ABC

Lapas di Pulau Terluar Tak Selesaikan Masalah Napi Korupsi di Indonesia

Tertangkapnya Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin, Wahid Husen, dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin membuat fasilitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk narapidana (napi) korupsi jadi sorotan.

Pemerintah Indonesia sendiri ke depannya berencana untuk memindahkan lapas bagi napi korupsi ke beberapa pulau terluar, langkah yang justru dianggap tidak efektif oleh beberapa pihak.

Hari Sabtu (21/7/2018), KPK melakukan OTT di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, dan menangkap Kalapas Wahid Husen serta beberapa orang lainnya terkait kasus suap jual-beli fasilitas napi korupsi di Lapas tersebut. 

Penangkapan itu membuat perlakuan khusus terhadap napi korupsi, termasuk keberadaan Lapas khusus napi korupsi kembali dipersoalkan.

Sebagai kelompok yang selama ini lantang menyoroti kasus korupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai keberadaan Lapas khusus napi korupsi seperti Sukamiskin seharusnya ditiadakan.

“Kalau ide kami sebaiknya Lapas tipikor dihapuskan. Jadi dia harus menyatu dengan kasus kriminal yang lain. Ini (Lapas tipikor) kan menimbulkan ketidakadilan ya, bagaimana perlakuan negara ini terhadap koruptor yang luar biasa ya,” jelas Emerson Yuntho dari ICW.

Ia lalu menjelaskan, kondisi satu sel satu orang yang berlaku di Lapas Sukamiskin menimbulkan diskriminasi terhadap tindak pidana lain.

“Di kasus kriminal lain, di penjara lain, itu satu sel satu lusin (napi). Ini menimbulkan kecemburuan dan pada akhirnya menimbulkan efek tidak jera pada pelakunya.”

Emerson Yuntho
Emerson Yuntho

Supplied

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan Lapas baru bagi napi korupsi di beberapa pulau terluar negara ini.

Seperti yang diberitakan Detik.com pada Senin (23/7/2018), Menteri Koorinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Indonesia, Wiranto, mengatakan Pemerintah sudah memilih beberapa pulau terluar untuk menampung para pelaku kriminal seperti napi korupsi.

“Kita juga sudah memilih beberapa pulau terluar, tidak terlalu di luar juga, untuk kira-kira kemungkinan ya untuk memindahkan para penindak kriminal.”

“Orang-orang yang terlibat narkoba, koruptor, terorisme, itu untuk masuk ke lapas khusus seperti itu,” kata Menko Polhukam di Jakarta.

Pulau terluar yang dimaksud adalah 6.000 pulau kecil yang belum dihuni.

Sementara itu, pembangunan Lapas di pulau terluar juga disebut Wiranto sebagai solusi bagi Lapas Indonesia yang kelebihan penghuni.

“Dari 6.000 pulau masak nggak ada sih untuk bisa kita bangun satu lapas, sedang Nusakambangan sendiri masih longgar sebenarnya andai kita bangun di sana.” kata Wiranto.

“Dan pemerintah sudah memutuskan untuk paling tidak bangun tiga lapas lagi di lokasi Nusakambangan untuk menampung lapas yang sekarang overkapasitas, terutama para terpidana yang berhubungan dengan masalah terorisme, narkoba, juga korupsi,”

Menanggapi rencana pemindahan napi korupsi ke pulau terluar, ICW memandang hal itu tak akan menyelesaikan permasalahan.

“Pertanyaannya kalau ada Lapas di pulau terluar tapi tidak ada pembenahan, ya nantinya kejadian yang sama akan terulang tuh.”

“Mereka ditaruh di pulau terluar tapi petugasnya, Kalapas-nya masih bisa disuap,” ujar Emerson.

“Yang ngontrol ke sana siapa?susah kan?. Sepanjang korupsi di lembaga pemasyarakatan nggak dibenahi, ditempatin di mana aja pun susah,” imbuhnya.

Lebih lanjut ia mencontohkan kasus di Lapas Bojonegoro, Jawa Timur, sekitar 6 tahun lalu sebagai dampak lemahnya pengawasan terhadap Lapas.

“Jadi ada tuh joki narapidana. Jadi yang dihukum siapa yang menjalani siapa,” kata Emerson merujuk kasus pengacara yang terlibat pertukaran napi.

Leopold Sudaryono meneliti lapas Indonesia untuk program doktoralnya.
Leopold Sudaryono meneliti lapas Indonesia untuk program doktoralnya.

Supplied

Pandangan serupa juga disampaikan Leopold Sudaryono, kandidat Doktor Kriminologi di Universitas Nasional Australia (ANU), Canberra.

Kepada ABC ia mengatakan, jika napi korupsi benar dipindahkan ke pulau terluar maka hal itu akan memberi ruang pada longgarnya pengawasan.

“Lebih mudah dikontrol di Sukamiskin, wartawan bisa melihat, kalau di pulau terluar bagaimana masyarakat bisa mengontrol di sana? justru malah kontraproduktif,” katanya.

Leopold menjelaskan, masyarakat harus memahami karakter napi korupsi yang berbeda dengan napi lain dan mengapa suap-menyuap di Lapas tipikor bisa berlangsung.

“Saya kira ada dua hal, menahan napi tipikor yang punya kekuatan politik, punya kemampuan finansial dan pengaruh itu tidak mudah.”

“Kita nahan maling itu gampang, mereka nggak bisa ngelawan. Mereka nggak bisa memengaruhi kita.”

Sebaliknya, menahan koruptor yang mayoritas berkecukupan, lebih pintar, lebih berpengaruh dari lingkungan Lapas, hal itu tidaklah mudah.

“Karena kemudian pengaruh dan semua sumber dayanya selalu ikut dan akan memengaruhi Lapas.”

“Apalagi kondisi Lapas jelek sekali. Misalnya uang makan itu per hari per orang (napi) 15.000 Rupiah. Akhirnya yang terjadi mereka mengandalkan sendiri untuk mengatasi derita itu.”

Ia lalu mengilustrasikan ihwal transaksi imbal-balik di dalam Lapas.

“Kita menahan orang yang luar biasa berpengaruh di sisi lain kondisi tahanan itu luar biasa buruknya, sehingga yang terjadi kemudian adalah orang yang luar biasa berpengaruh ini memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya.”

“Kemudian setelah terpenuhi lalu naik, dari hal dasar kemudian ke soal kenyamanan. Napi (napi) tipikor ini juga cukup pintar untuk menawarkan fasilitas-fasilitas lain ke kepala Lapas.”

Mengandalkan sistem pemenjaraan

Leopold berpendapat, pasca reformasi, Indonesia dinilainya terlalu mengandalkan sistem pemenjaraan untuk mengontrol masyarakat.

Hal ini kemudian berdampak pada kapasitas penjara yang penuh sesak.

“Setelah reformasi banyak tindak pidana administratif-pun ancamannya juga penjara. Jadi ini kemudian menyebabkan penjara penuh. Sebanyak 98 persen dari tindak pidana itu ditahan, meskipun misalnya kerugiannya itu rendah. “

Dalam penelitiannya, Leopold menemukan bahwa kejahatan nomor dua yang paling banyak dipidanakan adalah perjudian.

“Jadi rata-rata barang buktinya hanya lima puluh ribu, seratus ribu, orang-orang yang judi di jalan, di warung kopi, atau bahkan di rumah.”

Ia lantas mengusulkan bentuk hukuman lain untuk mengatasi sesaknya Lapas.

“Bukannya ada pemidanaan lain? Kerja sosial misalnya, itu kan menguntungkan pemerintah. Atau misalnya dikasih semacam hukuman percobaan. “

“Jadi untuk tindak pidana yang pertama mereka dalam pengawasan kemudian jika melanggar lagi baru mereka dijebloskan (ke penjara).”