ABC

Kurangnya Working Memory Bisa Tingkatkan Kemungkinan Tindakan Perkosaan

Sebuah penelitian baru mendapati bahwa laki-laki yang memiliki kemampuan rendah memproses beberapa informasi sekaligus cenderung lebih mungkin melakukan pemerkosaan.

Penelitian ini membahas hubungan antara kapasitas working memory dan keputusan seksual.

Kemungkinan, hasilnya bisa menjelaskan mengapa hanya sebagian laki-laki yang terangsang oleh skenario pemerkosaan benar-benar melakukan pemerkosaan dalam kehidupan nyata, jelas psikolog Amy Lykins dari University of New England, New South Wales, Australia.

Sebelum seorang laki-laki memaksa perempuan berhubungan seks, Ia harus membuat keputusan untuk melakukan hal itu meskipun pihak perempuan terus memberi tanggapan negatif.

Keputusan ini dibuat dengan cara membandingkan segi positif, seperti pemuasan keinginan seksual, dengan segi negatif, misalnya kemungkinan dihukum karena melakukan pemerkosaan.

Lykins dan rekan-rekannya meneliti peran kapasitas working memory dalam mempengaruhi bagaimana cara seorang laki-laki menimbang-nimbang konsekuensi jangka panjang dan jangka pendek tindakannya.

Kapasitas working memory menentukan jumlah informasi yang bisa kita tampung dalam otak kita dalam waktu yang sama, untuk diproses. Kapasitas ini merupakan bagian penting dari 'executive functioning', yaitu kemampuan kita menyerap informasi tentang dunia dan memproses informasi tersebut untuk membuat keputusan terbaik.

Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Archives of Sexual Behaviour, Lykins dan rekan-rekannya menilai kapasitas working memory 59 sukarelawan laki-laki, dengan cara meminta mereka melengkapi kalimat-kalimat dan mengingat kata-kata yang mereka hasilkan.

Selain itu, mereka meneliti tingkat keterangsangan laki-laki saat mereka ditunjukkan gambar hubungan seksual yang konsensual (kedua pihak bersedia) dan tidak konsensual.

Sebagai cara mengukur keterangsangan, Lykins dan rekan-rekan mengukur perubahan aktivitas listrik di kulit peserta.

Mereka juga mengukur berapa lama partisipan melihat masing-masing gambar.

Selain itu, para peneliti memutarkan skenario di mana seorang laki-laki memaksa perempuan, meskipun sang perempuan terus berkata 'tidak.'

Setelah mendengarkan skenario, para partisipan diberi naskah dengan dialog yang diberi nomor. Mereka diminta menunjukkan di nomor berapa kah laki-laki Australia rata-rata akan menghentikan tindakan memaksa.

Menurut Lykins, cara ini lebih akurat dalam menyelidiki pandangan partisipan, ketimbang menanyakan kapan mereka sendiri akan berhenti.

Para peneliti mendapati bahwa partisipan yang terangsang oleh gambar-gambar yang tidak konsensual dan mereka yang melihat gambar-gambar dalam waktu yang lebih lama rata-rata menyebut titik berhenti yang lebih jauh dalam skenario, ketimbang mereka yang tidak terangsang.

Namun, saat dilihat lebih dekat, partisipan yang berhenti di titik yang lebih jauh adalah mereka yang memiliki kapasitas working memory yang rendah hingga sedang.

"Ukuran kapasitas working memory kita memang memiliki efek memoderasi dalam hubungan antara seberapa terangsang mereka dan titik berhenti," jelas Lykins.

Selain itu, mereka yang terlihat sangat terangsang akibat gambar-gambar non-konsensual tapi memiliki kapasitas working memory tinggi berhenti di titik yang sama dengan mereka yang tidak terlalu terangsang akibat gambar-gambar tersebut.

Menurut Lykin, salah satu batasan penelitian ini adalah tidak diukurnya keterangsangan seksual secara langsung.

Ia menyatakan bahwa studi ini adalah yang pertama meneliti tentang faktor-faktor kognitif dalam pembuatan keputusan seksual.