Kisah Imam yang Dibesarkan di Pertanian Australia
Alep Mydie adalah seorang imam sebuah mesjid di Katanning, sebuah kota kecil di Australia Barat berpenduduk 3800 orang.
Walau menjadi imam mesjid, kehidupan Alep Mydie bisa disebut tidak biasa.
Pertama-tama dia adalah seorang penggemar berat dari serial televisi ‘Games of Thrones’.
Selama musim pertandingan olahraga footy Australia, atau AFL (antara April-September setiap tahun), ia mengenakan baju bernuansa biru dan emas untuk mendukungnya timnya, West Coast Eagles, bahkan saat ia memimpin shalat di sebuah masjid.
“Bahkan cucu saya sudah ‘dibaptis’ menjadi pendukung Eagles atau Dockers,” kata Alep.
“Semua orang tahu jika Eagles menang … tapi sebaliknya, jika tim lain menang tim kami kalah, pendukung Eagles tetap diam, tak ada sepatah kata pun.”
Sikap Alep yang menghargai semua pandangan soal tim AFL tercermin dalam pendekatannya soal kehidupan yang lebih luas, yakni agama seharusnya tidak menjadi segalanya, tapi keterlibatan dalam masyarakat luas dan kegiatan lainnya juga tak kalah penting.
Ini adalah filosofi yang ia pegang dalam hidup ini. Selain menjadi imam di masjid, Alep juga anggota dewan pemerintahan lokal, selain juga memiliki usaha kedai kopi yang ramai konsumen.
Di sela-sela waktunya, ia tak pernah ketinggalan episode terbaru dari serial ‘Games of Thrones’.
“Saya selalu tidak sabar untuk datang ke tempat kerja, setiap hari, tujuh hari seminggu, termasuk hari libur,” katanya.
“Orang-orang mengatakan, ‘oh, kamu gila, tapi saya menikmatinya.”
Keluarganya jadi bagian dari gelombang pertama migrasi
Alep, yang memiliki darah Melayu, telah jadi bagian penting dari kehidupan Katanning sejak ia pindah ke daerah pertanian, yang terletak sekitar 3 jam dari tenggara kota Perth, Australia Barat, 42 tahun lalu.
Saat itu usianya baru sekitar 13 tahun, ketika orang tuanya pindah dari Christmas Island ke Australia Barat, saat pemotongan hewan setempat membutuhkan tukang potong halal.
“Kami berada di kelompok kedua dari keluarga [yang] pindah dan di tahun 1974 kami ke sini, ke Katanning dan sampai sekarang,” kata Alep.
Dia mengatakan cepat belajar untuk beradaptasi dan hidup di kota kecil, di mana ia terlihat dan terdengar berbeda dibandingkan orang lain.
“Ketika kami pertama kali tiba, orang bertanya-tanya ‘dari mana orang ini berasal’,” katanya.
“Kami dipanggil ‘chocca’, atau ‘samboy’, karena kulit kami yang gelap.
“Secara bertahap kami belajar bahasa. Kami tidak pernah menghindar dan kami terus belajar setiap saat.”
“Kami ‘tersandung’ dan ‘jatuh’ dan kemudian belajar, dan pada akhirnya, kita tahu siapa kita.”
Katanning memiliki kesuksesan besar sebagai kawasan berpopulasi 3.800 orang, dimana pendatang dari 42 bangsa berbeda tinggal berdampingan, dan satu dari 10 orang adalah Muslim.
Ketakutan sentimen anti-Islam
Salah satu hal yang paling signifikan yang dilakukan oleh bangsa Melayu, yang berkembang di kawasan ini, adalah membangun sebuah masjid.
Bangunan berwarna oranye dari bata, dihiasi dengan menara bernuansa perak, dibuka pada tahun 1980 lewat sumbangan-sumbangan kecil selama bertahun-tahun.
“Saat itu, saya adalah seorang anak muda. Kakek dan beberapa tetua lainnya duduk bersama dan bertanya bagaimana agar bisa membangun masjid,” katanya.
“Jika dilihat ke belakang, betapa sulitnya membangun sebuah masjid 30, 40 tahun [kemudian], betapa bersyukurnya kita.”
Alep khawatir soal ketidakpastian karena gearakan sentimen anti-Islam yang mendunia.
“Sepanjang hidup, kita membangun toleransi dalam kehidupan kemudian [mendapat] terpaan…. ini banyak menghawatirkan saya,” katanya.
“Katanning adalah benar-benar istimewa. Seperti sebuah tempat yang ajaib, di mana orang-orang menerima Anda. Kami tahu betapa beruntungnya kita.”
Masjid ini telah lama menjadi bagian dari komunitas Katanning, dan secara teratur mensponsori tim olahraga yang berbeda di kota, seperti kriket, sepak bola, basket dan netball.
Persaingan sehat AFL menyatukan warga
Setiap tahunnya, saat AFL memasuki musimnya, Alep mempersiapkannya dengan baik.
“Saya sudah membeli mug (cangkir) AFL saya, televisi juga sudah siap untuk pertandingan kandang dan setiap pertandingan,” katanya.
“Umat Muslim, mereka benar-benar bersemangat soal tim mereka.”
“Ulama lain mungkin tidak setuju dengan saya, tapi saya percaya bahwa kita tidak sendirian di dunia ini, kita bukan hanya Muslim yang minoritas.”
“Menjadi Imam adalah [peran] berstatus sangat tinggi di masyarakat, memiliki tanggung jawab yang cukup penting.”
“Tapi saya ngin melihat apa yang ada di luar sana, jauh dari kegiatan keagamaan di masjid, saya ingin dapat meraih orang lain, berbicara dengan mereka.”
“Saya tidak membatasi diri hanya ke masjid setiap hari, ada waktu keluar juga. Agar tidak membosankan.”
Dari program Back Road di ABC TV, setiap hari Senin pukul 08:00 malam. Diterbitkan oleh Erwin Renaldi pada 03/01/2017 pukul 14:00 AEST dari artikel aslinya dalam Bahasa Inggris.