ABC

Korban Pinjaman Online di Indonesia Gugat OJK Karena Data Pribadi Disebarkan

Ribuan warga di Indonesia saat ini merasa menjadi korban usaha pinjaman online dan mereka berusaha menggugat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena merasa data pribadi disebarkan perusahaan keuangan yang memberi pinjaman.

Salah satu lembaga bantuan hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta akan mendampingi para korban pinjaman online (pinjol) tersebut untuk menggugat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator karena tidak mengatur dengan ketat perusahaan peminjama keuangan yang beroperasi online (fintech).

Selama sekitar 3 pekan pada bulan November lalu, LBH Jakarta menerima 1330 laporan korban pinjol dari 25 provinsi di Indonesia.

Dari tanggal 4 hingga 25 November 2018, LBH membuka posko pengaduan untuk menerima laporan warga yang merasa menjadi korban pinjol.

Mereka mengadu karena sebagai debitur, pihak fintech sebagai pemberi pinjaman dianggap telah melanggar hukum dengan menyebarkan data pribadi mereka dan melakukan penagihan yang tidak hanya dilakukan kepada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam.

Tak hanya itu, di antara 1330 korban yang mengadu, ada yang merasa menerima ancaman, fitnah hingga pelecehan seksual.

LBH Jakarta merinci 14 jenis aduan yang dialami oleh para korban. Ironisnya, sebagian besar dari ribuan korban itu meminjam uang di bawah Rp 2 juta.

Dari laporan korban, LBH juga mencatat 89 fintech yang dianggap melanggar peraturan.

Dua puluh lima dari mereka bahkan merupakan fintech yang terdaftar di OJK.

Sebagai regulator, OJK dianggap bertanggung jawab atas kasus yang dialami korban.

“Yang pertama, kami akan mengkonsolidasi semua korban dulu. Dimungkinkan korban dan LBH Jakarta untuk menggugat OJK.”

“Karena ada aturannya terkait hal tersebut. Atau bahkan justru mempidanakan OJK, karena OJK punya tanggung jawab kalau dilihat dari Undang-Undang OJK,” papar Jeanny Silvia Sari Sirait dari LBH Jakarta kepada ABC hari Selasa (11/12/2018).

Ia menambahkan, ketika OJK tidak melakukan tanggung jawabnya akan ada langkah hukum yang bisa dilakukan.

“Dan itu ada celahnya baik itu gugatan perdata atau pelaporan pidana.”

Salah satu tanggung jawab OJK, menurut Jeanny, adalah perlindungan terhadap konsumen. OJK sendiri, terkait aplikasi pinjaman daring, sudah mengeluarkan aturan POJK nomor 77.

Ketika dihubungi ABC, juru Bicara OJK, Sekar Sari Djarot, mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti indikasi pelanggaran jika ada laporan.

"Kami membuka ruang komunikasi, jika dilaporkan ke kami tentunya akan dipelajari lebih lanjut."

“Dalam hal terjadi dan terbukti, penyelenggara legal melakukan pelanggaran terhadap hal-hal tersebut, maka OJK dapat mengenakan sanksi sesuai dengan pasal 47 POJK 77, mulai dari peringatan tertulis, pembekuan kegiatan usaha sampai dengan pembatalan atau pencabutan tanda daftar atau izin,” sebutnya melalui pesan teks (11/12/2018).

Rekaman percakapan yang dilakukan pihak debt collector dengan teman debitur.
Rekaman percakapan yang dilakukan pihak debt collector dengan teman debitur.

Supplied; LBH Jakarta

Menanggapi respon OJK, pengacara publik yang mendampingi korban pinjol ini justru mengatakan latar belakang lahirnya peraturan itu justru bermasalah.

“Harusnya OJK tidak hanya mengatur aplikasi pinjaman online terdaftar di OJK, tapi juga yang tidak terdaftar di OJK. OJK harus mewajibkan semua aplikasi mendaftar di OJK dan apa sanksinya jika tidak mendaftar.”

Aturan tersebut juga menjelaskan bahwa aplikasi pinjaman online tidak boleh menyerap data pribadi.

“Tapi kemudian silahkan cek sendiri di Playstore atau Appstore, yang bagian permission, apakah aplikasi yang terdaftar atau tidak terdaftar melakukan penyerapan terhadap gawai si peminjam?,” ujar Jeanny.

Ketika seseorang melakukan pinjaman lewat aplikasi, setiap peminjam akan dimintai foto KTP dan foto dirinya bersama KTP-nya.

Hal itu berlaku di semua aplikasi baik yang terdaftar atau tidak terdaftar.

"Kalau OJK bilang, tidak boleh menyerap data pribadi, KTP itu kan data pribadi. Di POJK 77 itu ada 5 tahapan sanksi. Sanksi beratnya adalah pencabutan izin. Pencabutan izin apa? Pencabutan izin aplikasi."

“Apakah OJK tidak pernah melakukan pencabutan izin usaha? Ada, coba cek aturan OJK soal reksadana. OJK berani menutup usaha, tapi kenapa pada penyelenggara aplikasi pinjaman online, mereka nggak berani?,” tanya Jeanny.

Silvi (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu korban yang mengadu ke LBH Jakarta.

Tahun lalu, ia melakukan 4x pinjaman kepada salah satu fintech sebesar Rp 500 ribu dan Rp 1 juta.

Pada pinjaman ke-4, ia mengaku telat membayar. Tapi reaksi yang diterimanya dari pihak pemberi hutang sungguh di luar dugannya.

“Setelah pinjaman ke 4 saya telat membayar. Dari telat 1 hari jug sudah ditagih. Tapi saya minta waktu 3 hari untuk melunasi. Tetapi pas hari ke 3 nya belum habis mereka sudah telpon ke kontak, bilang kalau kontak tersebut dijadikan penjamin pinjaman saya,” ceritanya kepada ABC.

Daerah asal pelapor korban pinjaman online fintech
Daerah asal pelapor korban pinjaman online fintech.

Supplied; LBH Jakarta

Perempuan yang tadinya bekerja di sebuah lembaga pendidikan ini mengungkapkan, kontak yang dimaksud adalah nomor kontak yang ada di ponsel dan mereka mencakup rekan kerja dan staf departemen Sumber Daya Manusia (HRD) tempat ia bekerja.

“Kalau telepon kantor tidak masalah, tapi ini nomor pribadi HRD saya,” keluh Silvi.

Teman-teman Silvi-pun merasa terganggu dan menyangka ia memang mencantumkan kontak mereka sebagai penjamin.

Walhasil, tindakan Silvi yang mereka sangkakan dilaporkan kepada atasan, pemilik perusahaan.

“Alhasil saya dirumahkan karena tidak ada yang mau partner di kelas sama saya. Karena teman-teman saya merasa terganggu ditelepon berkali-kali dan bilang menjadi penjamin saya.”

“Teman-teman saya takut debt collector (penagih hutang)-nya malah mengejar mereka bukan saya,” tuturnya.

Awal pekan ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengumumkan telah menutup 400 fintech dalam bentuk situs (website) dan aplikasi yang terkait kasus pinjol.

Menurut Jeanny, penutupan aplikasi bukanlah solusi bagi ribuan korban yang melapor ke LBH.

“Kominfo bilang ‘saya mau blokir website-nya, saya mau blokir aplikasinya, semudah Kemenkoninfo menutup aplikasi atau website tersebut, semudah itu juga membuka kembali website dan aplikasi dengan nama yang berbeda,” ujarnya kepada ABC hari Selasa (11/12/2018).

“Regulator yang bisa menentukan solusinya seperti apa. Regulatornya siapa dalam hal ini? OJK. Mereka pasti tahu permasalahannya apa.”

Jeanny Silvia Sari Sirait, pengacara publik dari LBH Jakarta yang menangani kasus aduan pinjol.
Jeanny Silvia Sari Sirait, pengacara publik dari LBH Jakarta yang menangani kasus aduan pinjol.

ABC; Nurina Savitri