ABC

Kolaborasi Ananda Sukarlan Dengan Musisi Aborijin

Bulan Juli lalu, komposer dan pianis Indonesia, Ananda Sukarlan, melakukan lawatan ke komunitas Yolngu, di North East Arnhem Land, Wilayah Utara Australia (NT). Menemui musisi Aborijin, Djakapurra Munyarrun, Ananda tengah mempersiapkan karya musik kolaborasi yang akan dipentaskan akhir Agustus mendatang. 

Seniman Indonesia kembali berkolaborasi dengan seniman Aborijin Australia. Kali ini, musisi dan pianis Ananda Sukarlan tengah mempersiapkan konser bersama dengan musisi Djakapurra Munyarryun, yang berasal dari komunitas Munyarryun cdi Dhalinybuy, North East Arnhem Land, NT.

Demi mempersiapkan kolaborasi ini, Ananda melawat ke tanah Aborijin tempat Djakapurra berada tak hanya untuk menemuinya, tapi juga untuk mengenal budaya Aborijin secara lebih dekat.

“Voyage to Marege” adalah nama persembahan yang tengah digarap Ananda dan akan dipentaskan pada tanggal 31 Agustus 2017 di Jakarta dengan melibatkan dua musisi Aborijin dan 44 pemain orkestra.

Judul itu diambil dari sebuah buku berjudul sama yang mengisahkan tentang sejarah hubungan antara pedagang tripang Macassan dari Indonesia timur dengan warga Aborijin di NT.

Dalam proyek kolaborasi ini, Ananda memadukan unsur musik Makassar, Sulawesi Selatan, dengan sentuhan instrumen tradisional Aborijin.

Ananda mengaku, menggarap ‘Voyage to Marege” adalah pengalaman unik baginya. Sebagai musisi yang kerap bersinggungan dengan karya-karya klasik yang sarat akan harmoni melodi, menciptakan sebuah karya musik dengan pengaruh budaya Aborijin adalah tantangan menarik.

“Dari sisi Aborijin-nya, saya nggak concentrate ke melodi tapi concentrate ke tekstur, concentrate ke ritme. Tapi bukan melodi. Karena melodi suku Aborijin itu sangat simple [sederhana], jadi fokus mereka itu bukan melodi,” ujar pianis yang menetap di Spanyol ini kepada Nurina Savitri dari Australia Plus.

Menurut penuturan Ananda, konsep melodi memiliki karakter yang sangat modern dan sangat kebarat-baratan, sehingga cukup bertentangan dengan filosofi musik Aborijin yang sangat sederhana.

“Saya jadi belajar banyak bahwa banyak aspek-aspek di musik tuh yang kita lupa. Bahwa kita bisa bikin musik tanpa melodi. Dan itu keliatannya primitif, tapi saya coba kembangkan. Jadinya saya belajar satu hal yang baru ya, bikin musik tanpa melodi, dengan orkestra loh, di mana sebenarnya ada 44 orang yang bisa memainkan melodi semua,” tuturnya.

Sementara di sisi lain, musik Makassar banyak terpengaruh oleh datangnya Belanda dan Portugis ke Indonesia.

“Ada tangga nada tuh di mana tangga nada itu nggak ada di musik tradisi Indonesia lainnya. Namanya dorian. Nah itu, hanya bisa datang dari Portugis ya, Portugal. Tapi lagi-lagi konsentrasinya masih ke melodi. Kalau didgeridoo itu kan dia hanya bisa keluarin bunyi tekstur, dan ketinggian nada itu kan ga ada hubungannya sama melodi ‘uouuu..’ (mencontohkan suara didgeridoo),” jelas Ananda.

Pengalaman mencipta musik tanpa melodi membuat Ananda semakin percaya bahwa lirik bukanlah bagian penting dari sebuah karya.

“Saya percaya bahwa musik itu bercerita tanpa kata-kata sih. Kalau kita dengar orang Aborijin [bermain musik], kita bahkan nggak perlu tahu itu lagunya tentang apa, tapi kita bisa merasa, oh ini lagu yang sedih, oh ini lagu tentang bulan atau ombak,” kata satu-satunya musisi Indonesia yang masuk dalam buku “The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century”, yang berisikan riwayat hidup 2000 musisi yang dianggap berdedikasi pada dunia musik ini.

Ia lalu menambahkan, “Jadi kita bisa dengerin musik tanpa melodi. Saya pun harus mentransfer orkestra itu agar tidak berbunyi melodik.”

Sebuah pengalaman baru untuk Ananda, menciptakan musik yang hanya fokus ke ritme, tekstur, dan mengabaikan melodi sekaligus lirik.

 “Namanya pun songline, bahasa Inggris-nya songline itu bukan melodi, bahwa kata-kata itu tidak begitu penting. Yang penting adalah bunyinya, fonetiknya bukan artinya,” ujarnya sembari menjelaskan pengertian songline yang berbeda dari lagu dalam bahasa Indonesia.

Ia lantas menceritakan, karya kolaborasi ini akan berdurasi sepanjang 25 menit dengan 7 menit pertama berisikan musik-musik yang berhubungan dengan Makassar.

Point of departure-nya itu dari lagu Makassar yang namanya Ammaciang. Itu lagu cinta Makassar di mana bahwa cinta itu, samudera-pun akan kuarungi untuk menemukan keindahanmu. Jadi kebetulan akan mengarungi samudera, kan ini ceritanya tentang orang Makassar akan ke Aborijin,” kata musisi yang pernah mengadakan 50 konser selama setahun ini.

Djakapurra Munyarrun (kanan) dan Kevin, sang pemain didgeridoo, akan datang ke Indonesia akhir Agustus.
Djakapurra Munyarrun (kanan) dan Kevin, sang pemain didgeridoo, akan datang ke Indonesia akhir Agustus.

Facebook; Ananda Sukarlan

Untuk mempersiapkan karya ini, Ananda mengaku telah melakukan riset sejak bulan Mei.

“Saya memang baru pergi ke tanah Aborijin dari tanggal 3 Juli, tapi sebelumnya saya sudah studi-studi, lihat-lihat di Youtube. Untungnya ada Youtube sekarang. Terus buku “Voyage to Marege”, saya sudah baca, jadi prosesnya sih sebenarnya dari Mei.”

Bagi Ananda, proyek kolaborasi ini melambangkan hal penting lain di luar seni.

“Musik itu alat komunikasi yang lebih efektif daripada kata-kata.”

“Makanya saya bilang, saya sukanya orang Aborijin itu, kata-kata tidak begitu penting. Kata bisa bohong tapi musik nggak bisa bohong, nada-nadanya nggak bisa bohong. Maksudnya kalau kita ingin mengekspresikan kondisi ini brarti nadanya seperti ini, kalau dibuat seperti itu pasti akan merasa nggak pas.”

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

YOUTUBE: Musisi Aborijin

Kolaborasi ini digagas oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Menurut keterangan Atase Kebudayaan Alison Purnell, konser ini sengaja digelar untuk menapak tilasi sejarah hubungan dekat di antara Australia dan Indonesia.

“Hubungan antara komunitas adat Abroijin Australia, khususnya komunitas Yolngu dari North East Arnhem Land dengan para pedagang dari Sulawesi Selatan dimulai sejak lebih dari 4 abad lalu, sebelum pendudukan Eropa.”

“Para pedagang Sulawesi Selatan mencari tripang di perairan Australia utara, menghasilkan jalur perdagangan yang tumbuh dengan pesat dan bertahan hingga awal 1900an.”

Rencananya, selain di Jakarta, karya kolaborasi Ananda juga akan dipentaskan dalam Festival Darwin 2018 dan Festival Penulis Internasional Makassar 2018.