Kisah Jurnalis ABC Adam Harvey Tertembak di Marawi
Tertembak di bagian leher bukan menjadi hal yang paling menakutkan bagi wartawan ABC, Adam Harvey ketika melakukan tugas peliputan di kota Marawi, Filipina Selatan yang disandera ISIS.
Wartawan ABC, Adam Harvey, pada 15 Juni 2017 lalu, tertembak dibagian lehernya saat sedang meliput pertempuran antara pasukan Filipina dengan kelompok militan gabungan pro ISIS di Kota Marawi.
Berikut adalah penuturan Adam Harvey mengenai insiden tersebut yang ditayangkan dalam program Foreign Correspondent ABC (31/7/2017).
Saat-saat yang mengerikan justru terjadi kemudian, ketika saya dipindahkan dari sebuah klinik medis di pinggir kota ke sebuah rumah sakit di tengah kota yang tengah diperebutkan, yang kemudian diserang oleh ISIS.
Saya terbaring di ranjang rumah sakit, dalam keadaan masih sedikit shock saat melihat hasil pemindaian sinar X di bagian leher saya yang berisi peluru M16 yang terbentuk dengan sempurna dan bersarang jauh di dalam lapisan kulit, tidak jauh dari tulang belakang saya.
Saat [ranjang tempat saya berbaring] didorong [menyusuri lorong] rumah sakit, tembakan mulai terdengar lebih keras.
Dan kemudian menjadi tidak mungkin untuk mengabaikan suara tembakan tersebut. Suara benturan peluru tunggal berubah menjadi suara hantaman yang keras – seperti seseorang telah menjatuhkan nampan logam di samping kami – kemudian menurun sebelum muncul suara tembakan senjata yang sangat keras.
Suara-suara tembakan memantul dari dinding interior rumah sakit saat satu peleton tentara yang ditempatkan di rumah sakit itu mulai kembali menembak.
Penembak jitu mengintai di jalanan
Serangan tembakan itu cukup membuat terkesima para staf di rumah sakit Amai Pakpak.
Mereka telah bekerja di zona pertempuran selama sebulan, karena kelompok Islam lokal yang bersekutu dengan IS menguasai kota tersebut pada tanggal 23 Mei.
Banyak warga sipil tinggal – entah untuk menjaga rumah mereka, atau karena IS tidak membiarkan mereka pergi – dan lebih banyak lagi yang terluka berdatangan [ke rumah sakit] setiap hari.
Tentara Filipina mulai masuk ke dalam rumah sakit, mengintip melalui jendela untuk mencoba mengetahui di mana orang-orang Islamis berada.
Juru kamera, Phil Hemingway, yang terus merekam sejak saya ditembak, menurunkan kamera sejenak dan melirik ke arah produser kami, Geoff Thompson.
“Kita harus keluar dari sini,” kata Phil. Geoff mengangguk.
Situasi ketika itu menakutkan dan berbahaya.
Tapi seluruh kota terasa seperti ini – bingung dan kacau, dimana ‘kawasan yang aman’ berubah menjadi semacam itu.
Tentara menguasai jalan yang menuju ke daerah-daerah yang disandera oleh ISIS, namun jelas bahwa garis pertempuran itu rapuh, dan penembak jitu berada di belakang posisi pemerintah.
Di kota hantu ini kami berhasil sampai dilokasi tentara, seringkali tidak tahu ada orang di sana sampai kami berjalan melewati sebuah pintu dan melihat tentara berlindung di dalam gedung dua lantai yang gelap yang memadati jalan-jalan sempit di kota Marawi, sebagai tempat perlindungan dari penembak jitu yang terus menerus melepaskan tembakan.
Seorang tentara muda memegang senjata M16 berusia 50 tahun yang bisa saja pernah digunakan dalam Perang Vietnam. Banyak kelebihan peralatan perang tentara Amerika berakhir di Filipina.
“Senjata ini sangat buruk,” katanya. Senjatanya terlalu panas setelah beberapa tembakan dan kemudian macet.
Dia membawa amunisi cadangan yang diikatkan ke dadanya, untuk berjaga kalau-kalau senjatanya akan terus terlibat dalam baku tembak, tapi dia membeli sendiri amunisi cadangan itu – tentara Filipina memaksa pasukannya untuk membeli amunisi cadangan mereka sendiri.
“Mereka punya senjata baru,” katanya sambil menunjuk ke arah posisi ISIS di sisi lain Sungai Agus.
Kisah nyata dari orang-orang setempat
Akses yang tidak terbatas adalah mimpi seorang jurnalis, tapi hari-hari sudah lama berlalu ketika koresponden bisa melompat ke helikopter militer dan naik ke jantung zona panas yang mereka inginkan, seperti digambarkan dalam laporan Wartawan Perang AS, Michael Herr berjudul ‘Dispatches’.
Anda sebagian besar berada jauh dari zona panas itu, di sisi barikade jalan yang salah, berdebat tak berguna dengan pria dengan clipboard.
Tapi terkadang, dalam cerita yang besar dan penuh kekacauan, jika anda berada di sana cukup awal, anda bebas mengumpulkan bahan yang paling menarik – seperti setelah bom Bali yang pertama pada tahun 2002, ketika saya dapat menemani keluarga mencari mayat teman mereka dan kerabat mereka di kamar mayat yang terbuka di Denpasar, Bali.
Atau di New Orleans pada tahun 2005, setelah Badai Katrina, ketika saya berkendara tanpa hambatan melalui sebuah kota yang ditinggalkan ke pusat sebuah gedung pertemuan yang kumuh, di mana ribuan pengungsi Afrika-Amerika terdampar selama tiga hari tanpa bantuan.
Mereka membutuhkan makanan, air dan toilet. Yang mereka dapatkan adalah hanya tim medis beranggotakan beberapa dokter yang berlarian kesana kemari seolah-olah mereka sedang ditembaki, dikelilingi oleh barisan tentara yang gugup yang mengarahkan senjata mereka ke kerumunan pasif.
Di Kota Marawi, Filipina hanya ada sedikit batasan. Faktor keamanan sepenuhnya terserah pada kami.
Kami nyaris tertembak tiga kali; dua kali peluru itu menghantam jalan yang hanya berjarak beberapa meter dari juru kamera Phil Hemmingway dan saya hendak berjalan kearah jalan tersebut, dan sekali tembakan dari penembak jitu mengenai sebuah papan dari besi yang tepat berada di atas kepala kita.
Kami berdua mendongak, menyadari apa yang baru saja terjadi dan berlari, kami mengembuskan napas lega saat akhirnya kami sampai di tikungan.
Bekerja di zona panas adalah satu-satunya cara untuk melakukan apa yang akan kita lakukan: mencoba membuat orang-orang di Australia peduli dengan apa yang terjadi di kota yang belum pernah mereka dengar.
Kami perlu bertemu langsung dengan masyarakat disana dan menceritakan kisah mereka – seperti tentara dengan senapan mereka yang macet dan harus membeli amunisinya sendiri.
Di salah satu pos pemeriksaan, kami menemukan sekelompok petugas polisi yang baru saja berhasil melarikan diri setelah tiga minggu bersembunyi di ruang bawah tanah di zona pertempuran.
Petugas polisi Muslim yang melindungi sekelompok pekerja konstruksi beragama Kristen. Semua mereka pasti sudah tewas terbunuh jika ISIS menangkap mereka.
Kemudian, kami juga memfilmkan interogasi terhadap tiga pengungsi yang diperlakukan sebagai tersangka ISIS, terutama karena keadaan mereka yang mencurigakan karena bersih, cukup makan dan sehat.
Kami datang [meliput ke Marawi] untuk menceritakan kisah orang-orang ini, tapi ketika saya tertembak, saya juga ikut menjadi cerita.
Itu bukan suatu hal yang kami inginkan tapi cedera yang saya alami justru membuat kami menjadi semakin dekat dengan pertempuran dan memberi kami akses penting kepada orang-orang. Seperti dokter di rumah sakit [dimana saya dirawat] dan pasien dari warga sipil, termasuk seorang wanita dengan luka tembak yang masih baru dan tembus di bagian kakinya.
Wanita itu tidak memiliki tim orang yang mengatur untuk mengeluarkannya dari Marawi dan mendapat perawatan terbaik yang ada di Manila seperti saya.
Adegan dari rumah sakit telah memungkinkan kami untuk menyampaikan cerita yang ditayangkan dalam program Foreign Correspondent ini dengan materi yang kaya dan menarik.
Tidak kapok meski tertembak
Saya akan kembali ke Marawi dalam sekejap.
Cerita mengenai ISIS yang berusaha membangun basis di kawasan kita adalah isu yang penting dan satu hal yang akan terus saya laporkan, terutama setelah kelompok militan ini akhirnya dikalahkan dan orang-orang dapat menceritakan kepada kita bagaimana rasanya hidup dengan preman pembunuh.
Saya tidak congkak mengenai risikonya tapi saya juga tidak trauma dengan insiden tertembak di leher yang saya alami. Saya tidak beruntung.
Tapi ada harga untuk tugas seperti ini, selain bekas luka di leher saya tentunya.
Keluarga kami – keluarga juru kamera, Phil, keluarga produser kami, Geoff, serta produser lokal Boy Boy dan sopir kami juga – sangat ketakutan, jauh sebelum peluru mengenai leher saya. Namun mereka tidak begitu khawatir kami akan ditembak oleh peluru ISIS secara acak.
Saya tahu istri saya, Eliza, lebih sering mengkhawatirkan soal bisnis yang menguntungkan dari penculikan untuk mendapatkan uang tebusan.
Ketika saya tertembak, Eliza meninggalkan semuanya kecuali bayi perempuan kami dan langsung terbang ke Manila.
Ada satu cuplikan rekaman kamera, dimana Eliza sambil menggendong anak perempuan kami Isla yang baru berusia sembilan bulan, memohon kepada dokter bedah saya, Emmanuel Ibay yang luar biasa.
“Tolong beritahu Adam untuk tidak kembali ke Marawi,” katanya.
“Sudah saya beritahu!” jawab Dr Ibay
“Kami sudah cukup [memiliki pengalaman seperti ini] sekarang,” kata Eliza.
Diterjemahkan 1/8/2017 oleh Iffah Nur Arifah. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.