ABC

Komunitas Hong Bawa Permainan Tradisional Nusantara ke Adelaide

M Zaini Alif miris, anak-anak makin jarang memainkan permainan tradisional dan cenderung terpaku pada gadget modern. Dari risetnya, 40% dari 2.500 permainan tradisional Nusantara terancam hilang.

"Sekitar 40 persen sudah mulai hilang, dari total 2.500. Bukan hilang sih, jarang dimainkan, ada yang hilang, ada yang jarang dimainkan. Lama-lama punah karena nggak ada bahannya, nggak ada teman bermainnya, nggak ada data permainan, itu awal hilangnya permainan tradisional," demikian kata Zaini Alif.

Zaini berbincang dengan sejumlah jurnalis Indonesia yang ke Australia atas undangan Australia Plus ABC International usai workshop permainan tradisional yang digelar Komunitas Hong bagi anak-anak SD-SMP di OzAsia Festival di Adelaide Festival Center, Adelaide, Southern Australia, September 2015.

Pendiri Komunitas Hong, Zaini Alif. (Foto: Hany Koesumawardani)
Pendiri Komunitas Hong, Zaini Alif. (Foto: Hany Koesumawardani)

 

Komunitas Hong adalah komunitas yang didirikan Zaini Alif untuk menginventarisasi, mengajarkan dan melestarikan aneka permainan tradisional Nusantara mulai 2005 lalu. Komunitas ini berada di kawasan Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat. Nama komunitas yang didirikan Zaini itu diambil dari istilah anak-anak Sunda yang bermain petak umpet dan selalu berteriak "hong!"

"Mulai 2005 kami dirikan Komunitas Hong, untuk sosialisasikan permainan tradisional, saya koleksi, saya teliti sendiri. Menggali nilai-nilai dan permainan tradisional, ribuan permainan Indonesia, kemudian kita ajarkan kepada anak-anak di seluruh dunia. Mulai Indonesia, Australia ke mana pun kita ajarkan permainan tradisonal," jelas dia.

Fenomena anak-anak masa kini yang lebih cenderung main gadget seperti tablet layar sentuh atau konsol game, sangat menjadi perhatiannya. Sebenarnya, tak masalah bermain gadget asal anak-anak tak lupa keluar bermain bersama teman-temannya. Bermain di luar bersama teman-teman adalah ciri khas permainan tradisional.

"Permainan tradisional lebih mengedepankan pada nilai-nilai kebersamaan, keceriaan, kesenangan dan sebagainya. Berbeda dengan permainan modern yang tujuannya selalu mengejar kemenangan, kemenangan dan kemenangan dan cenderung individual," tutur pria yang sudah menulis 4 buku tentang permainan tradisional itu. 

Seperti di siang itu, Komunitas Hong mengajarkan anak-anak SD-SMP di Adelaide bermain sarung dalam workshop. Dalam workshop itu diperkenalkan beberapa permainan yang menggunakan sarung, benda yang rata-rata orang Indonesia memilikinya.

Diiringi oleh musik angklung dari Adelindo Angklung yang memainkan musik-musik Sunda, anak-anak dibentuk berkelompok, minimal berdua untuk memainkan sarung. Seperti sarung diputar-putar di lengan kemudian dilemparkan ke udara dan harus ditangkap anak lainnya dengan lengan pula.

Kemudian, sarung yang dibentuk kura-kura dan dioper-operkan oleh anak-anak yang sudah dibentuk berkelompok dalam barisan. Yang paling cepat namun bentuknya paling utuhlah yang menang. Kenyataannya, banyak kura-kura dari sarung itu tak utuh lagi, terkoyak-koyak ketika sampai di barisan akhir. Namun, anak-anak meloncat-loncat, berteriak dengan gembira dalam permainan itu.

"Sangat aktif dan menyenangkan," demikian kesan seorang siswi, Madison Evans (13) yang disetujui temannya, Lily Peter (12).

"Permainan Indonesia sangat mengagumkan, sangat sosial dan tradisional," imbuh siswa lain, Lachlan Schilling (13).

Zaini pun berencana membuat museum permainan tradisional Nusantara. "Ini baru beberapa, permainan sarung aja ada 30 jenis permainan. Saya temukan 2.500 permainan Indonesia dari Sabang-Merauke. Sangat banyak. Indonesia negeri bermain, variasi budaya sangat beragam menghasilkan mainan yang sangat banyak," tutup dia.

*Dapatkan kesempatan memenangkan boneka beruang Bobbie, khas Australia, yang memiliki harum bunga lavender dengan menceritakan apa yang paling Anda sukai dari Australia. Caranya? Tulis di akun Twitter Anda dengan tag #JendelaAustralia. Ikuti akun @APlusIndonesia untuk mengetahui pemenangnya.