ABC

LGBT Indonesia Bebas Ekspresikan Diri di Australia Lewat Mardi Gras

Komunitas LGBT asal Indonesia di Australia mengekspresikan diri lewat parade Mardi Gras dan menjadi drag queen, sebuah hal yang sulit terjadi di Indonesia.

Dimas Rezki Adiputra lahir di Kalimantan dan tumbuh di Yogyakarta, kota yang dianggap progresif menurut standar Indonesia, namun di sana ia tetap harus menyembunyikan seksualitasnya.

Dia datang ke Melbourne pada tahun 2015 dan menemukan di Australia ia tidak perlu menyembunyikan jati dirinya.

Setelah tujuh bulan di Melbourne, seorang teman menyarankannya pindah ke Broome bila ingin mendapat kesempatan lebih besar menjadi penduduk permanen Australia.

Broome adalah kota kecil destinasi wisata yang berlokasi sekitar 2.240 kilometer di utara Perth, Australia Barat yang terkenal sebagai penghasil mutiara.

Di Broome, terdapat Cable Beach yang dinamai karena di sana terdapat kabel telegraf yang menghubungkan Australia dengan Indonesia dan dunia.

Dimas mendapatkan pekerjaan sebagai manajer restauran di Broome dan mengantongi temporary shortage skill visa atau yang juga dikenal sebagai visa subclass 482, dan tahun depan ia akan mengajukan permohonan izin tinggal permenanen.

Rizki pindah ke Broome pada 2016, setahun setelah komunitas lesbian, gay biseksual dan transgender (LGBT) Broome mulai merayakan Mardi Gras pada akhir pekan yang sama dengan di Sydney.

Drag queen Som Ting Wong
Dimas Adiputra berdandan sebagai persona drag Som Ting Wong.

ABC Kimberley: Ben Collins

Di Broome Rizki mengenal drag yang berasal dari kata dressed as a girl, sebuah seni pertunjukan kabaret yang menampilkan pria berdandan hiperfeminin untuk efek lucu atau dramatis.

Meski pemahaman umum mengasosiasikan drag sebagai pertunjukan oleh transpuan, pada prinsip awalnya pelakon drag adalah pria, apapun orientasi seksualnya.

Di Indonesia pertunjukan kabaret yang telah berlangsung lama adalah yang digelar oleh House of Raminten di Hamzah Batik (dulu Mirota Batik) di Yogyakarta.

“Awalnya saya mau diajak untuk merasakan keseruannya, berdandan,” kata Rizki kepada Alfred Ginting dari ABC Indonesia.

Ketika naik panggung Rizki menjadi persona bernama Sum Ting Wong.

“Seorang gay dari Indonesia tinggal di kota kecil seperti Broome, pakai make-up, pakai wig, mengenakan gaun, dan menjadi drag queen. Pasti ada yang salah (something wrong),” kata Rizki.

Pada tahun 2018, Sum Ting Wong terpilih sebagai Kimberley Queen, ajang pemilihan ratu drag.

Selain menikmati seni tari, Rizki menemukan menjadi drag queen membuat dia sangat diterima di Broome.

“Menjadi drag queen membantu saya menjadi diri sendiri, menjadi orang yang saya inginkan. Kota ini membuat saya bahagia,” katanya.

Komunitas Indonesia di Mardi Gras Sydney

Mardi Gras di Sydney adalah parade komunitas LGBT terbesar di Australia yang digelar tiap bulan Maret.

Sudah tiga tahun terakhir Selamat Datang, komunitas LGBTQI asal Indonesia dan simpatisannya berpartisipasi dalam parade Mardi Gras.

Pada Mardi Gras 2019, Selamat Datang menjadi satu dari tiga yang terpilih sebagai community float (kelompok parade) yang mendapat bantuan dari penyelenggara.

“Tahun lalu dan dua tahun lalu, peserta float Indonesia sekitar 40 orang, tahun ini kami diberi kesempatan lebih besar menjadi 70 orang,” kata Gerhana Bella, seorang aktivis Selamat Datang.

Gerhana Bella di Mardi Gras Sydney
Gerhana Bella (kanan) dan teman-temannya bersama tokoh Partai Buruh Australia Tanya Plibersek (kedua dari kiri) pada Mardi Gras Sydney, 3 Maret 2019.

Menurut Bella, Selamat Datang bukan lah gerakan politik yang ingin membawa agenda LGBTQI ke arus utama.

“Kami ingin membantu kelompok LGBTQI supaya bisa lebih mandiri dan berkontribusi di masyarakat,” kata Bella.

Program yang dijalankan Selamatan Datang antara lain kampanye HIV-AIDS di Bali bekerja sama dengan Gaya Dewata dan Pelangi dan penanggulangan sampah di Singaraja, Bali Utara.

Bila tahun 2019 Selamat Datang membawa tema Bali dalam kostum, tahun depan kelompok ini akan mempromosikan tema Dayak.

Memecah stigma tentang LGBT

Salah satu peserta parade Mardi Gras Sydney yang berpartisipasi pada tahun 2018 dan 2019 adalah Arif Rahman Nur, yang datang ke Australia pada tahun 2016 dengan work and holiday visa (WHV).

Arif yang ingin mengganti namanya secara resmi menjadi Paul Powa mengatakan ia memang ingin tinggal di luar Indonesia karena faktor keluarga yang masih belum bisa menerima pilihan orientasi seksualnya.

“Saya ditendang dari keluarga tahun 2017, ketika keluarga mengetahui saya gay dari orang lain,” kata Arif yang lahir dan besar di Padang, Sumatera Barat.

“Sampai sekarang keluarga saya belum menerima, meski saya sudah mulai berkomunikasi lagi dengan mereka.”

Paul memang telah lama ingin tinggal di luar negeri dan kesempatan tersedia di Australia yang membuka kesempatan untuk WHV bagi orang Indonesia yang belum berusia 30 tahun.

Setelah dua tahun dengan WHV, Paul yang kelahiran tahun 1992 menempuh pendidikan diploma early childhood education sejak Januari 2019.

Tiga bulan sebelumnya ia mendapat pekerjaan sebagai staf kasual di layanan pengasuhan anak (child care).

Paul Powa bekerja di child care
Paul Powa bekerja di child care.

Profesi staf child care bisa menjadi jalur Paul untuk mendapatkan izin tinggal permanen, selain dia sangat berminat dalam pendidikan anak usia dini.

Bagi Paul, memiliki pekerjaan yang baik atau berkarya adalah bagian dari usaha untuk membuat orang lebih menerima eksistensi kaum LGBTQ.

Paul sangat ingin meniti karir di Australia untuk memecah stigma bila pria gay asal Indonesia dianggap berorientasi mencari pasangan warga atau yang residen permanen Australia.

“Memang ada yang mencari kemapanan. Silakan jalani saja prinsip masing-masing,” kata Paul.

Paul juga ingin memecahkan stereotype dalam hubungan gay ada yang mengambil posisi seolah-olah sebagai perempuan.

“Sering ada pertanyaan bahkan dari gay sendiri, siapa yang jadi perempuannya? Siapa yang masak di rumah? Menjadi gay seolah-olah salah satu harus jadi ibu rumah tangga yang baik,” kata Paul.

“Saya menentang itu. Komunitas LGBTQ sering menuntut kesetaraan, tapi kenapa harus menyamakan diri seperti hubungan orang heteroseksual. Bahkan dalam rumah tangga, suami istri pun bisa sama-sama melakukan pekerjaan domestik.”

Relasi gay tidak melulu seksual

Adhi Sappareng, asal Sulawesi Selatan ikut berpartisipasi pada float komunitas Selamat Datang pada Mardi Gras Sydney 2019 karena ingin bersenang-senang.

“Saya ikut untuk fun saja, seru-seruan dengan teman. Karena di Indonesia kita tidak bisa mengalami hal seperti itu,” kata Adhi.

Adhi Sappareng Mardi Gras
Adhi Sappareng (kelima dari kiri) bersama teman-temannya yang berpartisipasi pada Mardi Gras Sydney 2019.

Adhi cukup terbuka tentang kehidupannya sebagai gay di media sosial namun belum membuka soal itu kepada keluarganya.

“Selama masih ada ibu saya, tidak akan mungkin terbuka saya. Susah, saya tidak mau dia jadi sedih dan berlarut-larut,” kata Adhi yang datang ke Australia pada tahun 2015 dengan visa bekerja dan berlibur (WHV).

Saat ini Adhi mengantungi visa pelajar karena sedang belajar commercial cookery sampai tahun 2022.

Setelah lulus sekolahnya ia berencana mengambil visa subclass 485 yang memungkinkan dirinya tetap di Australia sampai dua tahun, hingga tahun 2024 dan kembali ke Indonesia.

“Sepuluh tahun di Australia cukup. Saya memang sejak awal tidak punya keinginan menetap permanen di Australia,” kata Adhi.

“Banyak orang berpikir sebagai gay, pasti di Australia lebih enak kalau ingin mencari pasangan orang kaukasia. Tapi saya tidak mencar itu. Mungkin saya ini produk LGBT yang gagal,” kata Adhi sambil tertawa.

Adhi mengatakan, persepsi umum lainnya memandang relasi gay adalah semata-mata seksual.

“Mungkin 99 persen hubungan gay adalah tentang seksual. Tapi saya tidak tertarik lagi dengan itu,” kata Adhi.

“Sekarang saya lebih senang mencari teman, bergaul di komunitas yang kecil. Mungkin karena dulu di Indonesia saya pernah menjalani orientasi yang sangat seksual, mencari pasangan seperti makan obat tiga kali sehari.”