Lima Puluhan Pengungsi Pulau Manus Memulai Hidup Baru di AS
Sambil berdiri di dalam sebuah kamar yang hampir kosong, Abdul Ghafar Ghulami membuka resleting tas ranselnya.
Ia mengeluarkan tiga pasang celana, beberapa kaos, beberapa map dokumen dan kamus bahasa Inggris Oxford.
Ia menumpuk benda-benda itu di atas lantai.
“Hanya itu yang saya bawa dari Pulau Manus,” katanya sambil membolak-balikkan dan menggoyang ranselnya untuk menunjukkan maksudnya itu.
Setelah menunggu 4 tahun dan 15 hari di Pulau Manus, Abdul tiba di Louisville, Kentucky pekan lalu sebagai salah satu dari 54 pengungsi pertama dari Papua Nugini dan Nauru yang dimukimkan kembali di Amerika Serikat (AS) berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh Pemerintah AS dan Australia.
Barang-barang yang dibawa Abdul adalah salah satu bentuk protes -karena ia marah atas ucapan Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton, bahwa para pengungsi yang meninggalkan Pulau Manus dan Nauru ke AS akan diberi celana ‘jins Armani’ begitu mereka sampai di negeri Paman Sam tersebut.
“Mengapa Pak Menteri berbohong? Inilah buktinya, inilah hidup saya,” katanya sambil menunjuk tumpukan barang-barangnya.
Ia melihat ke lantai dan mengambil kantong plastik berperekat. Di dalamnya ada dua kartu identitas saat ia masih di rumah tahanan dan sepotong kain merah seukuran telapak tangan.
“Dari kampung halaman, saya hanya punya ini,” akunya.
“Ini bukan apa-apa, hanya sepotong kain tapi karena ibu saya yang memberikannya, saya menyimpannya sampai sekarang.”
Itulah satu-satunya yang ia bawa dari rumahnya di Afghanistan, negara asal yang telah ditinggalkannya lebih dari empat tahun lalu.
Disambut di AS
Apartemen di pinggiran kota Louisville yang Abdul tempati bersama dengan sesama mantan tahanan Manus, Jawad Hussain, sederhana dan perlu banyak perbaikan.
Di satu meja kopi ada kartu bertuliskan “Selamat datang di Amerika Serikat”, dengan glitter berbentuk bintang berwarna merah putih dan biru yang terpasang di halaman depan.
Jawad mengatakan bahwa kartu itu berasal dari anak-anak sekolah setempat -kartu itu datang dalam paket yang mereka dapatkan dari badan amal pemukiman kembali yang membantu mereka untuk menetap.
Jawad adalah seorang Muslim Syiah, sebuah kelompok yang dianiaya di daerah barat laut Pakistan tempat yang membuatnya melarikan diri pada tahun 2013. Abdul adalah warga etnis Hazara, sebuah kelompok etnis di Afghanistan yang sering dijadikan sasaran oleh Taliban.
Mereka berdua bertekad menjadi pengungsi pada tahun 2014, tiga tahun sebelum mereka meninggalkan Pulau Manus.
Mereka berdua terlihat kelelahan.
Untuk sampai ke Louisville, mereka harus terbang dari Papua Nugini, melewati Manilla, Los Angeles, dan Chicago.
“Kami tak memiliki saudara atau teman, jadi sulit untuk memasuki tahap pertama bermukim di negara yang berbeda -dan AS tentu saja berbeda -tapi kami bahagia, kami senang berada di sini,” tutur Jawad.
Abdul mengatakan bahwa ia baru mengetahui beberapa hari sebelum berangkat ke Pulau Manus bahwa ia telah diterima di AS.
“Pada waktu itu, saya merasa sangat gembira dan terkesan,” ujarnya.
“Sampai saya masuk pesawat terbang, saya tak percaya ini terjadi.”
Setelah dijanjikan untuk dimukimkan kembali di negara-negara mulai dari Malaysia hingga Kamboja dan lalu ditinggalkan begitu saja di Pulau Manus, hanya sekali ia benar-benar meninggalkan Papua Nugini kemudian memberi tahu teman serta keluarganya bahwa ia bebas.
"Ketika saya pergi dan meninggalkan Pulau Manus, saya menghubungi mereka dan menulis pesan kepada mereka bahwa akhirnya saya keluar dari neraka itu," kata Abdul.
Kedua pria tersebut berulang kali menyebut Pulau Manus sebagai “neraka”.
Lima orang meninggal saat mereka masih berada dalam tahanan, dan mereka mengatakan, trauma sewaktu mereka berada di Papua Nugini tetap terekam baik.
“Pikiran saya dan semuanya masih ada di sana,” kata Abdul.
“Masih mengalami mimpi buruk, dan saya merasa masih berada di sana.”
Mereka berusaha tetap optimistis agar bisa melangkah maju.
“AS adalah negara yang penuh peluang,” kata Jawad sambil tersenyum.
“AS adalah negara tempat Anda bisa mendapatkan pekerjaan bagus, atau mendapatkan pendidikan yang bagus jadi itu benar-benar tergantung pada orangnya,” sebutnya.
Baik Jawad maupun Abdul tidak tahu banyak tentang kota baru mereka. Jawad mendaftar hal-hal yang ia tahu tentang Kentucky; yaitu KFC, wiski dan pacuan kuda.
Penjara lebih baik daripada Pulau Manus
Kedua pria itu bersikeras mereka kehilangan minat untuk menetap di Australia sejak lama, mengingat masa tinggal mereka di Pulau Manus selalu terganggu.
“Bahkan penjara lebih baik. Mengapa? karena penjahat tahu berapa lama mereka harus tinggal di sana, tapi kami tak tahu hal itu,” ceplosnya.
Pihak berwenang mengatakan, mereka berencana untuk menutup pusat penahanan Pulau Manus pada akhir Oktober.
“Itu bukan satu bab cerita yang setelah selesai dapat anda tutup begitu saja lalu semuanya menjadi sejarah,” kata Jawad.
"Australia membuat sejarah kekejaman … dan orang-orang akan mengingat hal ini."
Sejauh ini, hanya 54 pengungsi dari Papua Nugini dan Nauru yang telah menetap di AS.
Abdul mengatakan, ia masih berhubungan dengan banyak temannya di Pulau Manus, dan mereka mengatakan kondisinya semakin memburuk.
“Saya sangat senang saat ini, tapi kebahagiaan saya tidak lengkap sampai semua teman saya keluar dari sana dan merasa bebas dan bermukim di manapun mereka mau dan saya pikir itu akan menjadi hari bahagia saya yang lengkap,” ujar Abdul.