ABC

Korban KDRT di Australia Chamari Liyanage Membagi Kisahnya

Salah seorang korban KDRT di Australia, Chamari Liyanage, tidak terlihat seperti perempuan yang mengalami kekerasan bertahun-tahun. Namun, di balik semua itu, dia mengalami penderitaan luar biasa yang kisahnya kini dia bagi untuk jadi pelajaran.

Chamari tidak tampak seperti perempuan yang dipukuli oleh suaminya dengan kayu penggiling dan kursi besi, dipaksa melakukan pertunjukan seks untuk orang asing melalui Skype, serta tinggal dalam kondisi penuh ketakutan secara terus-menerus oleh lelaki yang dia kira mencintainya.

Dia tentu saja tidak tampak seperti perempuan yang memukuli suaminya itu sampai mati dengan palu, di saat pria itu sedang tidur di rumah mereka di Geraldton, bagian utara Kota Perth, Australia Barat pada Juni 2014.

Dan itulah sebabnya, Chamari menceritakan kisahnya.

“Sebagai petugas medis, saya tahu persis semua tentang kekerasan dalam rumah tangga. Saya sudah menyaksikannya dan saya sudah berurusan dengan hal itu,” ungkap Chamari kepada Program 7.30 ABC.

“Tapi dalam kehidupan saya sendiri, saya terjebak dan terisolasi dan tidak bisa bicara tentang hal itu,” katanya.

“Orang harus menyadari betapa pun pintar dan mandirinya seseorang (korban KDRT), sulit baginya mengungkapkan kondisinya dan mencari bantuan,” tambahnya.

Mempesona di luar, jahat di dalam

Dr Dinendra Athukorala
Dinendra Athukorala digambarkan oleh hakim sebagai 'orang yang manipulatif dan tanpa belas kasihan."

Supplied: WA Supreme Court

Suaminya bernama Dinendra Athukorala. Pria ini bertemu dengan Chamari di Sri Lanka pada tahun 2009. Awalnya pria ini tampak menarik, tapi itu merupakan pesona di luar yang menyembunyikan kejahatan dalam hatinya.

Hakim Stephen Balai Hall yang menyidangkan kasus ini menggambarkan pria tersebut sebagai “pelaku manipulatif dan tanpa ampun” yang memukuli istrinya. Dia juga memiliki materi berupa eksploitasi anak-anak dalam data sebesar 13 terabyte yang terenkripsi serta gambar perilaku seks brutal hewan dan manusia di tiga laptop dan sejumlah harddrive.

Mata Chamari Liyanage tampak gelap dan wajahnya kusut saat dia berbicara tentang situasi pernikahannya dengan pria yang dia panggil Din tersebut.

“Selama empat setengah tahun ketika saya bersama Din, dia telah membuat hidupku sulit,” katanya.

“Terjadi tindak kekerasan yang signifikan, baik kekerasan emosional, fisik, psikologis, seksual maupun keuangan,” tambahnya.

“Saya kira pelecehan emosional adalah bagian paling sulit dihadapi. Perlakuan manipulasi dan mengontrol yang secara terus-menerus saya rasakan – saya sangat terjebak, dan tidak bisa pergi. Dan ancaman terus-menerus terhadap saya dan juga keluarga saya serta orang-orang yang saya cintai, membuatku merasa tak berdaya,” kata Chamari.

Kekerasan yang dialami Chamari terus meningkat. Begitu juga status ketakutan dan kegelisahannya. Sampai pada suatu malam di bulan Juni, dia pun murka.

Tidak tahu apa yang terjadi

Chamari Liyanage dan suaminya Dinendra Athukorala
Chamari Liyanage mengatakan dia mengira suaminya, sesama dokter Dinendra Athukorala, akan berubah jika dia membuatnya bahagia.

Supplied: 7 News

Dia mengaku dirinya masih tidak dapat mengingat apa yang terjadi pada malam itu.

“Din meminta saya untuk tidur sehingga saya menutup laptop dan saya pun pergi tidur. Kemudian ketika terbangun. Saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada hari itu. Dan sampai hari ini masih tidak tahu apa yang terjadi.

Yang terjadi adalah Chamari memukul suaminya hingga tewas dengan martil seberat 1,79 kilogram.

Dia meghubungi petugas dan pada Pukul 6.30 pagi 26 Juni 2014, dan polisi yang tiba di rumahnya mendapati Chamari tengah meringkuk di kursi dalam kondisi yang sangat kacau.

Ketika polisi yang datang memasuki kamar tidur, mereka mendapati sang suami berbaring di tempat tidur bersimbah darah. Sebuah bantal menutupi wajahnya dan sebuah martil tergelatak di samping kepalanya.

“Saya tidak dapat membayangkan karena Din satu-satunya pasangan saya,” ungkapnya.

“Saya amat mencintainya dan satu-satunya alasan yang membuat saya mampu bertahan adalah saya mengira dia akan berubah menjadi pria lembut dan penyayang yang saya jumpai 4,5 tahun yang lalu,” tuturnya.

“Saya pernah melihat sisi baik dia. Saya juga pernah melihat sisi menyenangkan darinya. Saya kira dia akan berubah jika saya menuruti perintahnya, jika saya berusaha membuatnya bahagia,” kata Chamari.

“Saya kira suatu hari dia akan berubah, sehingga saya tidak dapat mempercayai apa yang terjadi pada hari itu,” ujarnya.

Dua hari setelah kematian Dinendra Athukorala, Chamari Liyanage pun didakwa dengan tuduhan pembunuhan.

Penjara jadi surga yang aman

Chamari Liyanage sedang melukis
Melukis membantu Chamari Liyanage mengatasi masalahnya selama berada di Penjara Geraldton selama 2,5 tahun.

ABC News: Lauren Day

Setelah menjalani persidangan selama tiga pekan dan mendengarkan bukti-bukti kekerasan domestik yang luas, Chamari dinyatakan tidak bersalah atas dakwaan pembunuhan. Tetapi dia dihukum karena pembunuhan yang tidak direncanakan dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara, dihitung sejak malam kematian suaminya.

Dia mengatakan kepada rekannya bahwa dia merasa lebih bebas ketika berada di dalam Penjara Greenough daripada ketika dalam pernikahannya sendiri.

“Ketika saya sampai di penjara, itu jadi tempat aman. Saya menemukan kedamaian pikiran dan hati saya sendiri. Hal ini memungkinkan saya mencari dan menjadi diri saya sendiri,” katanya lagi.

Di penjaralah dia mengembangkan minatnya terhadap seni lukis.

“Melukis itu seperti meditasi. Melukis membantu saya berkonsentrasi. Melukis juga membantu saya membebaskan diri dan mengeluarkan emosi yang tersembunyi dalam diri saya begitu lama, selama bertahun-tahun, untuk mengeluarkan emosi dengan lebih mudah,” paparnya.

Berterima kasih

Chamari Liyanage di pantai
Chamari Liyanage saat ini menikmati hari pergi ke pantai dan merasakan pasir di sela-sela kakinya.

ABC News: Lauren Day

Saat masih berada di penjara, teman-temannya mendukung Liyanage, dan menggelar kampanye agar dia tetap tinggal di Australia setelah visanya dibatalkan tahun lalu.

Bantuan yang diharapkannya datang pada bulan Januari ketika Menteri Imigrasi Australia mencabut keputusannya mendeportasi Chamari kembali ke Sri Lanka.

Itu alasan lain mengapa Chamari bersedia berbagi kisahnya.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Australia yang telah mendampingi saya selama masa-masa sulit seperti ini, dan secara terus menerus mendukung saya,” katanya.

“Saya ingin berterima kasih dengan tulus atas dukungan mereka, kebaikan mereka dan pemahaman mereka,” katanya.

“Dan saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga Din, untuk apa yang mereka harus lalui, dan ingin mengungkapkan simpati saya untuk semua orang yang telah terdampak,” katanya lagi.

Kebebasan baru yang didapati Chamari Liyanage datang bersama daftar panjang hal yang perlu dia lakukan.

Dia berusaha mendapatkan kembali izin prakteknya sebagai dokter, dan membantu orang lain yang merasa terjebak dalam hubungan yang kasar.

Tapi pertama-tama, dia ingin menikmati hal yang sederhana seperti ke pantai dan merasakan pasir di kakinya.

Selama 2,5 tahun berada di dalam penjara dibandingkan 4,5 tahun perasaan terperangkap di dalam pernikahannya, maka hal-hal semacam ini tidak dapat terbayangkan baginya.