ABC

Kisah Pernikahan Sejenis di Kalangan Multibudaya Australia

Bagi warga Australia dengan latar belakang multibudaya, cukup sulit untuk mendiskusikan menjadi gay dengan keluarga, bahkan tanpa berdebat soal pernikahan sejenis.

Ibu dari Mohamed Al Abri menyangka anak lak-lakinya sudah menikah dengan sesama laki-laki. Mohamed yang dibesarkan di Abu Dhabi dan sekarang sudah menjadi warga negara Australia, mengaku menjadi gay kepada ibunya lewat telepon.

Ia mengaku sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan keadaannya dalam bahasa Arab.

“Saya benar-benar merasa sulit untuk tidak menggunakan istilah yang merendahkan,” jelasnya.

“Ibu saya tidak akan mengerti, jadi saat itulah saya mengatakan kepadanya, ‘Saya menikahi seorang pria’, ia kemudian mengerti.”

Foto dua tangan pria saling mengenggam.
Mohammed menjelaskan soal seksualitasnya kepada ibunya dengan cerita jika ia dan pasangannya, Matt sudah menikah.

ABC News: Kim Jirik

Di bawah Undang-Undang Pernikahan Australia saat ini, Mohamed tidak dapat menikahi pasangannya, Matt Gough, seorang warga Australia. Namun mengatakan bahwa mereka sudah menikah adalah cara termudah untuk menyampaikan seksualitasnya kepada ibunya.

Mohamed mengaku sudah tertarik pada pria di usia 16 tahun, sebelum ia pindah ke Australia untuk belajar. Tapi saat itu ia mencoba untuk mengabaikannya.

“Saya [pikir] … suatu hari nanti saya akan bertambah tua, orang tua saya akan mengatur pernikahan dan saya akan menikah dengan seorang perempuan,” ujarnya sambil tertawa.

“Ketika saya datang ke Australia, ini menjadi sebuah dunia baru.”

Sampai ia mendapat kewarganegaraan Australianya, akhirnya ia merasa percaya diri untuk terbuka pada orang tuanya. Sebelumnya, ia takut dikirim kembali ke Uni Emirat Arab, dimana tindakan homoseksual dianggap ilegal.

Baca Juga:

Pendukung Pernikahan Gay Berkampanye di Pedalaman Australia

“Saya sudah berharap hal-hal terburuk,” katanya. “Saya mendapatkan kewarganegaraan Australia pada tahun 2014 dan saya merasa aman.”

Sebelumnya ia pernah mendapat status penduduk tetap Australia, sebagai pasangan de facto Matt.

Kedua pasangan ini sekarang tinggal bersama. Mereka berharap survei lewat pos soal pernikahan sesama jenis di Australia akan mewujudkan ‘kebohongan’ mereka selama ini, yakni mengaku telah menikah.

“Ini adalah pernyataan penting untuk dibuat, bahwa pemerintah Australia mengatakan, ‘Kami mengakui Anda adalah warga negara yang setara’,” kata Mohamed.

Matt merasa terlalu banyak uang yang dikeluarkan untuk melakukan survei tersebut, namun melihat adanya manfaat dengan orang-orang yang menyampaikan pendapat mereka.

“Ada banyak orang yang tidak menginginkan hal ini terus berlanjut,” katanya. “Meski saya tidak setuju dengan itu, tapi suara mereka tetap diperbolehkan, seperti halnya suara saya.”

‘Sulit untuk bersama tanpa dukungan hukum’

Foto sepasang perempuan yang duduk berdekatan.
Tick Jiang (kiri) and Joyce Zhang (kanan) menikah di New York tahun 2011.

ABC News: Kim Jirik

Bagi Tick Jiang dan Joyce Zhang, mengesahkan aturan pernikahan sesama jenis adalah bentuk perlindungan bagi bayi yang mereka telah tunggu-tunggu kelahirannya di bulan Januari mendatang.

“Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan anak saya,” Joyce menjelaskan. “Anak-anak butuh persetujuan.”

“Persetujuan itu harusnya lewat hukum yang ada, ada pemerintah ada yang mendukungnya … semua orang sama, jadi anak-anak tidak akan [menganggap pernikahan sesama jenis] itu ilegal.”

“Bagi kami, kami bisa mengatasinya, kami orang dewasa,” tambah Tick. “Tapi jika hukumnya tidak berubah, beberapa orang masih… menganggap ini bukan pernikahan.”

Dua atau tiga bulan setelah mereka mulai berpacaran, Tick dan Joyce bertunangan. Lamaran Tick saat itu mengejutkan Joyce.

“Saya pikir dia bercanda,” kata Joyce.

“Di Amerika Serikat, Anda berpacaran setidaknya satu atau dua tahun, lalu Anda melamar, tapi Tick baru langsung saja melamar.”

Pasangan berlatar belakang China bertemu di Shanghai, tempat mereka berdua bekerja. Tick sebelumnya pergi ke sekolah menengah dan universitas di Melbourne, sementara Joyce tinggal di Amerika Serikat bersama keluarganya sejak kecil.

Kedua perempuan tersebut menikah di New York, setelah pernikahan sesama jenis dilegalkan di tahun 2011.

“Ini semua adalah soal komitmen,” ujar Tick soal motivasinya. “Kebanyakan orang [tidak] percaya hubungan gay … akan bertahan.”

Status visa mereka membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk tinggal di China atau Amerika Serikat, jadi mereka pindah ke Australia dan akhirnya bisa mendapat status penduduk tetap sebagai pasangan de facto.

“Sulit untuk bersama tanpa dukungan hukum,” kata Joyce.

Di Melbourne, Tick and Joyce adalah anggota kelompok Yellow Kitties, sebuah grup untuk wanita LGBTI Asia.

Mereka mengatakan senang bersosialisasi dengan warga dari latar belakang yang sama.

“Orang Asia umumnya memiliki nilai-nilai utama yang sama,” kata Joyce.

Bagi Tick, nilai-nilai itu mencakup etos kerja, berbagi budaya yang sama, serta dukungan keluarga.

Tapi di kalangan warga Melbourne yang beragam, mereka juga menemukan nilai-nilai yang sama juga di budaya lain.

“Di Melbourne, bahkan lebih baik, karena ada banyak orang Italia, Yahudi dan Yunani, mereka benar-benar memahami nilai keluarga, budaya kolektif,” kata Tick.

Tempat bagi Komunitas LGBTI asal Arab

Dua pasangan pria yang menjadi anggota LGBT keturunan Arab di Melbourne
Rami Ghattis (kiri) dan Adam Messede (kanan) anggota Helem, kelompok LGBT keturunan Arab.

ABC News: Kim Jirik

Mendapat dukungan dari orang-orang yang memegang nilai yang sama juga penting bagi anggota komunitas Arab.

Adam Messede, kelahiran Lebanon telah menjalin hubungan dengan pria Australia selama beberapa bulan, hingga akhirnya berakhir secara tiba-tiba di suatu pagi.

“Dia sedang memasak telur dan daging babi asap, dan saya berkata, ‘Saya tidak mau bacon [daging asap babi]’. Temannya [berkata], ‘Dia Muslim, dia tidak makan daging babi asap’.

“Kemudian ia mengantarku pulang … dan sejak itu tak pernah ada kabarnya lagi.”

Kesalahpahaman budaya seperti ini menjadi salah satu alasan mengapa Adam mendirikan Helem Melbourne, sebuah kelompok bagi masyarakat LGBTI berlatar belakang Arab.

Politik dan agama biasanya tidak dibahas dalam acara kegiatan Helem. Mereka lebih fokus menyediakan ruang yang aman bagi warga Arab untuk secara terbuka mengekspresikan seksualitas mereka dengan didukung oleh orang lain dari latar belakang budaya yang sama.

Anggota Helem lainnya, Rami Ghattis, lahir di UAE dengan orang tua asal Palestina, mengatakan meski saat ia berusia 20 tahun menemukan komunitas gay yang aktif secara tersembunyi di kota asalnya di Dubai, ia merasa ingin lebih banyak lagi.

“Saya tidak ingin menghabiskan sisa hidup saya bersembunyi. Saya ingin tinggal bersama masyarakat dimana saya bisa menjadi diri sendiri,” katanya.

Rami pindah ke Australia sebagai migran pekerja di tahun 2011. Dua saudara laki-lakinya tinggal di Melbourne juga. Meski ia akan memilih “Setuju” untuk aturan pernikahan sesama jenis, tapi dirinya masih merasa sulit untuk terbuka dengan keluarganya.

“Saya tidak akan merasa nyaman membicarakannya, tapi saya menghargai pembicaraan ini berlangsung karena akan membuat pernikahan sesama jenis menjadi hal yang biasa pada akhirnya,” katanya.

Diterbitkan pada 11/09/2017 pukul 12:30 AEST. Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.