Kuliah PhD di Monash, Sastrawan Perjuangkan Kesetaraan Perawat dan Dokter di Indonesia
Salah satu mahasiswa Indonesia penerima Allison Sudrajat Prize 2017 yang diserahkan Menlu Julie Bishop akhir Maret lalu, adalah Sastrawan, mahasiswa PhD pada School of Nursing and Midwifery, Monash University di Melbourne.
Dalam riset doktoratnya, dia akan membangun teori integritas personal perawat di Indonesia dengan menggunakan pendekatan Constructivist Grounded Theory dalam tradisi symbolic interactionism. Penelitian ini dibimbing oleh Assoc. Professor Jennifer Newton dan Dr. Georgina Willetts.
Melalui riset tersebut, peraih gelar Master of Health Administration dari Curtin University di Perth tahun 2007 ini bertekad untuk meningkatkan integritas kalangan perawat dan bidan agar profesi tersebut sejajar dengan profesi kedokteran.
Berikut perbincangan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Qamarul Huda, Lombok Tengah, ini dengan wartawan ABC Farid M. Ibrahim.
Bisa diceritakan bagaimana Anda bisa mendapatkan Allison Sudradjad Prize 2017?
Sejujurnya saya sendiri tidak tahu akan mendapatkan Allison Sudradjat Prize (ASP) yang merupakan penghargaan prestisius dan bergengsi.
Pada tahun 2015 saya mengirim aplikasi scholarship kepada Australia Award Indonesia dengan melampirkan semua persyaratan, termasuk CV dan rencana proyek riset doktoral di perguruan tinggi pilihan di Australia.
Saya melewati proses seleksi ketat, termasuk interview dan keharusan mempresentasikan proposal penelitian di depan panelis dari Australia dan Indonesia. Pada saat itu saya tidak pernah berfikir sedikit pun tentang ASP dan hanya fokus mempresentasikan ide saya sebaik-baiknya.
Saya menduga pertimbangan untuk ASP ini didasarkan atas rekomendasi panelis setelah masa seleksi. Saya berterima kasih kepada Australia Award dan juga pemerintah Indonesia atas dukungannya kepada saya dan rekan-rekan mahasiswa lainnya.
Mengapa Anda meneliti, bahkan sampai ke tahap PhD, bidang keperawatan dan kebidanan terutama di wilayah Indonesia Timur?
Keperawatan dan kebidanan adalah salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan yang peranannya sangat vital. Begitu pentingnya sehingga mampu menentukan bentuk dan warna pelayanan kesehatan secara umum.
Interaksi di antara stakeholders dan tuntunan pelayanan yang tinggi serta keterbatasan sumberdaya, plus budaya, kepercayaan, nilai dan semua aspek dinamis dalam lingkungan kerja menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi superkompleks.
Saya fokus ke masalah sumberdaya manusia, dalam hal ini perawat dan bidan di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Secara statistik, perawat dan bidan adalah tenaga kesehatan terbanyak di NTB dengan angka yang mencapai 58 % dari total tenaga kesehatan yang resmi tercatat di Dinas Kesehatan NTB. Ini adalah data terbaru yang dirilis tahun lalu untuk kondisi 2015.
Gambaran ini hampir sama dengan potret nasional dimana perawat dan bidan mendominasi dan mencapai 38 % total tenaga kesehatan. Secara kasar, statistik ini memberikan informasi mengenai besarnya potensi permasalahan ketenagaan yang bisa diatasi atau yang mungkin timbul.
Dari segi proporsinya, data menunjukkan bahwa Provinsi NTB masih kekurangan perawat dan bidan. Rasio perawat dengan penduduk hanya 84 per 100.000 penduduk, masih kurang dari setengah dari target tahun 2019 yaitu 180 per 100.000 penduduk. Tenaga bidan juga masih kekurangan meskipun kondisinya tidak seserius perawat. Sampai dengan tahun 2015, rasio bidan tercatat 85 per 100.000 dari target 120 per 100.000 penduduk tahun 2019.
Saat ini Pemerintah RI memperluas akses kesehatan dengan sistem pembiayaan seperti BPJS. Apa tantangannya bagi keperawatan dan kebidanan?
Di sisi lain, akses kesehatan yang dibuka luas oleh pemerintah telah menimbulkan permasalahan tersendiri di bidang keperawatan. Sistem pembiayaan kesehatan terbaru (BPJS) telah membantu memberikan akses kepada pelayanan kesehatan yang mudah yang ditunjukkan dengan adanya kecendrungan pemanfaatan fasilitas kesehatan. Hal ini secara langsung menambah beban kerja perawat dan bidan yang sebenarnya sudah cukup berat.
Sebagai tambahan, kesadaran masyakarat akan haknya untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari tenaga kesehatan juga semakin meningkat. Ini berarti adanya peningkatan ekspektasi masyarakat sekaligus menambah tantangan dan kompleksitas pelayanan keperawatan dan kebidanan.
Sebagai profesi, keterampilan apa saja yang dibutuhkan dalam keperawatan dan kebidanan?
Dunia keperawatan dan kebidanan sangat unik dan menarik untuk dipelajari. Pelayanan keperawatan/kebidanan membutuhkan hard dan soft skill dalam komposisi yang berimbang. Perawat/bidan, seperti halnya profesi lain, dituntut untuk mampu menyediakan pelayanan secara profesional. Bedanya, pengertian ‘profesional’ dalam dunia keperawatan/kebidanan juga mengandung arti ‘personal’.
Hal ini karena perawat dan bidan bekerja dalam personal space yang berarti adanya interaksi antarindividu yang intensif dan selalu melibatkan unsur emosional. Hampir tidak mungkin untuk memisahkan antara kehidupan personal dan profesional dalam dunia keperawatan.
Pada fenomena patient-centered care, dimana pencapaian integritas seorang pasien baik secara fisik, mental, dan religi menjadi prioritas utama, perawat dituntut untuk mampu memberikan compassionate care dengan sentuhan personal-individualistik yang genuine. Tentu hal tidak mudah karena perawat sendiri, sama dengan pasiennya, adalah individu dan memiliki emosi serta kebutuhan fisik, mental, dan religi yang juga perlu diraih dan dipertahankan.
Bagaimana dengan hubungan perawat dan pasien di Indonesia?
Tidak jarang saya mendengar dan membaca keluhan perawat yang harus meninggalkan anaknya yang sedang sakit untuk merawat pasien di rumah sakit. Tidak jarang juga saya mendengar keluhan perawat yang merasa dilecehkan secara verbal oleh pasien atau keluarga pasien.
Dalam hemat saya, kondisi seperti ini dapat bersifat kontra-produktif bagi perawat. Studi keperawatan dan kebidanan di negara lain menunjukkan bahwa secara natural dunia keperawatan dan kebidanan sangat beresiko terhadap kondisi fisik dan mental perawat/bidan dan ini mempengaruhi kualitas pelayanan.
Pada tahap lanjut, tekanan dalam pekerjaan keperawatan/kebidanan dapat menimbulkan moral distress yang tidak jarang berakhir dengan pengunduran diri atau keinginan untuk keluar dari profesi ini.
Keputusan bertahan dalam kondisi moral distress dapat dipastikan akan mempengaruhi kualitas pelayanan. Studi internasional menemukan bahwa kondisi seperti ini dapat menimbulkan ‘rough care’ bagi pasien, yaitu pelayanan setengah hati atau di bawah standar yang diharapkan. Kalau sudah seperti ini, sulit bagi kita berbicara mengenai pelayanan bermutu.
Kondisi seperti ini yang jarang dipahami masyarakat umum dan sebagian pengambil keputusan karena tidak adanya publikasi khusus tentang ini. Oleh karenanya saya merasa terpanggil untuk mengeksplorasi dan melihat isu sentral dari dalam individu perawat.
Itu sebabnya Anda ingin melakukan penelitian dengan fokus pada individu perawat/bidan?
Saya berpendapat bahwa hal terbaik yang bisa dilakukan di tengah keterbatasan pemerintah merekrut tenaga perawat baru adalah memaksimalkan potensi perawat/bidan yang ada saat ini. Saya tidak berbicara tentang pemberian motivasi melalui penambahan uang insentif karena itu solusi praktis itu mudah disalahgunakan.
Saya ingin melihat lebih jauh ke arah ‘inner power’ yang dimiliki semua orang dan bersifat relatif tetap, positif, dan stabil. Saya menerjemahkan ‘inner power’ sebagai ‘integritas’ yang sangat dibutuhkan bagi semua orang pada semua profesi, tetapi menjadi penting bagi profesi yang terkait langsung dengan orang lain/masyarakat dan menyangkut nasib dan hajat hidup orang lain.
Profesi seperti perawat//bidan, dokter, lawyer, dan penegak hukum lainnya adalah contoh dari profesi yang termasuk dalam kriteria tersebut. Pada penelitian ini, saya mencoba membangun teori integritas personal perawat/bidan Indonesia dalam kaitannya dengan agensi praktis, dimana nanti hasilnya dapat dijadikan dasar ilmiah dalam penyusunan kebijakan dan bila perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia.
Saya yakin riset ini akan memberikan dampak nyata bagi Sistem Kesehatan Nasional. Perlu diketahui bahwa meskipun idenya berasal dari Indonesia Timur, riset saya akan dilakukan di beberapa daerah dan tidak dibatasi secara geografis selama masih dalam batas wilayah NKRI. Metodologi yang saya gunakan mendukung theoretical sampling dan theory saturation sehingga hasilnya akan dapat digunakan dalam lingkup nasional.
Apa saja isu-isu utama keperawatan dan kebidanan di Indonesia Timur?
Gambaran permasalah kesehatan di NTB dapat dilihat dari indikator makro seperti masih tingginya angka kematian ibu yaitu sekitar 350 per 100.000 (SDKI, 2012), 3,5 lebih tinggi dari target 102/100.000 kelahiran hidup.
Data dari pencatatan dan pelaporan resmi dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB tercatat 95 kematian ibu pada tahun 2015 yang terjadi dalam periode 42 hari setelah persalinan atau berakhirnya kehamilan. Dari sekian jumlah kematian tersebut, 42,11 % terjadi saat masa nifas, 35,78 % kematian ibu bersalin, dan 22,11 % kematian pada saat hamil. Angka ini memberikan gambaran permasalahan kebidanan dan keperawatan khususnya di NTB.
Statistik kematian bayi di NTB menunjukkan tren yang terus menurun. Tahun 2007 tercatat angka kematian bayi 72/1000 kelahiran hidup ( Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007), menurun menjadi 57/1000 kelahiran hidup pada tahun 2012 (SDKI, 2012).
Akan tetapi angka ini masih di atas angka rata-rata nasional 32/1000 kelahiran hidup. Tentu saja angka angka ini memberikan gambaran beban yang harus ditanggung dalam sistem kesehatan nasional Indonesia, termasuk di dalamnya tanggung jawab bagi perawat dan bidan.
Pemerintah daerah telah mencanangkan satu program yang disebut dengan AKINO (Angka Kematian Ibu Menuju Nol) dalam upaya menekan angka kematian ibu. Program ini didukung oleh semua perguruan tinggi kesehatan di NTB yang sudah membentuk konsorsium khusus untuk mensukseskan program ini.
Bagaimana di tingkat nasional?
Upaya yang sama juga dilakukan di tingkat nasional dengan pengembangan rencana aksi nasional percepatan penurunan Angka Kematian Ibu, di antaranya peningkatan cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan, pengembangan sistem rujukan khususnya dalam penanganan kasus komplikasi kehamilan dan upaya memberdayakan suami melalui kegiatan yang disebut suami siaga.
Dari segi penyakit, penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih menjadi permasalahan utama bersama dengan penyakit tekanan darah tinggi. Tahun 2015 tercatat 267 ribu kasus ISPA dan 145 ribu tekanan darah tinggi.
Tingginya kejadian kasus ISPA dan tekanan darah tinggi ini menunjukkan adanya masalah beban ganda pada sistem kesehatan nasional, yaitu penyakit infeksi dan penyakit degeneratif. Data ini diambil dari pencatatan pelaporan puskesmas dan menunjukkan permasalahan keperawatan komunitas.
Permasalahan yang saya kemukakan tadi secara umum adalah permasalahan objektif, yaitu di luar dari individu perawat dan bidan. Untuk permasalahan subjektif yang ada dalam diri individual bidan dan perawat, belum ada data resmi.
Permasalahan seperti kepuasan perawat/bidan, indeks kebahagiaan, motivasi, spiritual dan masalah-masalah terkait moral dan mental dari tenaga perawat dan bidan belum terdokumentasikan secara sistematis. Permasalahan semacam ini tampaknya luput dari perhatian pembuat kebijakan dan kalangan akademis di tanah air.
Situasi seperti ini kebanyakan dialami oleh perawat/bidan yang bekerja di rumah sakit yang sifat pelayanannya lebih kompleks dan komprehensif. Namun demikian, perawat yang bekerja di puskesmas dan puskesmas pembantu juga memiliki potensi yang sama untuk terpapar masalah-masalah tersebut.
Menurut hemat saya, kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan ini secara holistik memiliki potensi besar untuk berkontribusi terhadap penyediaan pelayanan keperawatan yang prima dalam mempercepat pencapaian target-target di bidang kesehatan.
Bagaimana Anda melihat keperawatan dan kebidanan di Australia secara umum? Apa yang bisa dipelajari untuk Indonesia?
Saat ini saya masih berada pada tahun pertama kandidatur doktorat di Monash University. Seperti halnya kandidat lain di tahun pertama biasanya akan lebih fokus kepada ‘finding ground’ untuk riset mereka dan tidak banyak waktu untuk terpapar praktek keperawatan dan kebidanan pada setting klinik.
Namun demikian saya berada dalam lingkungan kampus dan terpapar dengan proses belajar mengajar di perguruan tinggi yang saat ini menduduki rangking 12 dunia untuk bidang keperawatan.
Saya bisa mengatakan bahwa proses pendidikan keperawatan/kebidanan di Australia, khususnya dalam lingkungan Monash University sangat menekankan pengembangan keterampilan berfikir kritis dan kerja sama tim melalui pendekatan pembelajaran berbasis kasus (case-based learning approach), proyek kerja kelompok (group work projects), peer assisted teaching dan workshop interprofessional.
Sebagai perguruan tinggi bereputasi international, tentu penerapan kurikulum ini sudah melalui pertimbangan yang matang. Oleh karenanya banyak pelajaran yang bisa kita ambil dan memiliki potensi untuk dapat diterapkan di tanah air.
Dari beberapa workshop yang saya ikuti selama di sini, saya bisa melihat bahwa profesi keperawatan di Australia sangat eksis dan mandiri. Di sini sudah menjadi lumrah jika perawat justru menjadi ketua tim pelayanan dan memiliki tanggung jawab dan hak penuh untuk mengatur anggotanya.
Bisa dikatakan profesi keperawatan di sini terlepas dan secara aktual berkedudukan sejajar dengan profesi kedokteran.
Di Indonesia kondisinya seperti apa?
Di tanah air, kondisi ini masih perlu diperjuangkan. Diakui atau tidak profesi keperawatan di negara kita dan di beberapa negara berkembang lainnya, masih dalam bayang-bayang profesi kedokteran. Meskipun sebenarnya keperawatan sebagai profesi memiliki dasar filosofi yang solid dan sudah memenuhi semua persyaratan untuk secara formal dikatakan sebagai sebuah profesi, sebagaimana halnya kedokteran dan profesi lainnya.
Namun demikian, saya melihat organisasi profesi keperawatan di Indonesia sudah mulai banyak berbenah dan mempertahankan eksistensi perawat dan profesi keperawatan. Upaya seperti itu sangat baik dan perlu terus dilakukan secara sistematis agar tujuannya dapat tercapai.
Tentu saja upaya ini tidak diarahkan untuk ‘menyaingi’ profesi kedokteran atau profesi lainnya, tetapi lebih penting dalam kerangka berfikir yang positif dengan tujuan tercapainya kerja sama tim berbasis kesetaraan profesi.
Hal itu pada akhirnya akan memberikan manfaat maksimal bagi output dan outcome pelayanan kesehatan. Artinya kondisi ini dapat menciptakan atmosfir yang baik dalam sistem kesehatan nasional di Indonesia.
Satu kondisi yang perlu menjadi perhatian adalah kenyataan bahwa perawat/bidan di Indonesia sebagian besar terlalu fokus pada kegiatan perawatan klinis. Sangat sedikit yang menyentuh aktifitas riset untuk pengembangan keilmuan.
Penyelengaraan riset formal tidak hanya menambah wawasan keilmuan tetapi juga dapat membantu mempertahankan eksistensi keperawatan sebagai profesi. Riset tidak melulu menjadi tanggung jawab kalangan akademisi, tetapi semestinya menjadi tanggung jawab semua. Apalagi kalau risetnya dipublikasikan secara internasional tentu akan memiliki daya ungkit yang besar.