Korsel Akan Ganti Buku Sejarah SMA dengan Buku yang Disetujui Pemerintah
Pemerintah Korea Selatan telah mengumumkan rencana kontroversial untuk mengganti berbagai buku sejarah dengan buku teks tunggal yang disetujui oleh negara.
Saat ini, SMA di Korea Selatan bisa memilih buku sejarah yang diterbitkan oleh 8 perusahaan penerbitan berbeda. Tetapi pemerintah mengatakan, semua terbitan itu terlalu sayap kiri.
Pada tahun 2017, Buku Teks Sejarah akan menjadi satu-satunya buku sejarah yang diperbolehkan beredar di lingkungan SMA di Korea Selatan.
Teks Sejarah Tunggal akan menjadi satu-satunya buku sejarah yang dibolehkan beredar di SMA Korea Selatan. (Foto: Reuters, Jo Yong-Hak)
Buku itu akan ditulis oleh sebuah panel guru dan akademisi sejarah yang ditunjuk pemerintah.
Politisi dari kubu oposisi dan beberapa mahasiswa telah memprotes langkah tersebut, menuduh pemerintah "mendistorsi sejarah".
Dr Emma Campbell, dosen tamu di Pusat Studi Strategis dan Pertahanan di Australian National University (ANU), mengatakan, langkah itu tak terduga dan mengecewakan.
"Saya pikir kekecewaan saya didukung oleh cukup banyak orang di Korea Selatan yang berpikir hal itu sebagai langkah yang cukup regresif, terutama ketika Anda melihat beberapa negara yang memiliki kontrol ketat atas buku teks, yang meliputi Korea Utara," utaranya.
Ia mengungkapkan, "Jadi saya pikir itu adalah langkah mengecewakan dan mengejutkan dari sebuah negara yang benar-benar harus mendorong keragaman dan demokrasi serta kebebasan berbicara."
Dr Emma mengatakan, ia percaya bahwa langkah untuk mengontrol bagaimana sejarah diajarkan, terkait dengan isu-isu politik dalam negeri di Korea Selatan.
"Pemerintah mereka, saat ini, berasal dari sayap kanan dan pemimpin mereka serta Presiden Korea Selatan saat ini adalah Park Geun-hye, yang merupakan putri dari mantan diktator otoriter Korea Selatan ‘Park Chung-hee’, dan banyak orang di partainya dan di pemerintahan saat ini memiliki hubungan dengan rezim otoriter sebelumnya, yang berkuasa di Korea Selatan hingga tahun 1987," jelasnya.
"Dan saya pikir ada keinginan dalam pemerintahan sayap kanan untuk mengontrol presentasi sejarah, kemungkinan untuk mencerminkan prestasi negara selama waktu itu secara lebih positif dan juga peran mereka serta peran partai mereka dalam bagian sejarah itu," terangnya.
Dr Emma mengatakan, buku teks itu bisa meningkatkan oposisi dan kemarahan terhadap pemerintah yang sudah tidak populer tersebut.
"Akan menarik untuk melihat bagaimana pemerintah menanggapi kekuatan oposisi itu," sebutnya.
"Kita berharap bahwa itu akan mendorong mereka untuk meninjau kembali keputusan mereka tentang penerbitan buku teks tunggal," tambahnya.
Korsel bukan yang pertama dikte pengajaran sejarah
Pakar pendidikan, Michael Dunn, mengatakan, Korea Selatan tak sendirian, dengan pengajaran sejarah di sekolah yang menyebabkan kontroversi seperti di negara-negara Barat- Amerika Serikat dan Inggris misalnya.
"Saya pikir Inggris memiliki pendekatan yang sangat menarik. Kami cenderung menghindari sejarah kontroversial dalam kurikulum, kami sangat tertarik untuk melihat sejarah yang lebih jauh dan, entah untuk beberapa alasan, menjadi kurang kontroversial ,” utaranya.
Ia lantas berujar, "Tapi ada sedikit siswa lebih muda di sekolah kami yang akan bisa memberitahu Anda tentang keterlibatan Inggris dalam, misalnya, kudeta Iran atau bagaimana kami menangani krisis Suez yang pastinya bukanlah titik tergemilang dalam sejarah kami. "
Michael memperingatkan bahwa sensor sejarah itu berbahaya.
"Sejarah memberikan kita keterampilan penting," katanya.
"Saya pribadi percaya bahwa keterampilan yang terlibat dalam sejarah – yang berempati dengan masa lalu, memahami apa yang membuat orang-orang kala itu melakukan hal tersebut -itulah yang membuat sejarah menjadi hal yang penting untuk dipelajari," sambungnya.