ABC

Kunjungi Korut, Pensiunan Guru Australia Ini Terkesan Keramahan Warganya

Mengunjungi Korea Utara bukanlah sesuatu yang banyak dilakukan atau bahkan mungkin ingin dilakukan warga Tasmania, tapi ketika pensiunan guru, Maureen Ling, mendapat kesempatan, ia sangat bersemangat untuk memiliki pengalaman baru.

"Anda harus belajar banyak hal, Anda tak boleh menjadi dinosaurus," kata Maureen.

Ketika ia pensiun, Maureen memutuskan, apa yang benar-benar ingin ia lakukan adalah mengunjungi banyak tempat yang tak biasa dan semenarik mungkin, tapi Korea Utara tadinya tak masuk dalam daftar.

"Saya tak berencana pergi ke Korea Utara. Saya hanya mendengar sedikit tentang Korea Utara dan biasanya negatif. Saya ingin mencari tahu sendiri," tuturnya.

Dengan perkiraan diusir dari negara tiran itu, Maureen meninggalkan Australia penuh kegembiraan akan pengalaman baru yang akan ia temui.

Bukan hal yang mudah dan cepat untuk melakukan perjalanan ke Korea Utara, tetapi ada operator tur resmi bagi warga Australia untuk mengunjungi negara itu.

Perencanaan bisa memakan waktu hingga satu tahun dan Anda harus melakukan perjalanan dalam grup yang terkontrol.

"Anda harus meminta izin untuk jadwal kedatangan yang harus disetujui oleh cabang dari Pemerintah Korea Utara. Ada banyak pembatasan juga," cerita Maureen.

Di antara aturan yang ia temui adalah daftar mengenai hal-hal apa yang tak boleh dipotret pengunjung, termasuk tentara, situs konstruksi dan kendaraan militer.

Lapangan Kim Il-sung ramai dengan anak-anak yang memraktekkan perayaan Hari Nasional. (Foto: Maureen Ling)
Lapangan Kim Il-sung ramai dengan anak-anak yang memraktekkan perayaan Hari Nasional. (Foto: Maureen Ling)

Anehnya, foto dari zona demiliterisasi dan kereta bawah tanah bisa diterima.

Di kereta dari Beijing ke Korea Utara, Maureen tak mendapati satu bule-pun seperti dirinya.

"Kebanyakan wisatawan yang masuk ke Korea Utara berasal dari China – 90% lebih," ujarnya.

Di perbatasan, toilet kereta dikunci dan tak ada seorang pun yang diizinkan untuk turun, sementara petugas perbatasan menghabiskan dua jam memeriksa pengunjung.

"Mereka memeriksa laptop, ponsel dan mereka memeriksa symbol-simbol agama. Saya sama sekali tak merasa tak nyaman, mereka ramah, sangat profesional – saya tak merasa tak diinginkan," kisahnya.

Setelah kereta diberi izin melanjutkan perjalanan, Maureen dan kelompok tur-nya mengarah ke Pyongyang ke hotel yang ditunjuk untuk wisatawan.

"Ada banyak kendaraan pemerintah, sepeda, kendaraan militer – tak banyak orang dan tak ada mobil pribadi," urainya.

Terlepas dari kenyataan bahwa hotel itu hanya berjarak sekitar 150 meter dari stasiun kereta api, Maureen dan kelompoknya masih diharuskan untuk naik bus yang ditunjuk khusus dan berkeliling di sekitar blok menuju akomodasi mereka.

"Kami semua sadar bahwa kami berada di sebuah negara yang sangat tak biasa," ungkap Maureen.

Mengamati bangunan model-Stalin dan sejumlah poster bergambar pemimpin Korea Utara, sejumlah turis Australia masuk ke hotel mereka dan diantar ke lantai 26.

"Kami memang melihat kelompok tur Inggris tetapi mereka berada di lantai yang berbeda," kata Maureen, sembari menjelaskan bahwa masing-masing wisatawan ditempatkan sesuai kelompok mereka.

Walau udara di Pyongyang mungkin tak sebersih yang dirasakan warga Australia, atau mungkin tak terlalu tercemar seperti tetangganya, China, terlepas dari kehadiran pembangkit listrik tenaga batubara yang sangat besar di pinggiran kota.

"Tak ada grafiti, tak ada sampah, tak ada sampah di mana-mana," aku Maureen.

Salah satu ciri utama kota itu adalah jumlah gedung yang sedang dibangun.

"Ada banyak crane," sebut Maureen, sambil menambahkan bahwa jalanan di sana semuanya dalam kondisi baik.

Selama kunjungannya ke Korea Utara, salah satu yang menarik bagi Maureen adalah kesempatan untuk mengunjungi sekolah di sana.

"Anak-anak ingin tahu dari mana kami berasal. Sebagai seorang mantan guru, hal itu membuat saya menggambar peta Australia dan Tasmania di papan tulis, tak ada bola dunia, tak ada peta di ruangan kelas,” ungkapnya.

Ia menambahkan, "Saya bertanya-tanya, seberapa jauh pengetahuan yang dimiliki anak-anak ini tentang dunia luar, setahu saya kurikulum mereka sangat dikontrol."

Hal menarik lainnya adalah kunjungan ke zona demiliterisasi, perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan.

"Tak ada tentara Korea Selatan di depan mata, tak ada satupun. Ada beberapa tentara Korea Utara berdiri di sekitar area, tetapi sebagai salah satu batas terakhir Perang Dingin, tempat ini anehnya terlihat damai dan tenang," aku Maureen.

Soal makanan, acar kubis, sup dan nasi adalah menu yang paling umum disajikan dengan hanya sedikit daging yang muncul selama kunjungan.

Mungkin satu-satunya penyesalan Mauren selama di Korea Utara adalah fakta bahwa turis tidak dapat berbaur secara bebas dengan penduduk.

Walau pembatasan tersebut tak mengejutkan, Maureen masih percaya bahwa manusia tetaplah manusia.

"Mereka sangat nasionalistik, mereka mencintai negara mereka, tapi mereka tak pernah tak ramah kepada kami," sebutnya.