ABC

Kisah Rajabu Mudanzi Bantu Pengungsi Baru Belajar Bahasa Inggris

Setelah berjuang karena kehilangan keluarganya dan mempelajari bahasa baru, Rajabu Mudanzi kini membantu pengungsi seperti dirinya menetap di komunitas lokal.

Sebelum Rajabu Mudanzi tinggal di Australia, ia menghabiskan hampir setengah hidupnya di dalam kamp pengungsi.

Konflik dan kerusuhan di Republik Demokratik Kongo (DRC) memaksanya untuk meninggalkan negara itu ketika masih remaja pada tahun 1996, dan ia menghabiskan lebih dari 12 tahun di sebuah kamp pengungsi di Mozambik sebelum ia memperoleh suaka di Australia, empat tahun lalu.

"Ketika saya datang ke Australia saya tak bisa berbahasa Inggris," aku Rajabu.

Kini ia telah menetap di Townsville, Queensland utara, dan kemampuan bahasa Inggris pria berusia 38 tahun ini-pun telah meningkat pesat. Ia juga membantu pengungsi lainnya menetap di Queensland utara.

Program Bantuan Dukungan Pengungsi milik organisasi Katolik ‘Vinnies’ (VRAP) adalah program non-profit yang dijalankan oleh para relawan.

Program ini bertujuan untuk memberikan dukungan budaya dengan mengajarkan bahasa Inggris kepada para pengungsi di Townsville.

Meski dulu Rajabu pernah menjadi target program ini, ia sekarang menjadi relawan rutin.

“Membantu orang lain, saya anggap itu adalah cara terbaik untuk membantu diri Anda sendiri,” katanya.

"Di kamp pengungsi, sebagian besar orang-orang yang membantu saya ada relawan, jadi bagi saya sungguh mudah untuk membantu orang lain," tutur Rajabu.

Loma Tonnochy, 61 tahun, adalah koordinator VRAP.

Sejak ia memulai program itu delapan tahun lalu, ia memiliki lebih dari 400 relawan.

"Tujuan utama kami adalah untuk membantu orang dengan bahasa Inggris mereka, tetapi seringkali ketika kami kedatangan tutor di rumah, itu mencerminkan ribuan cara berbeda bagaimana seseorang bisa membantu sesamanya," kata Loma.

“Mereka sering membantu dalam hal-hal seperti membaca edaran sekolah, membantu para ibu untuk memasak atau berbelanja, membantu anak-anak dengan pekerjaan rumah -benar-benar tergantung pada kebutuhan keluarga,” jelasnya.

Selain itu, Loma mengatakan, Rajabu adalah contoh penting dari keberhasilan program mereka.

“Nomor satu yang paling penting adalah bahwa Rajabu menerjemahan untuk kami karena ia memiliki kemampuan sejumlah bahasa sehingga ia bisa membantu kami,” sebut Loma.

“Hal yang bagus bagi para pengungsi untuk menjelaskan kepada Rajabu tentang apa yang benar-benar mereka butuhkan,” utaranya.

Di sisi lain, ketika Rajabu tak sedang bertugas sebagai relawan atau kuliah jurusan kerja sosial di Universitas, ia juga bekerja di Kelompok Dukungan Multikultural Townsville.

Di sana, ia membantu pengungsi mengatasi hambatan bahasa, dan ia memberi mereka pemahaman tentang keadilan sosial, dan bagaimana mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat.

Loma Tonnochy
Loma Tonnochy memainkan peran penting dalam pendirian Program Bantuan Dukungan Pengungsi Vinnies di Townsville, 8 tahun lalu.

Menjalin persahabatan lewat kerja sukarela

Rajabu juga telah menjalin persahabatan yang erat dengan Vincent dan Dative Nyiragatsiko yang juga pernah menjalani program VRAP.

“Ketika saya melihat Rajabu, saya melihat putra saya. Ia datang menjenguk saya dan membantu saya. Ketika saya melihat Loma, saya juga melihat sosok ibu saya,” kata Dative.

Ia menceritakan, “Sebelum saya datang ke sini, saya tak bisa berbicara bahasa Inggris, tapi sekarang saya bisa berbicara bahasa itu dan bersekolah. Anak-anak saya juga bersekolah, dan para guru menyukai anak-anak saya.”

Rajabu mengatakan, Vincent dan Dative Nyiragatsiko kini sudah percaya diri untuk menemui seseorang tanpa penerjemah.

“Sebelumnya, Anda tak bisa mengerti apa yang mereka katakan, tapi sekarang mereka berbicara tanpa masalah,” ungkapnya.

Rajabu Mudanzi
Rahabu Mudanzi tak bisa bahasa Inggris saat tiba di Australia 4 tahun lalu. Lewat kerja relawannya, ia kini membantu pengungsi baru untuk menetap di komunitas lokal dan belajar bahasa Inggris.

Kehidupan di dalam kamp pengungsi Afrika

“Ketika Anda datang ke kamp pengungsi, kadang-kadang Anda berpikir hidup Anda akan lebih baik. Yah menurut pengalaman saya, itu sangat berbeda dengan apa yang saya pikirkan sebelum saya meninggalkan negara saya,” tutur Rajabu.

Ia mengingat pernah tertular malaria, berjuang untuk mendapatkan makanan, dan kadang-kadang ia tak punya kasur untuk tidur.

"Ketika Anda hidup di kamp pengungsi, Anda hidup di masa sekarang, Anda tak hidup untuk esok karena Anda tak tahu apakah Anda masih hidup," ungkap Rajabu.

“Dari situlah trauma dimulai karena saya bertemu sejumlah orang dengan pengalaman yang berbeda dalam hidup mereka. Itu adalah saat di mana kami mulai berpikir tentang orang-orang yang meninggalkan kami atau mati,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Anda harus membentuk sebuah keluarga baru di kamp pengungsi yang sangat sulit untuk dipahami tapi kadang-kadang ketika Anda percaya pada Tuhan, Anda berpikir masa depan Anda bisa menjadi cerah.”

Meski tak bisa berhubungan kembali dengan saudara-saudara atau orang tuanya di kamp, Rajabu bertemu istrinya sekarang di kamp pengungsi, dan bersama-sama mereka memiliki tiga anak di Australia.

“Saya ingin berterima kasih kepada Pemerintah Australia karena membawa saya ke Australia,” sebutnya.

Rajabu menuturkan, “Saya ingin mendorong Pemerintah Australia untuk terus membantu lebih banyak orang. Pengungsi mendapat kebahagiaan ini di Australia karena tempat asal di mana mereka hidup tak memberi kepastian apakah besok mereka masih terbangun.”

“Ketika saya tinggal di kamp pengungsi, Saya tak tahu apakah suatu hari nanti saya akan tersenyum lagi. Tapi ketika saya datang ke Australia saya mulai tersenyum,” ungkapnya.

Diterbitkan Pukul 10:30 AEST 23 November 2016 oleh Nurina Savitri. Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.