ABC

Kisah Penerjemah Presiden Jokowi, dari Obama Hingga Percakapan Rahasia

Menjadi penerjemah atau juru bahasa tak hanya membutuhkan kecakapan bahasa. Marlisa Wahyuningsih Soepeno tahu betul kerja keras di baliknya. Menyaksikan peristiwa dan tokoh penting yang tak banyak dialami orang lain, hanyalah secuil kisah dari perjalanan perempuan Makassar ini sebagai penerjemah kenegaraan bagi Presiden RI Joko Widodo.

Kepada Nurina Savitri dari Australia Plus Indonesia, Marlisa, yang juga alumnus Universitas Nasional Australia (ANU), menuturkan pengalaman 2 tahunnya mendampingi Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana. Dari bertemu Obama hingga memilah percakapan rahasia.

Bagaimana awalnya Marlisa bisa menjadi penerjemah kenegaraan?

Saya adalah diplomat RI yang bertugas di Kemlu (Kementerian Luar Negeri). Jadi saya ditempatkan di Biro Administrasi Menteri yang artinya staf Ibu Menlu. Salah tugasnya adalah menjadi penerjemah kenegaraan. Karena semua penerjemah kenegaraan untuk Bapak Presiden dan Ibu Negara kalau ada kegiatan kenegaraan, itu selalu dari Kemlu.

Nah, di tahun 2011, kami ada pelatihan namanya pelatihan interpreter, pelatihan juru bahasa untuk Kemlu. Ada 10 orang dalam satu angkatan yang dilatih. Saat itu sebenarnya kami disiapkan oleh administrasi yang lalu yaitu Bapak Menteri Marty (Natalegawa) untuk menjadi penerjemah yang bisa membantu penerjemah resminya Pak SBY. Dan juga untuk menjadi penerjemah Menteri-Menteri lain yang diperlukan. Jadi intensif pelatihannya sebulan, kemudian setelah itu kami mulai dilibatkan ke agenda yang pertama sekali, yaitu ASEAN.

Lalu beberapa penerjemah mulai dibiasakan, mulai diberi panggung untuk tugas. Setelah itu, mungkin seleksi secara alami ya, jadi ada beberapa penerjemah yang mungkin maksudnya dianggap qualified atau Presiden merasa berkenan dengan penerjemahannya, karena mungkin akurat dan segala macam, nah saya adalah salah satu di antaranya.

Marlisa Bertugas
Marlisa (kedua dari kiri) menjadi penerjemah untuk Ibu Negara RI saat KTT G20 di China, ia duduk di samping Presiden Obama.

Supplied

Apa saja tugas yang dilakukan Marlisa sebagai diplomat sekaligus penerjemah kenegaraan?

Setiap hari, kami mempersiapkan bahan untuk Ibu Menlu, mempersiapkan semuanya, termasuk resepsi dan segala macam untuk Menlu. Tapi kalau sekiranya diperlukan, setiap saat kami harus tugas menjadi penerjemah atau juru bahasa. Ada panggilan atau ada kunjungan ke luar atau ada tamu negara, tamu asing yang datang, dan bertemu bapak, itu biasanya saat-saat di mana kami bertugas.

Kalau untuk Presiden, secara spesifik ya saya menjadi penerjemah. Jadi kalau misalnya ada pertemuan bilateral atau misalnya Bapak ngomong di G20, kan biasanya beliau ada pidato, ya kami akan bertugas di booth untuk menerjemahkan apa yang beliau sampaikan dan menerjemahkan apa yang pemimpin lain sampaikan ke dalam bahasa Indonesia.

Tapi kalau ada pertemuan bilateral ya kami selalu siap, itu untuk Presiden. Kalau untuk Ibu Negara, selain menerjemahkan kalau misalnya ada kunjungan, kadang-kadang saya juga menyediakan informasi kepada beliau (Ibu Negara). Misalnya ini pasangannya negara mana, sudah pernah ketemu di mana, terus beliau itu suka apa, profesinya apa, jadi lebih ke latar belakang dari setiap orang yang pernah bertemu atau yang akan ditemui.

Selain saya, dalam tugas sebagai penerjemah kenegaraan ini ada rekan saya Iqbal. Sebenarnya kalau hanya ada presiden, saya biasanya bertugas berdua bersama Iqbal. Tapi kalau misalnya ada Ibu dan Bapak dua-duanya, saya dampingi Ibu sementara Iqbal dampingi Bapak. Tapi kalau misalnya ibu lagi nggak ada kegiatan, saya bantu lagi ke Presiden, jadi bisa dua-duanya.

Masih ingat kapan pertama kali bertugas?

Setelah selesai pelatihan tahun 2011, tahun 2012-nya kan saya sekolah ke Australia, dua tahun di sana teman-teman yang lain tetep bertugas. Pulang (sekolah) tahun 2014, saya ditarik lagi ke Biro Administrasi Menteri padahal biasanya sepulang sekolah belum tentu kami bisa balik ke unit yang dulu. Tapi dalam kasus saya, saya kembali ditarik ke biro yang lama kemudian setelah itu kami rotasi. Jadi maksudnya ada beberapa penerjemah di dalam, kami rotasi bertugas. Saya ingat banget, tahun 2014 adalah tahun pertama kali bertugas. Itu ketika Presiden Jokowi dilantik di MPR. Jadi sejak saat itu saya sudah mulai menerjemahkan. Saya duduk di atas di booth di ruang plenary (sidang) untuk tamu-tamu asing.

Di sepanjang jalan penugasan di biro ini, Bapak (Presiden) dan Ibu (Negara) ternyata berkenan dengan saya, cocok begitu, jadi ya sudah sejak dari situ, kalau ada apa-apa saya dipanggil untuk menerjemahkan untuk beliau-beliau.

Marlisa Bertugas
Marlisa (kedua dari kanan) mendampingi Presiden Jokowi (kanan) saat menjamu Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon.

Supplied

Apa sebenarnya tantangan menjadi juru bahasa Presiden?

Yang pasti tantangannya itu adalah tidak boleh salah, maksudnya sebisa mungkin kami tidak melakukan kesalahan. Jadi kesalahan itu tidak ditolerir sama sekali. Jadi, kalau istilah saya ‘when good is not enough’.

Selain itu, ada tantangan untuk fokus, karena kadang-kadang… ini utamanya kalau di luar (negeri) ya, kalau pas lagi KTT, seperti G20 misalnya, itu kadang-kadang kan…tempat booth-nya jauh dari tempat pertemuan para pemimpin, jadi kami harus lari-lari tuh untuk bisa sampai ke sana. Mereka bisa masuk jalur VIP sementara kami kan nggak. Sementara misalnya acara dimulai dalam waktu 5 menit, kami harus lari dan tiba-tiba di situ kami harus langsung fokus, nah itu tantangannya.

Untuk menjaga fokus, akurasi, itu intinya, karena salah satu saja misalnya satu kalimat ya itu salah, apalagi jika sumbernya Presiden, itu kan bisa menyebabkan insiden diplomatik, atau ketersinggungan atau sejenisnya.  Makanya itu juga kenapa penerjemah resmi itu selalu diambil dari Kemlu. Karena dianggap kami yang mengetahui konteks, kami tidak akan menerjemahkan secara harfiah, dan kami juga tahu memilih kata-kata apa yang paling tepat ketika misalnya pertemuan bilateral.

Saya lupa contohnya apa, tapi saya pernah satu kali gitu ya, waktu itu percakapan dengan siapa dan saya tidak menerjemahkan itu secara harfiah, karena saya tahu kalau saya menerjemahkan secara harfiah, itu bisa sangat blunt (kasar). Padahal kan seharusnya tidak boleh begitu. Maksudnya begini, bukan untuk merubah makna tapi untuk secara diplomatis menyampaikan maksud, terutama untuk kepala negara kita.

Susah tidak untuk menjaga rahasia selama bertugas apalagi kalau dalam pertemuan 4 mata?

Tidak juga sih karena begini, saking banyaknya apa yang dibilang kepala negara sampai lupa, jadi salah satu bagian pelatihan kami sebagai penerjemah itu adalah menyaring yang mana jadi short-memory (memori jangka pendek) yang mana jadi medium yang mana jadi long term memory (memori jangka panjang). Jadi kalau hal-hal seperti itu, kami bisa otomatis seperti ‘oke ini jadi short term memory, setelah selesai dibuang, kelar’. Tapi ya sebenarnya memang sudah menjadi protap (prosedur tetap) bahwa apapun itu, tidak boleh keluar dari mulut kami.

Selama bertugas menjadi penerjemah kenegaraan, apa pernah mengalami ‘starstruck’ (terpesona pada tokoh tertentu)?

Starstruck itu sering. Nah itu, sebenarnya itu adalah rule number one (aturan nomor satu). Tidak boleh starstruck walau rasanya ingin foto sama mereka.

Cerita saya pribadi saat hadir di G20, saya tidak tahu kalau Ibu (Iriana), karena waktu itu mendampingi beliau ya, bahwa ibu akan duduk bersebelahan dengan Obama di acara gala dinner. Sebelumnya memang sudah ketemu di lounge, terus mereka sudah ngobrol, jadi mereka sudah sangat rileks ya, cuma kan saya tidak tahu susunan acara gala dinner, karena memang tidak diinfokan oleh Pemerintah China, jadi saya tidak tahu siapa yang duduk di samping beliau (Ibu Negara) ini.

Nah pas datang, sudah duduk, wah ternyata di sebelahnya Obama. Itu saya spontan terucap ‘Oh Obama’ tapi terus ya sudah, sudah nggak sempat untuk membayangkan starstruck. Yang saya bayangkan adalah, ‘oke ini Obama…saya harus bisa menerjemahkan dengan benar dan harus membuat percakapan antara Ibu Negara dan Obama berlangsung dengan lancar jadi mereka bisa bercakap dan rileks’. Itu yang ada di pikiran saya, padahal kalau mau jujur dan dipikir lagi, setelah itu saya bilang ‘ya ampun, gue duduk di sebelah Obama gitu, ya ampun itu Obama’. Itu baru kepikiran setelah ada teman yang kirim foto saya lagi duduk di samping Obama. Baru saya sadar, ‘ya ampun Obama’.

Marlisa di Silicon Valley
Marlisa (baris kedua dari belakang, di belakang Ibu Negara RI) mendampingi Presiden dan Ibu Negara RI ketika bertemu dengan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg.

Supplied

Yang lebih lucu lagi adalah ketika sudah ngobrol, kan Presiden Obama itu pernah tinggal di Indonesia dan beliau bilang ke Ibu Negara ‘I can actually understand what she says’, jadi istilahnya kalau saya salah, dia mengerti. Terus Presiden Obama juga bilang dalam bahasa Inggris kira-kira begini, ‘misalnya saya datang ke Jakarta dan tinggal lebih lama, saya pasti bisa paham lagi percakapan dalam bahasa Indonesia’.

Nah hal-hal seperti itu, maksudnya hal-hal yang candid (spontan), itu menurut saya sendiri secara pribadi adalah pengalaman yang sangat berharga. Karena bukan sekedar substansi tapi kita menjadi saksi perbincangan antara 2 orang penting

Bagaimana pengalaman studi Marlisa di Australia? Lebih tepatnya ketika menanggapi kritikan warga lokal atau mahasiswa Indonesia lain di sana mengenai kebijakan pemerintah, padahal Marlisa sendiri bekerja untuk pemerintah

Gampang-gampang susah, tapi secara umum baik-baik saja karena kebetulan saya dari Indonesia Timur (Makassar), jadi dalam menanggapi isu seperti Papua misalnya, mereka lebih mendengar, saya-pun juga lebih paham. Kebetulan saya juga aktif di kegitan multikultural saat berkuliah di Canberra, jadi itu menambah pergaulan dan menjembatani perbedaan.

Tapi kalau di dalam kelas, teman-teman sekelas dan dosen-dosen sudah tahu kalau apapun yang saya utarakan, pendapat saya selama di kelas itu adalah opini pribadi saya, bukan sebagai diplomat Indonesia atau pegawai pemerintah RI.

Jadi, apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang penerjemah kenegaraan?

Kerja keras itu sudah pasti, kemampuan bahasa juga pasti. Tapi yang tidak kalah penting yaitu kemampuan untuk fokus dan berkonsentrasi. Itu tadi seperti yang saya katakan, kita harus bisa zero-mistake, menghindari kesalahan, karena taruhannya adalah negara kita.