ABC

Kisah TKW yang Dukung ISIS di Hong Kong

Sejumlah TKW asal RI yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Hong Kong, Taiwan dan Singapura diduga mengalami radikalisasi dan mendukung kelompok teroris ISIS. Beberapa di antaranya bahwa mengajukan diri menjadi pelaku bom bunuh diri.

Demikian terungkap dalam laporan sebuah LSM bernama Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dikutip ABC.

Salah satunya bernama Ayu (bukan nama sebenarnya). Seperti ribuan wanita Indonesia yang kurang beruntung, Ayu meninggalkan rumah untuk bekerja di luar negeri sebagai ART.

Disebutkan bahwa pada tahun 2003 ia ke Hong Kong setelah meninggalkan suami dan anak perempuannya.

Tapi setelah kehilangan dua pekerjaan, dia menemukan dirinya berada di jalanan. Dia pun jatuh ke kebiasaan minum alkohol dan konsumsi narkoba.

Diungkapkan bahwa pada tahun 2011, Ayu mencapai titik terendah dalam hidupnya dan menggunakan Facebook untuk mendapatkan panduan.

Dia bergabung dengan forum Islam dan tak lama kemudian bertemu dengan suami keduanya, Abu, seorang jihadis Indonesia. Mereka menikah tahun 2013 namun Ayu tetap tinggal di Hong Kong.

Saat dia menjadi semakin radikal, dia berteman dengan ekstrimis di Indonesia secara online dan di Hong Kong.

Pada 2014, dia mengumpulkan dana untuk kelompok ISIS, memberikan uang dan bantuan kepada jihadis Indonesia yang ingin bertarung dengan ISIS di Suriah.

Ayu saat ini adalah satu dari lebih 153.000 orang Indonesia lebih yang tinggal di Hong Kong. Sebagian besar adalah wanita yang bekerja sebagai ART, pengasuh anak dan perawat lansia.

Namun penyelidikan IPAC menemukan sel kecil beranggotakan sekitar 50 ART asal Indonesia di beberapa negara Asia. 43 orang di antaranya tinggal di Hong Kong, tiga di Taiwan dan empat di Singapura.

“Beberapa wanita ini ditarik oleh jihadis yang jadi pacar mereka yang mereka temukan secara online,” kata Nava Nuraniyah, peneliti IPAC di Jakarta, kepada ABC News.

“Namun beberapa orang lainnya bergabung dengan ISIS sebagai jalan menuju pemberdayaan,” tambahnya.

Investigasi IPAC menemukan jumlah pekerja ART asal Indonesia di Hong Kong meningkat secara signifikan dari 1.000 orang pada tahun 1990 menjadi lebih dari 153.000 saat ini.

Perempuan Indonesia sering dianggap sebagai karyawan yang lebih murah dan lebih lembut dibandingkan ART asal Filipina yang lebih terlatih.

Meskipun laporan IPAC mengatakan bahwa eksploitasi dan gaji murah bukanlah faktor langsung dalam radikalisasi mereka.

“Pencarian rasa kebersamaan komunitas di lingkungan yang tidak dikenal mungkin jauh lebih penting,” kata laporan tersebut.

“Pertumbuhan komunitas Muslim dibarengi peningkatan kegiatan dakwah oleh para ulama Indonesia, dimulai dari yang moderat dan secara bertahap memasukkan spektrum ideologis termasuk Salafi dan jihadi,” katanya.

“Wanita asal Indonesia menemukan teman dalam kelompok dakwah yang sering bertindak sebagai keluarga pengganti. Ketika seseorang masuk ke dalam lingkaran radikal, yang lain mengikuti,” kata laporan itu.

Misalnya, di hari Minggu ketika kebanyakan TKW libur, banyak pengajian Islam muncul di tempat umum seperti Victoria Park yang terkenal di Hong Kong.

Permintaan untuk guru-guru agama Islam menjadi tinggi sehingga banyak orang Indonesia beralih ke internet dan media sosial untuk bimbingan agama, yang membuat sebagian orang terlibat kontak dengan ulama garis keras.

Dalam beberapa kasus, masalah pribadi juga menyebabkan pencarian kembali dan pembaharuan melalui Islam yang “murni”.

Namun laporan IPAC mengatakan bahwa perang di Suriah yang telah membawa dukungan untuk ekstremisme ke Hong Kong.

“Orang Muslim tertarik pada konflik tersebut, dan jihadis media sosial memiliki berita paling terperinci,” kata laporan tersebut.

“Mereka melihat pejuang (ISIS) sebagai pahlawan dan sangat ingin menawarkan dukungan logistik dan finansial,” katanya.

Sebagian TKW ini mengembangkan hubungan pribadi secara online dengan calon pejuang ISIS kemudian membantu mereka melakukan perjalanan ke Suriah atau bahkan ikut dengan mereka.

Wanita lainnya dieksploitasi oleh pacar online mereka, yang melihat ART Indonesia sebagai sumber dana yang siap digunakan.

“Meskipun sering pula perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri bukan korban orang yang tidak bermoral,” kata laporan tersebut.

“Beberapa di antaranya mengulurkan tangan kepada para pria karena mereka tertarik pada tujuan jihad itu sendiri,” tambahnya.

Laporan tersebut juga menyoroti peran penting yang dimainkan media sosial dalam radikalisasi para ART ini.

“Telepon pintar memastikan bahwa produk, penceramah dan tren yang populer di Indonesia menemukan jalan ke Hong Kong,” katanya.

Nuraniyah mengatakan bahwa TKW Indonesia di Asia tampaknya mengalami radikalisasi lebih tinggi daripada TKW Indonesia di Timur Tengah, mungkin karena mereka menghadapi isolasi secara geografis dan religius di Hong Kong.

“Hanya sekitar belasan ART Indonesia yang radikal di Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab yang aktif di media sosial, misalnya,” tulis Nuraniyah dalam artikel di harian New York Times.

“Tidak ada yang dilaporkan bergabung dengan jihadis di Suriah,” tambahnya.

Pada Juni tahun ini, IPAC mengatakan ada empat perempuan Indonesia bergabung dengan ISIS di Suriah sementara 16 lainnya telah kembali ke rumah dan kebanyakan menikah dengan jihadis.

Delapan lainnya dideportasi dari negara tempat tinggal mereka, atau dari Turki saat mencoba menyeberang ke Suriah.

Desember lalu, polisi Indonesia menahan dua wanita – keduanya mantan pekerja di luar negeri yang berubah jadi calon pembom bunuh diri.

Seorang wanita, Ika Puspitasari, juga diduga mengalami radikalisasi saat tinggal di Hong Kong.

Seperti Ayu, dia juga bertemu dengan suami jihadisnya secara online dan diduga mengajukan diri melakukan pemboman bunuh diri di Bali.

Suaminya terhubung dengan jihadis Indonesia lainnya yang bergabung dengan kelompok Maute Islam yang berperang di Marawi, Filipina.

Sampai bulan lalu dia berada dalam daftar paling dicari oleh polisi Filipina.

IPAC mengatakan penangkapan kedua perempuan tersebut menggarisbawahi kerentanan pekerja migran Indonesia terhadap perekrutan ekstremis.

Organisasi ini mendesak pihak berwenang Indonesia bekerja sama dengan pihak berwenang negara lain untuk menawarkan pelatihan dan kesadaran kepada kaum wanita yang pergi bekerja ke luar negeri.

IPAC secara khususnya merekomendasikan modul pelatihan mengenai risiko eksploitasi oleh pria ekstremis, dan dukungan dari pemuka Muslim di Hong Kong, serta pihak berwenang Hong Kong, untuk melarang ulama ekstremis masuk ke negara tersebut.

Diterbitkan Jumat 4 Agustus 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News di sini.