajar Bahasa Indonesia bagaimana bisa membentukkan hubungan harmonis dan ahkrab antara dua bangsa ini? Kalau kita pertimbangkan iklim politik di Australia dan di Indonesia sekarang, pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi makin lama makin penting.

Sejak belajar bahasa Indonesia, sudah pernah berapa kali mengunjungi Indonesia ?

Saya baru dua kali mengunjungi Indonesia, sayangnya jumlah kunjungan hanya sedikit. Tetapi kujungan terakhir lumayan lama, tahun yang lalu saya tinggal di kota Pontianak selama tujuh bulan untuk melaksanakan riset.

Saya pernah menunjungi kota dan daerah sekitar Pontianak, termasuk Siantan, Sintang dan Singkawang, dan saya juga pernah ke Jakarta.

Saya ingin jalan-jalan di kota lain di seluruh Indonesia dan mudah-mudahan pada masa depan ada lebih banyak kesempatan untuk mengunjungi ke sana.

Jess di sebuah cafe di Pontianak (Kalimantan Barat)
Jess di sebuah cafe di Pontianak (Kalimantan Barat)

Foto: koleksi pribadi

Setelah selesai sekolah nanti, karir apa yang hendak Anda tempuh?

Pada saat ini, saya masih belum pasti, tetapi saya berminat mengajar kelas linguistik di Uiversitas Monash, terus saya ingin meneliti terus masalah-masalah linguistik di Indonesia.

Selain itu, saya juga berminat untuk bekerja di bidang hubungan internasional.

Minat anak-anak sekolah untuk belajar bahasa Indonesia di Australia terlihat agak menurun belakangan? Menurut Anda, apa yang terjadi? Apakah karena masalah politik atau karena Bahasa Indonesia tidak begitu ‘cool’ dibandingkan Bahasa China atau bahasa-bahasa Eropa?

Ini pertanyaan yang penting sekali dan yang harus dibahas terus. Menurut saya ada beberapa alasan untuk masalah ini.

Pertama-tama, peringatan perjalanan ke Indonesia yang dikeluarkan pemerintah Australia (setelah terjadinya serangan bom di Bali) sangat berpengaruhi.

Oleh karena peringatan perjalanan itu, banyak sekolah Australia berhenti mengajar Bahasa Indonesia karena mereka tidak diperbolehkan mengirim pelajar ke Indonesia untuk pertukaran bahasa.

Lalu hubungan antara Indonesia dan Australia sekarang agak tegang disebabkan oleh masalah politik terakhir misalnya penyadapan telepon Presiden SBY oleh pemerintah Australia dan eksekusi hukuman mati kepada terpidana kasus Bali Nine di Indonesia. Tambahan pula, ketakutan dan pandangan buruk sebagian warga Australia terhadap orang muslim menyebabkan banyak anak muda Australia susah belajar Bahasa Indonesia.

Menurut pendapat saya, hubungan internasional yang tegang tidak bisa menjadi alasan untuk menghindari belajar Bahasa Indonesia di Australia.

Sebaliknya, kalau hubungan antara dua bangsa ini tegang, kita perlu belajar semakin banyak tentang negara tetangga kita, karena kalau kita belajar Bahasa Indonesia, kita juga belajar tentang budaya, agama, gaya hidup dan filsafat mereka di sana.

Kalau kita mempunyai pengetahuan yang sangat mendalam tentang Indonesia, kita lebih mampu bekerja sama, bernegosiasi dan berkompromi dengan Indonesia.

Anda kemarin ikut ISMIL, apakah ini yang pertama diikuti? Dari simposium di Melbourne, informasi baru apa yang kamu dapatkan dari sana?

Tahun ini baru pertama kali saya ikut ISMIL, dan saya sudah dapat banyak informasi baru mengenai riset yang sedang dilakukan di Indonesia dan di Malaysia.

Ada beberapa proyek sekarang yang berfokus pada deskripsi fenomena tata bahasa dalam berbagai bahasa lokal di Indonesia dan di Malaysia.

Dan dari segi pendidikan ada banyak universitas di luar negeri, misalnya di Jepang, di Spanyol dan bahkan di Republik Ceko yang sudah mulai mengajar Bahasa Indonesia. 

Saya senang bertemu dengan orang dari seluruh dunia yang belajar Bahasa Indonesia karena itu adalah tanda bahwa walaupun di Australia pembelajaran Bahasa Indonesia sekarang turun, di luar negeri, pembelajarannya terus mengingkat.