ABC

Lomba Burung Berkicau Picu Perdangangan Satwa Liar

Keempat sisi dinding dari arena perlombaan dikelilingi oleh anak-anak muda yang sibuk berteriak dalam bahasa Indonesia. Suasananya seperti pertandingan tinju, tapi kompetisi ini sangat berbeda – para peserta lomba, 60 ekor semuanya, tergantung di bawah atap. Mereka tidak berkelahi melainkan berlomba berkicau.

Inilah kompetisi burung berkicau di Pontianak, Kalimantan Barat.

Burung robin berwarna hitam putih dari kandangannya yang tergantung, berkicau selama beberapa menit tanpa henti.

Mereka bertengger di sarang yang berukir indah yang biasanya ditemukan di beranda, sudut jalan, halaman belakang, dan di etalase toko.

Setiap pekannya di Indonesia, ada ribuan kompetisi burung berkicau seperti ini di berbagai daerah.

Arena lomba dipenuhi burung-burung yang ditangkap secara ilegal dengan menggunakan di hutan. Permintaan burung berkicau pun semakin meningkat.

Survei yang dilakukan LSM Planet Indonesia baru-baru ini menemukan lebih dari 25.000 burung berkicau dijual di berbagai pasar di Kalimantan. Jaringan pemantau perdagangan satwa liar, TRAFFIC, menemukan 19.000 unggas dijual hanya dalam tiga hari di Jakarta pada 2016.

Baca Juga:

Aliran Dana Perdagangan Satwa Liar Perlu Diselidiki

Jennifer Croes Tinggalkan Kerja di Australia Demi Selamatkan Satwa Liar Sumatera

Bisnis besar, berdampak besar

Di saat lomba burung berkicau terus meningkat popularitasnya di seluruh Indonesia, olahraga ini justru membahayakan spesies yang sudah terancam.

Pada tahun 2016, penelitian yang dilakukan TRAFFIC menemukan 19 spesies burung berkicau di Indonesia terancam punah akibat perdagangan ilegal.

Ada lebih dari 90 daftar burung terlindungi di Indonesia. Beberapa di antaranya termasuk spesies individual, dan beberapa di antaranya mencakup keseluruhan keluarga burung tersebut.

Kompetisi burung berkicau merupakan bisnis besar. “Olahraga” kaum pria ini digemari semua kelompok yang bersaing dan menghabiskan uang mereka untuk membeli aksesoris.

“Semua ini tentang gengsi,” kata Novia Sagita, direktur Planet Indonesia, sebuah LSM yang peduli dengan isu burung-burung berkicau yang bekerja langsung ke desa-desa.

Dorektur lainnya Adam Miller menambahkan bahwa perdagangan burung berkicau mencakup hampir 300 spesies. Satu sampai dua juta ekor burung diperdagangkan setiap tahun di Indonesia.

“Hal ini terus berkembang,” katanya kepada ABC. “Semakin banyak klub burung yang bermunculan, semakin banyak spesies yang terlibat dalam kompetisi. Mereka sangat senang dengan burung-burung mereka.”

Meskipun hadiahnya biasanya tidak besar, namun harga burung bisa meningkat secara dramatis berdasarkan kemenangan yang diraihnya.

Seorang pemenang lomba mengatakan burungnya, yang dibeli dengan harga $ 10 sekarang bernilai $ 6.000. Pemenang bisa memperoleh hingga $ 20.000 atau 30 kali penghasilan bulanan rata-rata orang Indonesia.

Javan green magpie
Burung jenis Ekek-geling Jawa (Cissa thalassina) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga.

Jonathan Beilby (CCBC)

Tekanan pada hutan

Kompetisi burung berkicau ini mendapat momentum di pertengahan tahun 1970an, ketika sebuah LSM di Jawa mendorong tradisi memelihara burung berkicau sebagai hobi dan bahkan mendorong kompetisi.

Hal itu dikombinasikan dengan program transmigrasi di era Pemerintahan Presiden Suharto, yang mencapai puncaknya pada awal tahun 1980an.

Penyebaran penduduk ke seluruh Indonesia ini sekaligus menjadikan tradisi Jawa seperti memelihara burung berkicau juga menyebar ke seluruh negeri.

Sekarang, tekanan pada hutan pun sangat besar. Kegemaran pada spesies tertentu membuat hewan-hewan itu terbunuh di alam liar.

Selama beberapa tahun seekor burung bisa berpindah dari peringkat “umum” menjadi “rentan”. Begitu pula burung Cucak Ijo yang sekarang lebih banyak ditemukan di pasar burung daripada di hutan.

Mengubah tradisi

Para penangkap burung biasanya warga setempat yang berharap bisa mendapat sedikit uang tambahan. Karena merupakan masalah pendapatan, Sagita dari Planet Indonesia pun bekerja sama dengan warga untuk membantu memperbaiki ekonomi mereka.

Hal ini termasuk penyediaan program penyadaran atau membantu pembibitan burung sebagai bisnis.

“Kami melakukannya bersama-sama dan menyebutnya sistem bisnis masyarakat,” kata Sagita, yang mengajari warga mulai dari pembukuan hingga manajemen.

Prosesnya mulai berjalan, namun mengubah tradisi budaya satu desa pada satu waktu bukanlah proses yang cepat.

Sementara itu, program pengembangbiakan terbukti menantang. Miller mengatakan bahwa hal itu bukannya “solusi”.

“Dengan banyaknya kasus penangkaran di Indonesia, jika Anda mengunjungi peternak itu, Anda tidak akan pernah melihat anak-anak burung atau burung muda. Mereka hanya untuk menutupi spesies yang diambil dari alam liar,” katanya.

“Ada beberapa pembiakan konservasi yang pernah berjalan tapi semuanya telah ditutup, karena setiap burung yang mereka lepaskan tertangkap kembali,” tambahnya.

Di saat burung-burung itu cenderung tertangkap lagi, diperlukan penyadaran bagi seluruh warga untuk tidak menjamah hutan untuk menangkap burung.

“Saya tidak tahu apakah perdagangan burung liar di Indonesia akan berhenti dalam sejuta tahun, sepenuhnya,” kata Miller.

“Saya pikir hal itu sangat tertanam di sini. Apa yang dapat kita lakukan dari waktu ke waktu adalah mencoba menghentikan spesies tertentu dari perdagangan dan membuat beberapa sistem pembatasan,” jelasnya.

“Harus ada sesuatu aturan yang diterapkan karena sekarang ini semuanya bebas saja,” tambahnya.

Diterbitkan Senin 11 September 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia di sini.