ABC

Lily Yulianti Penggerak Sastra Jarak Jauh

Memulai profesi sebagai wartawan, Lily Yulianti asal Makassar, Sulawesi Selatan, baru saja menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Melbourne. Sekarang dikenal juga sebagai penulis, dan penggerak kegiatan sastra, Lily baru-baru ini terpilih untuk mendapatkan penghargaan Leadership Award dari Universitas Melbourne, atas kontribusinya di bidang pengembangan organisasi dan kemasyarakatan di bidang media dan komunikasi di Indonesia dan Australia.

Selama lima tahun terakhir, walau sibuk menyelesaikan disertasinya di Fakultas Seni dan Budaya di Universitas Melbourne, Lily Yulianti masih juga disibukkan dengan antara lain menyelenggarakan Festival Penulis Internasional Makassar yang sudah diselenggarakan untuk tahun ketujuh.

Lily Yulianti memulai karir bekerja di Harian Kompas di Indonesia, sebelum melanjutkan pendidikan di Melbourne dan bekerja di Radio Australia dan kemudian bergabung Radio NHK.

Berikut perbincangan Lily Yulianti yang sekarang tinggal di Melbourne dengan wartawan ABC Australia Plus Indonesia, Sastra Wijaya.

Selamat dengan penghargaan yang anda dapatkan dari Universitas Melbourne sebagai lulusan di kategori kepemimpinan? Apakah anda terkejut mendapatkan penghargaan tersebut?

Ya tentu saja saya terkejut. Saya tahu bahwa Fakultas Seni di Uni Melbourne merupakan salah satu fakultas terbesar di sana, dan saya tahu ada banyak lulusan dari sana yang sudah menjadi orang-orang yang berprestasi. Mereka sudah banyak bekerja dan memberikan kontribusi baik di Australia maupun di tempat lain. Jadi ya, ini merupakan kejutan besar bagi saya.

Anda sudah banyak terlibat dalam berbagai proyek di bidang media dan sastra, misalnya Panyingkul (mengenai citizen journalism), dan Makassar International Writers Festival. Dari mana anda mendapat inspirasi melakukan berbagai kegiatan ini?

Saya kira ini semua karena latar belakang saya. Saya masih bekerja sebagai wartawan. Saya memulai karir sebagai wartawan dan latar belakang akademis saya adalah studi gender. Jadi kombinasi kedua hal itu yang melatarbelakangi apa yang saya kerjakan selama 25 tahun terakhir.

Ketika saya masih bekerja sebagai wartawan di Indonesia, saya juga terlibat dalam organisasi perempuan, gerakan perempuan. Dalam waktu bersamaan, saya memiliki minat besar dalam sastra, menulis cerita pendek dan lainnya. Proyek seperti Panyingkul sudah mengalami evolusi selama bertahun-tahun perjalanannya.

Saya memulainya dengan beberapa orang, dan kami memperkenalkan model sumbangan tulisan dari luar (user generated content) di tahun 2005. Saya ikut dalam proyek citizen journalism terbesar di dunia, yang dimulai di Korea Selatan di tahun 2003/2004, bernama Omynews.

Saya ikut inisiatif ini ketika saya di Tokyo Jepang saat masih bekerja dengan (Radio) NHK. Saya mendapat inspirasi dari Omynews, mengadopsi modelnya dan memperkenalkan inisiatif ini kepada para penulis lain di kota kelahiran saya Makassar. Banyak orang tertarik dengan hal ini, karena merupakan hal yang baru. Karena sebelumnya, kalau kita ingin menulis di media, kita terlebih dahulu harus bekerja di media bersangkutan sebagai reporter. Namun model ini memberikan kesempatan kepada semua orang untuk belajar dasar jurnalisme dan kemudian menulis.

Bagaimana dengan keterlibatan anda di Makassar International Writers Festival (MIWF)?

Saya masih ingat festival ini dimulai di tahun 2011. Kami mengundang 7 penulis internasional dan 12 penulis nasional, dan kami melakukan perjalanan ke daerah pantai Makasar unutk memperkenalkan para penulis kepada mereka yang tinggal di daerah pinggir pantai.

Festival ini unik karena kami membawa para penulis ini bertemu dengan masyarakat. Biasanya festival dilangsungkan dimana penulis akan membacakan karya mereka, kita akan mengundang pengunjung untuk berinteraksi dengan mereka.

Kami mempertahankan konsep yang unik ini. Kami mengundang sejumlah kecil penulis untuk datang ke Makassar setiap tahunnya.

Sekarang festival sudah berlangsung selama enam tahun, dan beberapa penulis mengatakan mereka ingin membawa ide baru ke dalam festival untuk mengadakan lebih banyak kolabolasi. Sekarang tahun ini kami mengundang 60 penulis. Tidak saja penulis yang datang lebih banyak, kami juga sekarang bekerjasama dengan penulis dari Jepang dan Malaysia, untuk membuat proyek kerjasama menterjemahkan karya dan lainnya.

Lily Yulianti
Foto di kegiatan MIWF 2016 Lily Yulianti (tengah) bersama penulis M. Aan Mansyur (dua dari kiri) dan produser/sutradara film AADC2, Riri Riza (dua dari kanan) dan Mira Lesmana (kanan) dan editor Gramedia Pustaka Utama, Sisca Yunita,(kiri) merayakan terjualnya lebih dari 35.000 copy buku karya M. Aan Mansyur, Tidak Ada New York Hari Ini, yang mencatat penjualan buku puisi paling laris sepanjang sejarah di Indonesia.

Foto Koleksi Rumata’ Artspace/MIWF

Dalam pengalaman anda, apakah pada awalnya susah untuk mendorong para penulis muda untuk berkontribusi dalam kegiatan ini?

Kalau berbicara mengenai penulis yang diundang menghadiri Festival Penulis Makasar, sejauh ini saya tidak mengalami masalah.

Saya kira masalah sulit ketika kita menyelenggarakan sebuah festival adalah kita harus meenjermahkan semua ide di kepala kita dengan pertimbangan anggaran, kita harus mencari sponsor, mitra untuk berkolaborasi.

Karena saya mempersiapkan festival ini keitka saya sedang melanjutkan pendidikan dan sekarang tinggal di Melbourne, saya melihat semuanya lewat kaca mata berbeda dibandingkan pekerja lain yang berada di Makassar.

Kepuasaan terbesar apa yang anda dapatkan dari keterlibatan dengan berbagai proyek ini?

Proyek Panyingku adalah proyek yang berjalan selama lima tahun dan sekarang sudah selesai. Sekarang sudah ada alumniya, karena kami memberikan beasiswa untuk 7 orang citizen reporter setiap tahunnya, selama proyek ini berlangsung.

Mereka sekarang hidup di masyarakat dengan berbagai kegiatan masing-masing, ada yang bekerja, atau punya bisnis sendiri, namun juga masih melakuikan kegiatan menulis.

Kepuasan terbesar adalah mengetahui bahwa ada begitu banyak orang yang sebenarnya ingin membantu kegiatan yang kami lakukan.

Lewat Festival Penulis Internasional Makassar dan Rumata Art Space, saya sekarang bangga sebagai orang yang selalu ingin bekerja sama dengan orang-orang yang berasal dari kota kelahiran saya Makassar.

Saya sekarang sudah punya jaringan, saya sudah mengenal banyak orang di sana, bukan sekedar kenal. Sebagai orang yang tinggal jauh dari kota kelahiran, sering kali kalau kita pulang, yang kita lakukan adalah bertemu keluarga dan teman-teman dari masa kecil dan pembicaraan biasanya bersifat nostalgia mengenang masa lalu.

Sekarang dengan jaringan yang sudah ada, saya bertemu dengan mereka yang pernah menjalin kerjasama pembicaraan tidak lagi bersifat menoleh ke belakang. Kami berbicara mengenai apa proyek berikutnya, apa yang akan kita lakukan lagi, hal-hal seperti itu.

Di Rumata Art Space Proyek, kami sudah bekerjsama dengan ratusan anak-anak muda, mereka adalah relawan. Di proyek ini kami bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri Indonesia yang setiap tahunnya menyelenggarakan program belajar bagi 12 siswa dari 12 negara untuk belajar bahasa Indonesia.

Rumata Art Space menjadi mitra lokal di Makasar bagi pembuat film muda asal Indonesia Timur. Tentu saja ada Festival Penulis Internasional Makassar. jadi setiap kali saya kembali ke Makassar, saya selalu merasa mendapat energi baru, semangat untuk bisa berinteraksi dengan anak-anak muda di sana. Memberikan sesuatu kembali untuk kota kelahiran kita selalu membuat saya merasa bangga dengan apa yang saya lakukan.

Anda baru saja kembali dari menyelenggarakan Makassar International Writers Festival, bagaimana perkembangannya sejauh ini?

Perkembangannya bagus sekali. Dari sisi jumlah yang hadir, meningkat. Tahun ini sekitar 8 ribu orang hadir. Tahun ini kami memperkenalkan tema baru “Baca’ sehingga makin banyak orang yang bisa merasakan dan mengetahui betapa pentingnya kebiasaan membaca bagi kita semua, apa tantangan yang kita hadapi, apa yang akan bisa kita capai bila kita bekerjasama. Salah satu kegiatan yang berkesan adalah Pustaka Bergerak Indonesia.

Kami memulai dengan Perahu Pustaka (Library Boat) di tahun 2015. Pada awalnya adalah inisiatif kecil dimana ada seorang teman yang memiliki perahu. Jadi dia meminta sumbangan buku, dan dengan perahu tersebut membawa buku-buku ke masyarakat yang tinggal di Sulawesi Barat, ke pulau-pulau kecil dan kawasan pantai.

Mereka membawa perahu berisi pengetahuan (buku) yang menurut saya adalah ide yang bagus sekali. Perpustakaan Berjalan saya kira adalah konsep yang bagus untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Bila kita membangun perpustakaan dan mengharapkan anak-anak muda untuk mendatangi perpustakaan, mungkin hasilnya tidak akan luar biasa. Jadi kita harus membuat perpustakaan ini berjalan, mendekati warga, khususnya anak-anak dan keluarga di pulau-pulau terpencil yang akan menyambut baik. Jadi saya mengundang mereka untuk hadir di festival dan memperkenalkan mereka ke pengunjung. Media lokal dan internasional yang datang ke Makassar kemudian memberitakan inisiatif ini.

Saya hampir kehilangan kata-kata ketika melihat bahwa inisiatif kecil ini memiliki dampak besar. Kita ternyata sebagai warga biasa bisa berarti banyak ketika satu atau dua buku yang kita sumbangkan bila membuat perbedaan besar bagi anak-anak yang tinggal di pulau terpencil.

Secara pribadi, bagaimana anda melihat ke masa depan, setelah anda menyelesaikan PhD?

Saya sekarang terlibat dalam dua proyek penterjemahan yang keduanya merupakan proyek besar. yang pertama buku yang diterbitkan di Jerman dan edisi bahasa Inggrisnya diterbutkan tahun lalu. Ini proyek pribadi saya.

Yang kedua adalah buku mengenai hubungan antara Indonesia dan Australia, buku yang bercerita mengenai para lulusan Indonesia setelah mereka menyelesaikan pendidikan di Australia. Juga dalam waktu bersamaan, saya ingin menyelesaikan novel pertama saya.

Jadi tahun ini saya ingin agar itu selesai. jadi sekarang terlibat dalam dua proyek penterjemahan dan penulisan novel. Tesis saya adalah mengenai gender, media dan politik. Saya juga bermaksud menerbitkan manuskrip dari tesis saya tersebut di Indonesia.

Anda bekerja dengan kata-kata. Itu adalah alat. Apakah anda melihat sekarang tulisan sudah kehilangan kekuatannya dengan sosial media semakin berpengaruh dalam cara kita semua berkomunikasi ?

Saya adalah pengguna aktif sosial media dan selalu melakukan eksperimen dengan sosial media. Di MIWF 2016 kami menjalin kerjasama resmi dengan Twitter Indonesia (Twitter adalah salah satu sponsor utama) untuk memperkenalkan #puitwit : kompetisi online dimana kami meminta netizens membuat puisi menggunakan Twitter.

Kompetisi dilangsungkan selama festival, dan setiap hari dua penyair terkenal Indonesia Joko Pinurbo dan M. Aan Mansyur memilih lima #puitwit terbaik dan di malam penutupan, kami mengumumkan pemenangnya.

Eksperimen ini mendekatkan orang pada kegiatan menulis puisi. Di tahun 2012, dengan tim, kami juga memperkenalkan #LiTWEETrature dimana kami memulai pembicaraan online mengenai buku, kebiasaan membaca, cara menulis dan laporan langsung dari kegiatan festival, dan live tweet yang kami siarkan di panggung setiap malam.

Di tahun 2015, kami meluncurkan kompetisi membaca sekeluarga di Facebook selama festival, dimana keluarga-keluarga muda bercerita mengenai kegiatan membaca di dalam keluarga, ditambah dengan kajian pendek mengenai buku apa yang mereka baca.

Anda sekarang tinggal di Australia. Anda sudah terlibat dalam beberapa proyek di Australia, apakah anda memiliki proyek yang sama di Australia?

Di Australia saya terlibat dalam hubungan antara Indonesia dan Australia di bidang seni dan budaya. Saya sedang membantu Australia Indoesia Center dalam proyek bernama ReelOzId, saya juga adalah salah satu anggota tim pengawas dalam proyek AIC kompetisi film pendek. Tahun depan, saya mengorganisir perjalanan ke Australia bagi para penenun tradisional Indionesia.