Krisis Narkoba Myanmar Menjangkau Australia
Di Myanmar, semakin banyak konflik terjadi, semakin meningkat pula produksi narkoba.
Bahkan, perdagangan narkoba di sana telah menyatukan dua pihak yang tampak mustahil bersatu.
Tahun lalu, tentara Myanmar mengusir 700.000 warga Rohingya dari Rakhine, seringkali dengan cara memusnahkan desa mereka.
Sekarang, sejumlah oknum tentara dilaporkan bekerja sama dengan para pengungsi Rohingya memperdagangan narkoba.
Kerjasama ini menggarmbarkan parahnya krisis narkoba di Myanmar. Tahun lalu, seorang biksu di Rakhine bahkan tertangkap membawa 400.000 pil sabu.
“Tidak ada segmen kehidupan yang tak tersentuh masalah narkoba” ujar Troels Vester, direktur UNODC di Myanmar.
Dari hutan Myanmar ke jalanan Australia
Myanmar sudah lama dikenal sebagai produsen opium terbesar kedua di dunia, setelah Afghanistan.
Kini neghara itu juga menjadi salah satu penghasil metamfetamin atau sabu terbesar yang sebagian besar beredar di Australia.
Tidak diperlukan peralatan rumit untuk membuat “yaba” – pil merah yang terbuat dari metamfetamin dan kafein. Cukup dapur kecil dan dan beberapa bahan kimia.
Laboratorium bergerak yang digunakan membuat pihak berwenang Myanmar sulit melacak operasi pembuatan narkoba ini.
“Myanmar tidak dapat memproduksi bahan kimia dimaksud. Tapi kami terletak di antara China dan India yang merupakan produsen terbesar,” jelas Kolonel Polisi Zaw Lin Tun.
Sejumlah besar bahan kimia disita di sekitar kota industri Mandalay di Myanmar tengah. Menurut Vester, dari sinilah narkoba itu menyebar ke daerah konflik.
Vester menambahkan tidak ada wilayah di Myanmar yang tidak mengalami penggerebekan sabu oleh polisi.
Zaw Lin Tun memperkirakan pasar metamfetamin di wilayah itu bernilai $ 40 miliar.
Jika pil yaba tersebar luas di Myanmar, metamfetamin yang beredar di Australia adalah dalam bentuk kristal, dikirim melalui pos paket, kurir narkoba di bandara atau pengiriman komersial.
“Biasanya jenisnya berupa metamfetamin kristal dengan kemurnian tinggi. Sumbernya hampir selalu dari Asia Tenggara dan belakangan dari Myanmar,” kata Jeremy Douglas dari UNODC Asia Pasifik.
Narkoba di kamp pengungsi
Di kamp pengungsian di Bangladesh, para pengungsi Rohingya tidak diperbolehkan secara legal. Banyak yang putus asa dan memilih jadi pengedar, termasuk anak-anak.
Setidaknya 120 orang tewas dan sekitar 7.000 ditangkap pihak berwenang Bangladesh sejak Mei lalu, dalam upaya pemberantasan narkoba.
Pada Oktober tahun lalu, dua tentara Myanmar diperiksa setelah tertangkap tangan dengan 2 juta pil yaba di Rakhine.
Menurut Jeremy Douglas, ada laporan mengenai kolusi tentara dan warga Rohingya dalam perdagangan narkoba.
“Kelompok kejahatan transnasional sangat pandai menggunakan kekacauan untuk menjalankan bisnis mereka,” kata Vester.
Myanmar dilanda konflik antara kelompok etnis dan tentara. Selain di Rakhine, negara bagian lainnya juga dilanda kekacauan, termasuk Shan dan Kachin.
Sedangkan wilayah otonomi Wa yang berbatasan dengan China memungkinkan akses mudah mendapatkan bahan kimia metamfetamin.
Menurut Vester, peredaran narkobA di Rakhine bukanlah hal baru. Namun konflik Rohingya membuat hal itu mengalami peningkatan.
Pada tiga bulan pertama 2018, pasukan perbatasan Bangladesh dan Myanmar menyita hampir 9 juta pil metamfetamin.
Hal ini mencerminkan tumbuhnya pasar yaba di Bangladesh dan penggunaan negara ini sebagai jalur ke negara tetangga lainnya.
Malaysia dan Australia melakukan penyitaan metamfetamin terbesar di masing-masing negara pada bulan Mei dan Desember tahun lalu. Semuanya diproduksi di Myanmar.
Pada Juni lalu, narkoba senilai US $ 183 juta dimusnahkan di Myanmar, menandai Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan Narkoba.
Pemerintah Myanmar bahkan meminta warganya menjadi informan, dengan iming-iming “insentif pajak khusus”.
“Saya meminta semua pihak memberantas narkotika yang melanda masyarakat kita, menghancurkan martabat kita dan potensi generasi muda kita,” kata Presiden Myanmar U Win Myint.
Kolonel Polisi Zaw Lin Tun berharap warga melaporkan adanya perdagangan narkoba. Dia berpendapat krisis narkoba harus bahan pembicaraan dalam upaya perdamaian nasional.
Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Kyaw Lwin yang mencoba yaba saat masih kuliah, mengatakan ruang lingkup permasalahan ini kurang dipahami.
“Orang tidak menyadari besarnya permasalahan narkoba di sini. Harganya sangat murah dan ada di mana-mana,” katanya.
Dia mengaku kecanduan yaba dan biasa mengkonsumsinya tiga kali sehari.
“Efek sampingnya, saya selalu merasa marah. Dampak utamanya yaitu pengaruh mental,” ujarnya.
Kyaw Lwin mengatakan masyarakat tidak tahu bagaimana menangani seorang pecandu metamfetamin.
Kecanduan di dalam penjara
Fokus pemberantasan narkoba pada pengedar jalanan yang dijalankan pemerintah Myanmar membuat ribuan pecandu kini mendekam dalam penjara. Salah satunya bernama Ko Sai Aung Kham, yang divonis 5 tahun karena kepemilikan narkoba.
Di dalam penjara, dia lebih khawatir mengenai stigma yang dihadapinya sehingga membuatnya semakin kecanduan.
“Kami tidak diterima kembali ke masyarakat. Diskriminasi dari masyarakat terlalu kuat,” kata Ko Sai Aung Kham.
Kini mulai ada kesadaran baru mulai bahwa penyalahgunaan narkoba adalah masalah kesehatan. Tidak semua penggunanya adalah penjahat.
Setelah menjalani hukumannya, Ko Sai Aung Kham memutuskan membangun jaringan pendukung bagi pecandu narkoba.
Dia giat mengunjungi warung-warung kopi mengajak pengunjung berhenti menggunakan narkoba.
“Pengguna narkoba mungkin tidak ingin berbicara dengan keluarganya,” katanya.
Negara-negara yang dilanda krisis narkoba – termasuk China dan Australia – menggelar pertemuan di ibukota Myanmar, Naypidaw, pada Mei lalu.
Namun penanganannya tidak akan berhasil tanpa mengatasi problem sistemik di Asia Tenggara. “Itu juga berarti mengatasi korupsi,” ujar Douglas.
Menurut dia, kunci untuk mengganggu rantai pasokan yaitu dengan memberantas pencucian uang hasil perdagangan narkoba.
“Australia dan UNODC berusaha mendorong berbagai negara untuk fokus pada kelompok kejahatan terorganisir transnasional yang berada di balik produksi dan perdagangan narkoba,” katanya.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.