ABC

Komunitas Pengungsi Melbourne Cegah Tindak Kriminal Lewat Basket

Pada sebuah Kamis sore yang cerah di lapangan basket di Dandenong, sekitar setengah jam dari pusat kota Melbourne, Jamy Alex (29 tahun) bermain basket bersama teman-temannya, menikmati kebebasannya.

Pengungsi asal Sudan ini dua kali lolos dari bahaya. Pada tahun 2002, saat ia berusia 13 tahun, Jamy melarikan diri dari kemiskinan dan konflik di negara asalnya untuk datang ke Australia.

Kemudian, beberapa tahun setelah menetap di Melbourne, ia nyaris menghindari penjara setelah melakukan kejahatan yang mengerikan.

Orangtua Jamy tinggal di Sudan. Tak ada cukup uang bagi seluruh keluarganya untuk pindah, jadi mereka mengirim Jamy bersama pamannya ke Mesir -dan kemudian ke Australia setelah visa mereka diproses.

Menyesuaikan diri dengan kehidupan di rumah baru, ternyata lebih sulit dari perkiraan mereka.

Jamy Alex
Jamy Alex membantu mendirikan tim basket Black Rhinos di Dandenong.

ABC RN: David Lewis

Pasangan paman-keponakan ini sempat terjatuh dan Jamy pun akhirnya kehilangan tempat tinggal, terpaksa menumpang teman atau tidur tanpa atap di jalanan.

“Saya merasa tempat saya di jalanan, bersama teman-teman yang mendukung saya, memberi apa yang saya inginkan… saya berbicara tentang alkohol, rokok, narkoba, dan ganja – hal-hal seperti itu,” tuturnya.

“Banyak hal yang salah dari sana,” imbuhnya.

Dari kejahatan ringan hingga penculikan

Untuk membeli makanan, narkoba dan alkohol, Jamy dan teman-temannya membutuhkan uang.

Tanpa pekerjaan atau keluarga untuk mendukung mereka, mereka mulai mencuri – dan kejahatan mereka secara bertahap menjadi lebih serius, yang berpuncak pada penculikan.

“Saya merasa tertekan,” kata Jamy.

“Saya tak benar-benar ingin melakukan hal seperti itu, tapi jika saya tidak melakukannya, siapa yang mau berteman dengan saya? Jadi saya harus melakukannya dan saya tak merasa senang akan hal itu,” ceritanya.

Korban penculikannya adalah pria Afrika berusia 30-an, yang baru saja berbelanja.

Insiden tersebut menjebloskan Jamy ke dalam masalah besar.

Ia menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan besar -jadi ia menghubungi seorang perempuan bernama Selba Luka, yang mengelola sebuah organisasi bernama ‘Afri-Aus Care’, yang membantu menghubungkan kaum muda yang rentan risiko dengan layanan pendukung.

Selba Luka
Selba Luka mengelola sebuah organisasi bernama Afri-Aus Care.

ABC RN: David Lewis

“Ia memiliki kasus hukum yang parah, masalah dengan keluarganya, masalah dengan pasangannya, pada saat itu ia dalam tahap ingin bunuh diri,” kenang Selba.

“Ia berkata, ‘Saya tak tahu apa yang bisa saya lakukan dan saya tak memiliki orang yang bisa menolong saya.’ Jadi kami memulai pemeriksaan, kami menangani masalah narkoba dan alkohol, dan setelah itu saya mulai membantunya melewati pengadilan, dan sekarang -ia tak lagi berhubungan dengan masalah hukum.”

Permintaan maaf tulus

Jamy menulis sepucuk surat kepada korban, meminta maaf dengan tulus.

Ia menjelaskan bahwa ia miskin, lapar, dan putus asa. Pada akhirnya, ia menerima hukuman dua tahun penjara atas kejahatan tersebut.

“Saya sangat beruntung, dan saya tak pernah menoleh ke belakang, saya tak ingin melakukan itu lagi,” akunya.

Ia menuturkan, “Dengan hukuman dua tahun yang ditangguhkan, jika Anda melakukan sesuatu… Anda harus menjalani hukuman dua tahun di penjara.”

Sejak saat itu, Jamy mantap menjalani kehidupan yang baik.

Ia menjadi relawan di Afri-Aus Care, bekerja sama dengan Selba.

“Ketika ia membaik, ia berkata, ‘Saya pikir ada lebih banyak orang di komunitas kita yang bisa Anda bantu.’ Ia mulai membawa lebih banyak anak muda, saya membantu mereka,” kata Selba.

Suatu hari, Jamy mempunyai ide.

Charles Oryem
Charles Oryem dari tim basket Black Rhinos.

RN ABC: David Lewis

Ia menyarankan kepada Selba agar mereka meluncurkan tim bola basket untuk memberi tujuan dan arah kepada para pemuda terpinggirkan di Dandenong, sebuah daerah pinggiran dengan tingkat pengangguran dan masalah perjudian yang tinggi.

“Jamy adalah pendirinya,” kata Selba dengan berseri-seri dan bangga.

“Tanpa dia, saya tidak akan bisa mengumpulkan tim basket bersama-sama.”

Menjangkau pemuda berisiko

Tim basket itu bernama ‘Black Rhinos’ (Badak Hitam) -namun Selba yakin bahwa, tak seperti badak hitam Afrika Barat, tim basket pemuda “berisiko” ini tak akan kehilangan harapan.

“Jadi kami harus melakukan sesuatu agar lebih baik -seperti cara orang di Afrika mencoba membantu badak si binatang, agar tidak punah,” sambungnya.

Black Rhinos masih merupakan klub pemula.

Sekitar 40 pemain pria dan perempuan, berusia antara 18 dan 30 tahun, menghadiri sesi latihan reguler.

Tapi kelompok ini berkembang.

Jamy dan Selba juga ingin melibatkan anak-anak semuda delapan tahun.

Moto mereka adalah “mencegah kejahatan melalui bola basket”.

“Mereka begitu bangga menjadi anggota sebuah kelompok,” kata Selba.

Awiey Aklk
Awiey Aklk juga bermain dengan tim basket Black Rhinos.

ABC RN: David Lewis

“Mereka punya tujuan dan mereka berharap bisa melakukan sesuatu setiap dua minggu dan tak hanya bergaul dengan orang-orang yang tak melakukan sesuatu yang berarti,” ujarnya.

Perlahan menjadi penolong

Meski sempat menjadi penjahat, Jamy kini dianggap sebagai panutan bagi puluhan imigran muda Afrika dan pengungsi yang sedang berjuang di sekolah atau tak bisa mendapatkan pekerjaan.

Bola basket menjadi penyelamat mereka, dan manfaatnya jelas terlihat.

“Mereka benar-benar mulai disiplin dan mendengarkan kami,” kata Jamy.

Tim basket Black Rhinos perlahan membangun reputasi.

Basket Victoria dan Konsulat Malawi telah menyumbangkan bola basket. Akhir bulan ini, klub tersebut akan diluncurkan secara resmi -dan daftar undangannya mencakup hakim, polisi, dan politisi.

Diterbitkan Selasa 9 Mei 2017 oleh Nurina Savitri. Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.